Last Day in Bordeaux

Acara hari terakhir agak garing, karena presentasinya dari ALGANT consortium (Algebra, Geometry, and Number Theory) yang ga gitu nyambung sama MIH. Tapi ALGANT ini nyambungnya sama Erasmus, jadi pelajar yang suka matematica dari seluruh dunia kalau mau lanjutin master atau PhD bisa cari beasiswa dari sini. Kayaknya sih cukup bergengsi juga nih beasiswanya dan programnya dua tahun, jadi bisa ada di dua atau tiga negara dalam dua tahun.

Lalu setelah itu, kami dibagi student card, ngisi registrasi dan lain-lain hingga lunch tiba. Lunch kali ini juga enak banget, mirip hari kedua, yang jadi menu favorit adalah kentang kukus dan ikan yang dibumbuin, enak deh pokoknya. Padahal ga digoreng, sehat, tapi tetep enak. Sayurannya juga sayuran mentah gitu, brokoli, bloem koel, tomat, wortel semua mentah, tinggal ditambah saus salad. Desertnya cake kecil-kecil coklat, strawberry, lucu-lucu deh, ada juga buah anggur dan strawberry yang manisnya pol. Slrrup!

Acara selesai jam setengah empat sore, berhubung masih banyak waktu. Kar dan Mar ngajak kami ke museum karena kalau ke pantai kejauhan. Kami janjian ketemu di halte Victoir. Tapi sayangnya temen-temen ga pada nongol, Cuma aku doang berdua sama S. Sementara N memang ga bisa karena udah janjian sama temennya. Karena nunggu lama, alhasil museum artnya jam 6 udah tutup. Kar dan Mar lalu mengajak kami ke taman kota. Taman kotanya besaar banget dan seger, di dalamnya juga ada botanical garden. Kami ngobrol banyak hal.

Lucunya, Kar itu suka ngeliatan aku. Sehari sebelumnya aku mergokin dia merhatiin aku terus, lalu dia tanya,”Kamu ga panas ya pake baju kaya gini?” Nanyanya tapi sambil ramah dan baik gitu.”Enggak, aku udah biasa.”Jawabku. Nah pas kami pergi ke taman cuma berempat itu, tiba-tiba dia ngomong gini.”Aku suka sama baju kamu. Aku suka cara kamu berpakaian. Kamu adalah orang pertama yang merubah cara pandangku tentang sosok seorang perempuan muslim. Ternyata kamu bisa memilih dan kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau.” Waduh kaget juga aku mendengar pernyataannya. Padahal cara berpakaian aku menurut sebagian orang mah ga syari kali ya, tapi aku kan mau jadi diriku sendiri dan punya keyakinan sendiri, jadi aku ya pede-pede aja dengan apa yang kupakai. Eh mana kutahu kalau ternyata cara berpakaianku yang kaya gini malah membuat cara pandang seseorang tentang perempuan muslim berubah, alhamdulillah lah kalau begitu. So..moral of the story adalah..ya tergantung keyakinan masing-masing lah ya, tapi buat aku positif dan aku mendapatkan pencerahan dan pesan tersendiri soal ini yang mungkin belum tentu cocok buat orang lain.

“Hehehe of course,”Jawabku kemudian. “Muslim di Indonesia itu moderat, ga ekstrim seperti di beberapa negara Timur Tengah. Coba kamu bayangkan, aku ninggalin suami dan anak-anakku. Aku beruntung mendapatkan suami yang baik, dan dia dengan rela mendukung aku untuk pergi sekolah, malah dia juga dengan rela menjaga anak-anak kami. Bahkan orang Eropa pun mungkin belum tentu mau melakukannya.”

Lalu, Mar temenku yang asal Spain menimpali.”Ya, ya kamu benar. Bahkan belum tentu laki-laki Eropa mau ditinggal menjaga dua anak sementara istrinya sekolah. Aku juga punya beberapa teman yang muslim. Aku lebih suka melihat langsung, aku ga percaya sama media. Aku akan bilang sama teman-temanku bahwa aku punya teman muslim dan suaminya membolehkan dia sekolah jauh sementara dia menjaga anak-anak. Wah pasti teman-temanku ga percaya dan mereka akan terbengong-bengong kalau aku ceritain tentang kamu.” Hehe..aku nyengir. “Oke deh, sok atuh ceritain ke semua temen-temenmu, biar mereka tahu bahwa Muslim tuh ga kaya yang disebarin di media.”

Aku seneng banget bisa terbuka soal ini sama mereka, rasanya membuat komunikasi kami jadi semakin terbuka. Malamnya, kami berpisah. Aku dan S makan di Thai express sebelum ke hotel dan mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Kami say goodye sekalian karena meski mereka mengajak aku dan teman-teman lain untuk ke pasar esok harinya, tapi aku belum tentu bisa. “Makasih banyak ya, kalian baik sekali. Aku terharu melihat kebaikan kalian,” kataku.

Keesokan harinya, setelah check out dari hotel jam 12 siang, aku menunggu di station Gare St Jeans Bordeaux hingga keretaku menuju Paris Montparnass tiba pukul 14.52. Aku harus mengganti karcis yang masih print-printan. Parahnya petugas tiket asli ga bisa bahasa Inggris. Lalu pengumuman diline berapa kereta datang pun baru muncul 10 menit sebelumnya, sementara aku harus menarik lagi dua koper beratku hiks.

Untungnya, kali ini dari Paris Montparnass aku harus ganti kereta ke Berlin dari Paris East, tapi aku masih punya waktu dua jam lebih , jadi aku tak perlu terburu-buru seperti sebelumnya. Meski berat, tapi nyantai lah dan seperti sebelumnya, orang-orang pun banyak membantu aku.

Akhirnya setelah tiba di Paris East aku segera menunggu kereta menuju Berlin yang akan berangkat sekira pukul sembilan malam. Dua puluh menit sebelumnya, line kereta diumumkan. Aku segera naik dan menaruh barang-barangku. Rupanya kereta kali ini model Night City Line, yang satu kabin berisi 6 orang karena perjalanan memakan waktu hampir 12 jam, maklum lah kereta murah. Koper-koper harus ditaruh dibagian atas tempat duduk.

Seorang perempuan super gendut berkerudung lebar banget, berwarna bunga-bunga ugu yang senada dengan baju jubahnya seharusnya duduk dalam kabinku. Sepertinya dia dari Afrika, meski kulitnya tidak hitam. Rupanya dia hanya ingin menaruh barang di kabinku, lalu pindah duduk ke kabin lain. Kulihat ketika maghrib tiba dia bertanya,”Jam berapa sekarang, sudah setengah sembilan ya?” Lalu dia mengambil perbekalannya. Aku juga melihatnya sholat sembari duduk di bagian luar kabin. Betul-betul mempraktekan Islam ibu ini, syukurlah.

Di dalam kabin itu, aku duduk dengan seorang gadis Jerman lumayan cantik, berambut coklat galing sebahu. Bahasa Inggrisnya bagus dan dia cukup ramah. Rupanya dia sedang mengambil master di Universitas Postdam Berlin di jurusan Linguistik, dan dia baru pulang conference dari sebuah kota di Prancis. Kami saling berbagi cerita dan dia terheran-heran waktu aku bilang bahwa aku sudah punya dua anak dan anakku sudah umur 10 dan 8 tahun. “You look so Young..Aku ga ngira anakmu sudah sebesar itu,” katanya. Ehm…langsung deh aku kegeeran hehe.

Penumpang satu lagi adalah seorang pria muda berowokan jangkung berkacamata, berambut coklat, yang juga berasal dari Berlin. Aku pikir si gadis dan si bujang ini saling mengenal karena keduanya jago bahasa Prancis juga, tapi rupanya tidak. Si Pemuda sangat helpful dan juga baik. Sewaktu jam sudah menunjuk lewat dua belas malam, ketika lampu dimatikan dan orang-orang sudah mulai molor, lah dia malah mengeluarkan segepok kertas HVS dan bolpen. Tangannya terus bergerak-gerak menuliskan sesuatu. Kulihat satu lembar HVS paling atas penuh dengan coretan-coretan. Rasa ingin tahuku pun muncul.

“Kamu penulis ya?”
“Iya,” Jawabnya…
“Haa….sama dong!”

Dia pun terkaget-kaget mendengar aku juga suka menulis. Dan dia lebih kaget lagi waktu tahu bahwa aku menerbitkan buku karena diari-diari yang aku tulis di blog dilirik penerbit. “Wow, not bad,” katanya selalu kalau dia lagi surprise. Kami ngobrol panjang soal penulisan dan filosofi, backgroundnya. Tapi dia belum menerbitkan buku, hanya senang menuliskan ide-idenya saja. “Mungkin suatu hari nanti akan aku terbitkan. Sekarang aku masih terlalu muda, umurku masih 23 tahun, belum ada penerbit yang mau menerbitkan naskah-naskahku. Mereka lebih memilih naskah para penulis beken.” What? 23 tahun. Aku kaget dengan umurnya, karena dari penampakannya dia tampak 10 tahun lebih tua, maaf ya mas, jujur hehe.

Lucunya lagi dia lebih suka menulis di kertas seperti itu, meski harus kerja dua kali menyalinnya lagi di depan komputer. Sementara aku yang pemalas, lebih senang menulis langsung dalam laptopku. Yang jelas, aku kagum dengan semangatnya dan kemauannya yang terus menulis dimanapun dan kapanpun seperti itu, meski dia tahu bahwa belum tentu bukunya akan diterbitkan. Dia hanya menulis dan menulis saja, hebat!

Setelah itu aku pun berusaha tidur, bersyukur dengan kebahagiaan yang kudapatkan tiga hari di Bordeaux dan exited juga deg-degan dengan kehidupan baruku di Berln nanti. Seperti apa kamar student house ku nanti? Teman-temanku baik ga ya seperti di Bordeaux? Pelajarannya susah ga ya? Aku bisa ga huhuhu? Dan lain-lain beragam pikiran berloncatan dalam kepalaku. Hingga akhirnya aku pun tertidur. Zzzzzz….Bye..Bye… Bordeaux….sampai jumpa 6 bulan lagi!