Klarifikasi tentang Salah Persepsi Akibat Tulisan ‘Malik dan dokter Belanda (Dimana salahnya)’ dan juga buku ‘Smart Patient’

Sebetulnya sudah sejak lama saya sering mendapatkan kiriman pesan baik langsung maupun tidak langsung, baik positif atau negative, akibat cuplikan bagian I buku ‘smart patient’ (yang tentang cerita malik dan dokter Belanda berjudul ‘Dimana Salahnya’) tersebar di dunia maya tanpa bisa saya kontrol. Akibatnya selain laporan tentang dampak positifnya, timbul juga beberapa persepsi dari pembaca seperti: jadi anti antibiotic dan anti obat kimia. Saya pun menerima masukan bahwa pasien menjadikan buku saya sebagai pegangan untuk tidak percaya pada dokter, dll.

Saya akui bahwa saya salah karena telah membiarkan cuplikan bagian buku tersebut tersebar sehingga menimbulkan salah penafsiran yang ‘out of contex’, karena tidak mendapatkan pesan lengkap dari bukunya. Saya juga menyadari bahwa mungkin ada kata-kata dalam artikel tersebut (maupun dalam buku) yang terasa terlalu ‘harsh’ sehingga beberapa pihak menjadi tersinggung karenanya. Untuk itu saya mohon maaf sebesar-besarnya, sama sekali tidak ada niatan untuk menyinggung, tapi semua terjadi semata-mata karena saya masih dalam proses belajar dan belum piawai dalam menyusun kata. Namun sekali lagi, di dunia maya apapun bisa terjadi dan saya tidak bisa mengontrolnya. Mungkin ceritanya akan menjadi berbeda ketika pembaca tidak semata membaca artikel tersebut tetapi juga membaca secara lengkap isi bukunya dengan benar. Karena itu saya hanya ingin mengklarifikasi bagian yang paling penting bahwa:

Dari tulisan tersebut maupun dari buku yang saya tulis, saya sama sekali tidak pernah menganjurkan untuk menjadi anti obat kimia, anti antibiotic maupun anti dokter. Jika ada yang menafsirkan demikian, mohon maaf tolong baca selengkapnya buku saya dengan benar. Dalam tulisan saya, justru saya menekankan untuk, plis jadilah smart dan rasional, lihat evidence based, lihat apa kata penelitian, liat sumber-sumber terpercaya supaya kita tidak gampang tertipu dan salah. Dalam buku itu saya juga tidak mengatakan untuk anti dokter tapi justru, ayo, tolong, bantulah dokter dan bekerjasamalah dengan dokter. Tidak perlu minum obat kalau tidak perlu, tapi justru harus minum obat kalau memang perlu.Saya tidak menganjurkan obat-obat herbal, bekam dll, yang memang tidak ada dalam buku tersebut bukan karena saya anti terhadap obat-obatan/tindakan tersebut melainkan karena saya memang belum menemukan penelitiannya dalam literature yang saya baca dan saya tidak ingin menulis sesuatu yang saya tidak memiliki bukti medis yang bisa saya pertanggungjawabkan tentangnya. Jika pembaca ingin menganjurkan tentang herbal, bekam dan lain-lain ini kepada yang lainnya, silahkan, tidak ada yang melarang, tapi tolong jangan cantumkan artikel saya ataupun buku saya untuk mendasarinya.

Dengan klarifikasi ini saya hanya berharap semoga tulisan saya tidak disalahgunakan dan disalahtafsirkan. Saat menulis setiap bagian di buku itu, saya selalu usahakan untuk mengawalinya dengan doa dan tak berani saya menulis sebelum membaca sumber-sumber terpercaya. Meski demikian, tetap saja tulisan saya memang jauh dari sempurna karena kesempurnaan hanyalah milikNya. Karena itu sekali lagi saya mohon maaf dan juga saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak, respon yang saya terima kemudian semakin menyadarkan saya akan pentingnya berhati-hati dalam menulis. Saat dalam proses penulisan buku itu, saya bergetar, saya berpikir panjang, saya butuh waktu tahunan sebelum kemudian memutuskan untuk menerbitkan buku itu, karena saya sadar bahwa konsekuensi menjadi penulis dan sebuah tulisan tidaklah gampang. Apapun yang saya tulis harus bisa dipertanggungjawabkan bagi dunia dan akhirat saya. Karena itu, tolong gunakan dan persepsikan tulisan saya sebagaimana mestinya.

Demikian klarifikasi dari saya,
Agnes Tri Harjaningrum, penulis artikel ‘Dimana Salahnya’ yang merupakan bagian dari buku Smart Patient.