Tour the Europe Edisi Belanda-Italy

Delapan tahun tinggal di Belanda, belum pernah sekalipun kami pergi berlibur saat musim dingin. Namun penghujung tahun 2012 menjadi winter yang berbeda. Mengingat keinginan aku dan suami yang sudah sangat ingin kembali ke tanah air, dan sepertinya kondisi sudah sangat memungkinkan untuk pulang, jadilah winter 2012 ini aku jadikan liburan habis-habisan. Karena anak-anak sudah besar dan tak bisa lagi mendapat tiket gratisan, maka pilihan menyewa kendaraan menjadi moda transportasi yang lebih menguntungkan buat kami berempat. Setelah mencari tempat-tempat indah di Eropa yang belum sempat kami kunjungi, maka tour the Europe kali ini jatuh pada rute: Amsterdam- Cinque Terre (Italy) melewati Strassbourg (France), Stutgart, Jerman dan menembus Switzerland melalui kota-kota seperti Basel dan Zurich.

Destinasi tersebut dipilih dengan berusaha mewakili keinginan semua. Sebetulnya tujuan utama adalah Cinque Terre, lima buah desa unik di ujung Italia yang saking cantiknya katanya menjadi dream destination bagi orang-orang Amerika Serikat. Untuk pergi ke tempat ini, setelah melihat peta, kemudian aku pilihlah kota-kota cantik yang bisa sekalian disinggahi. Kota kecil Strassbourg di Prancis menjadi pilihanku, karena kota kecil ini katanya bagus dan masuk dalam Unesco World Herritage. Lalu karena belum pernah ke Milan, kami putuskan juga untuk pergi ke Milan dengan stadion San Siero nya yang terkenal. Dari Milan ke Cinque Terre hanya butuh 3 jam dan diantaranya ada Genoa, kota pelabuhan yang juga cantik. Setelah Cinque Terre, perjalanan kembali ke Amsterdam kami pilih melalui Verona, kotanya Romeo and Juliet. Lalu untuk memenuhi keinginan Malik, si winter boy, aku pilihkan juga untuk singgah di Courmayeur, sebuah area ski resort di kaki gunung Montblanc. Dari situ baru kemudian kami lanjut ke Stutgart , Reutilingen dan Kirchheim, Jerman karena kebetulan ada kawan baik yang tinggal disana. Nah itulah jalur yang kami pilih, jalur yang semuanya alhamdulillah memang keren-keren tempatnya.

Seperti biasa aku kebagian research dan membuat itinerary lengkap, termasuk memilih hotel serta detil tempat-tempat yang akan kami singgahi. Setelah melewati masa-masa sulit pasca libur lebaran, aku sungguh menanti nanti masa liburan itu. Suamiku juga tak sabar ingin merasakan lagi menyetir mobil menjelajah Eropa. Dan ketika hari H tanggal 25 Desember 2012 tiba, yay! Perjalanan liburan pun dimulai! Berikut ini detil rute jalan mobil yang kami lalui, siapa tahu berguna bagi yang ingin menjelajahi Eropa edisi Belanda-Italy:

Amsterdam-Strassbourg (6 jam) – Strassbourg-Milan (5 jam) – Milan-Genoa (1,5 jam) Genoa-Cinque Terre (1,5 jam) – Cinque Terre-Verona (3 jam) – Verona-Courmayeur (3 jam) – Courmayeur – Stutgart (6 jam) – Stutgart – Amsterdam ( 6 jam).

Strassbourg, Prancis
Chrismast Market, Cathedral dan Petite France

Yang paling terkenal dari kota ini adalah Chrismast Market nya, katanya merupakan salah satu yang tercantik di Eropa. Kami tiba di tempat ini setelah hari gelap sekira pukul 7 malam tepat di hari Natal 25 Desember 2012. Memasuki centrum alias alun-alunnya, mataku terpesona. Pohon natal menjulang di tengah kota yang dihiasi lampu-lampu keemasan, juga miniatur-miniatur suasana natal di sekitarnya. Ditambah bangunan-bangunan klasik berhiaskan lampu dan hiasan-hiasan unik di sekeliling centrum, Strassbourg menjadi kota yang sangat cozy sehingga tak heran kalau menarik banyak orang meskipun di hari natal ini kota terlihat sepi. Yang membuat semakin unik adalah hiasan lampu lucu-lucu di jalan-jalan sempit plus gantungan hiasan di jendela-jendela rumah atau toko. Ada yang memasang boneka-boneka beruang warna putih, coklat atau pun krem. Ada yang memasang bunga-bunga krans khas natal, ada juga yang memasang boneka beruang naik slee dengan Sang Santa. Duuh lucu-lucu banget dan kreatif! Di Tourist info dekat catedral malah terpasang ginger cookies raksasa yang membuat siapapun tergoda untuk memotretnya, unik!

Esoknya, Chrismast market itu ternyata masih buka, sampai akhir Desember katanya. Kami jadi bisa merasakan dan mengerti kenapa chrismast market di kota ini menjadi begitu istimewa. Di pusat kota tua, berdiri cathedral megah dengan hiasan bangunan bergaya gothic, dengan hiasan lancip lancip. Katanya cathedral yang bernama Cathedral of Our Lady of Strassbourg ini merupakan gereja ke enam tertinggi di dunia. Nah cathedral ini menjadi magnet bagi suasana di sekitarnya. Persis di depan cathedral pengunjung berjejal-jejal membuat kami hampir tak bisa jalan. Toko-toko di jalan utama menuju cathedral tak kalah sesak karena memang dibuat unik. Di penghujung jalan ada bangunan dengan dinding berhias palang-palang kayu, bagian atas toko-toko di sekitarnya dihias dengan kreatif. Kios-kios Chrismast market berjejer-jejer hampir di seluruh area sekitar cathedral.

Mataku tak lepas memandang sebuah lokomotif kecil di depan catedral. Lokomotif itu dikendarai oleh sepasang suami istri yang berjualan kacang-kacang besar. Yak kacang raksasa! Dengan aroma panggang yang menggiurkan, plus kehangatan asap dari kacang besar itu menyedot orang untuk ngantri membelinya. Aku penasaran dan membeli sebungkus kacang raksasa bernama maroon itu seharga 2 euro. Dengan kulit warna hitam yang terkuak karena terpanggang, aku coba buka kulitnya dan memakannya. Ternyata rasanya manis, gurih enaak. Kata suamiku rasa dalamnya si kacang malah mirip ubi, mm ya ya, aku rasa memang begitu adanya.

Setelah puas menikmati pusat kota, kami pergi ke Petite France, sebuah area agak jauh dari pusat kota, tapi masih bisa ditempuh dengan jalan kaki menyusuri sungai. Petite France dari kejauhan sudah memanja mata, dibelakang jembatan dan sungai yang bersih kami melihat bangunan khas kota Strassbourg berjejer-jejer di tempat ini, yaitu bangunan dengan dinding berhias palang-palang kayu yang disusun kotak-kotak. Sepintas tempat ini mirip Annecy, kota pinggiran Prancis dan Swiss, tapi menurutku Annecy lebih cantik. Kompleks Petite France terdiri dari jalan-jalan sempit yang dipenuhi dengan café-café, toko souvenir dan juga warung-warung Chrismast Market.

Bermula dari anak-anak yang bête karena orangtuanya sibuk hunting foto di tempat ini, maka dibuatlah kompetisi supaya perjalanan jadi menarik. Malik yang ngefans berat sama Gangnam Style akhirnya mulai membuat video dia berjoget gangnam style di setiap tempat yang dia kunjungi, dan dimulai dari Petite France.

Yang berbeda pula dalam liburan kali ini adalah kami betul betul menikmati kebersamaan keluarga bersama anak-anak yang sudah beranjak besar. Kami bisa saling bercanda dan keketawaan di jalan. Kerasa banget lainnya jalan sama anak yang sudah remaja. Mereka bisa bikin joke joke lucu dan ikut nimbrung dalam pembicaraan serius. Malik yang bawa pedang lego, bikin joke dengan bahasa Inggris ala ninja higa nya. Oya entah kenapa kami sepanjang jalan jadi ngomong bahasa Inggris terus, seru deh. Dan aku takjub sama kemampuan bahasa Inggrisnya anak-anak. Malik yang hobi banget nonton youtube Ninja Higa berbahasa Inggris juga demen ngapalin lagu, ternyata bahasa Inggrisnya improve banget dari tontonan itu. Lala yang di sekolah dapat bahasa Inggris ya tentu aja jago, grammatical ku sering banget di kritik sama dia,”Bunda nih kaya beginner aja ngomong bahasa Inggrisnya,”huhuhu…mati kutu deh si gue.

Milan, Italy
Duomo, Galleria Vittorio Emanuele, San Siro Stadium dan Serravalle Designer Outlet

Esoknya, setelah hampir 6 jam perjalanan dari Strassbourg melewati kota-kota di Jerman dan menembus Switzerland, sampailah kami di kota Milan. Mendengar kota Milan, identik dengan megah, keren, dan gimana gitu ya. Eh ternyata pas udah sampe sana kotanya mah biasa aja seperti kota tua pada umumnya di Italy. Katanya Milan itu perpaduan antar kota tua dan baru karena sempat hancur separoh kotanya sewaktu perang dunia II. Dan kalau mau melihat kota cantik bukan Milan tempatnya, mungkin karena memang Milan identik dengan kota mode dan belanja. Pusat wisata di kota ini tak terlalu banyak.

Yang terkenal dan patut ditengok adalah centralnya tentu saja, Duomo (Cathedral) beserta Galleria Vittorio Emanuele, yang merupakan shopping mall terbesar di Milan dan tercantik pastinya. Selain itu yang tak boleh ketinggalan bagi penggemar bola adalah mengikuti tour di stadium bola San Siro yang terkenal sebagai tempatnya AC Milan dan juga Inter Milan. Sebetulnya yang paling terkenal di tempat ini adalah melihat lukisan asli ‘The Last Supper’karya Leonardo Da Vinci yang berada di Cenacolo Vinciano, dekat gereja Santa Maria della Grazie. Tapi berhubung pemesanan ticket harus dilakukan online barbulan-bulan sebelumnya, dan kami juga bukan penggemar lukisan, jadilah kami melewatkan tempat ini.

Galleria Vittorio Emanuele, memang sebuah shopping mall yang megah dan keren. Melihat arsitekturnya pasti semua orang akan bilang,Wow’. Jalan masuknya saja sudah terlihat megah dengan arsitektur berbentuk melengkung dibagian atap berwarna keemasan menghiasi sepanjang jalan utama. Tetapi bagiku, tempat ini hanya bisa dijadikan untuk window shopping karena harga-harganya selangit tak mungkin lah bagi kami untuk belanja beneran. Toko-toko seperti Prada dan Louis Vitton yang memang aslinya berasal dari kota ini menjadi pemandangan utama di tengah mall. Dengan harga barang-barang yang mencapai ribuan euro, kami cuma bisa masuk sebentar melihat-lihat sambil terbengong-bengong. Oya sebelum ke tempat ini, saat keluar dari tempat parkir, kami juga terkaget-kaget karena disapa oleh seorang bapak muda yang sedang jalan-jalan dengan anaknya yang lucu memakai kereta bayi.Örang Indonesia ya?”sapanya. Wah sempitnya dunia, dimana-mana bisa ketemu orang Indonesia. Dan kebetulan banget, karena Lala sedang cari toilet, maka ikutlah kami mampir ke apartemen beliau yang ternyata tak jauh dari pusat kota Milan.

Stadium San Siro cukup asyik dan menjadi favorit anak-anak terutama Malik. Tour seharga 12 euro per kepala rasanya cukup berharga untuk diikuti karena kami memang mendapatkan pengalaman menarik saat tour. Pemandangan stadium dari luar terkesan biasa saja, bangunannya tak semegah Allianz Arena di Munchen atau Real Madrid di Spain, tapi dengan ikut tournya, kami jadi bisa merasakan apa saja yang dilakukan oleh para pemain bola terkenal itu.

Tour dipandu oleh seorang wanita Italy berambut coklat yang logat bahasa Inggrisnya Italy banget. Aku dan anak-anak cekikikan ketika mendengar dia berkata,”Hey guys where are you goooing-g, yang dilafalkan dengan logat Italy dimana go nya dibuat panjang dan íng’dibelakang diakhiri dengan pantulan ‘g’yang sangat kental: goo –ing-ge.

Lucunya kami juga disapa oleh seorang wanita campuran Afro sepertinya, yang kemudian mengajak kami berbahasa Indonesia patah-patah setelah tahu kami berasal dari Indonesia. Katanya dia senang belajar bahasa dan pernah belajar bahasa Indonesia meskipun belum pernah mampir ke Indonesia.”Selamat siang dan terimakasih,”katanya mengakhiri obrolan singkat kami.

Sebelum tour dimulai kami diperkenankan melihat-lihat museum selama setengah jam yang berisi piala-piala, baju, dan proses perjalanan para pemain terkenal Milan dari dulu sampai sekarang. Ada baju-baju milik Kaka, Ronaldo, Shevchenko dan juga Beckam terpajang, juga sepatu emas dan bola serta sepatu jadul sejak sepak bola mulai dipertandingkan di penghujung tahun 1800 an.
Ketika tour dimulai, tour guide kami mengajak kami berkeliling sekitar tempat menonton bola dengan kekhasan stadium San Siro yang di beberapa sayap hanya ada 3 tingkatan kursi penonton tidak sama dengan bagian lainnya. Sayangnya area lapangan bola nya sendiri tidak diperkenankan untuk didekati. Tapi kami boleh duduk-duduk di kursi penonton biasa yang berwarna biru, merah bahkan sampai ke kursi vice president yang berwarna putih. Yang paling seru adalah ketika kami diajak ke ruang ganti baju, karena ternyata aku dan Lala menduduki kursi orang paling penting, tapi sayangnya aku lupa siapa. Lalu kami juga diperkenankan untuk melihat dan foto-foto di tempat konferensi pers dimana biasanya para pemain bola itu diwawancara setalah pertandingan selesai. Malik bahkan sempat dikasih kunci oleh si mbak tour guide untuk membuka salah satu pintu ruangan. Seruuu! Oya, lagi-lagi di tempat ini kami ketemu serombongan orang Indonesia, student dari Malang yang sedang ambil program S1 di Milan. Hebat ya orang Indonesia memang bertebaran dimana-mana hehe.

Serravalle Designer Outlet

Factory outlet barang bermerk yang terkenal berharga miring ini terletak satu jam dari Milan. Sebetulnya Milan cukup dijelajahi dalam sehari, besoknya kalau mau pergi ke tempat ini setengah hari, bisa lanjut menginap di Genova yang kotanya lebih cantik. Sayang kami tak tahu. Jadi ya akhirnya agak bolak-balik rutenya. Nah di Seravalle ini modelnya mirip Batavia stad di Lelystad atau Roermoend, kalau di Belanda. Tapi toko-tokonya yang ada di sini sepertinya lebih lengkap. Outlet Furla, home coking, Nike, Adidas, Prada dan lain-lain yang bermerk-merk lengkap ada disini. Hargannya memang lebih miring daripada di Outlet aslinya, tapi untuk merk-merk yang harganya super mahal ya tetep aja mahal. Paling-paling yang menggembirakan adalah waktu belanja di Nike, harga kaos bola Milan asli, yang tadinya 80 euro bisa jadi 15 euro saja, begitu juga dengan beberapa sepatu. Jadi masih mending lah, masih bisa ada yang dibeli dengan harga miring di tempat ini.
Genova, Italy

Sebetulnya, kami hanya berniat mampir sebentar di kota ini, tapi ternyata kotanya cantik bangeet! Tak heran kalau kota ini disebut ‘the hidden gems’, kota pelabuhannya sangat romantiiis. Duh menyesal kenapa berlama-lama di Milan padahal lebih baik bagi waktu menginap di Milan satu hari dan di Genova satu hari.

Genova adalah kota pelabuhan di ujung Italy, masuk dalam Ligurian area dan merupakan tempat lahirnya Christhoper Colombus si penjelajah ulung. Kami yang tadinya hanya ingin melihat-lihat kota sekitar 2 jam, jadinya molor hampir 5 jam. Tak apalah ke Cinque Terre kemalaman daripada menyesal tak puas mencicipi kota yang juga masuk dalam list Unesco world Heritage ini.
Berjalan mengikuti promenade di pelabuhan kota ini tak pernah bosan. Sepanjang mata memandang yang ada adalah keindahan. Selain perahu-perahu yang terparkir rapih di pinggir pelabuhan, susunan rumah-rumah bernuansa warna orange dan pastel tampak dari kejauhan disertai pemandangan bukit-bukit yang juga menambah cantik. Pantas saja ketika berhenti di kota ini, Paolo Coelho penulis buku Alchemist yang terkenal pernah menulis begini: “Among the marvels of Italy, it will take some digging to find the beauties of Genova, but it is worth visiting it. I remember walking there with a friend, when she suddenly said: “Let’s stop for a bit. I can’t stand this orange color!”

Setelah melewati promenade dan sampai di pusat pelabuhannya, pohon-pohon palm berjejer indah memanja mata. Ditambah resiknya kota disertai alunan music pengamen jalanan yang keren, rasanya tambah betah saja berlama-lama di kota ini. Sayangnya kami tetap harus melanjutkan perjalanan. Setelah mencicipi makan siang seafood Italy yang lumayan enak, akhirnya kami pun segera cabut dari kota ini. Makanan yang cukup enak dan patut dicoba menurutku adalah spaghetti seafood atau nasi dengan seafood, meskipun nasinya model paella agak keras, tapi lumayan laah. Dan time to say good bye pun tiba pada Genoa, sambil menyisakan rasa puas yang belum terpenuhi. Suatu hari semoga kita bisa jumpa lagi ya Genoa….

Cinque Terre, Italy : Manarola, Romagiorre, Vernazza and Monterosso

Kami sampai di Manarola di malam hari. Jalanan menuju Manarola berliku-liku, membuat anak-anak pusing, meski untungnya tidak sampai muntah. Yup inilah perjalanan bermobil pertama kali dimana Malik sama sekali tidak muntah dan Lala Cuma sekali kalau tak salah. Perjalanan kami malam itu juga ditemani sinar bulan yang sedang purnama, jadi ketika kami sampai di tikungan dan melihat ke bawah, suasananya betul-betul indaaah banget. Perpaduan antara rumah-rumah berundak-undak yang dibangun di atas tebing pantai, disertai pemandangan laut di kejauhan dan bukit menjulang di sisi kiri kanan, ditambah lagi purnama kekuningan di cakrawala, hmm membuat siapapun yang melihatnya hanya bisa memuji nama Tuhan, subhanallah.

Karena terletak di pinggir laut bertebing, kelima desa di Cinque Terre itu, jalanannya berundak-undak, naik turun tangga dan bukit, jadi stamina memang harus fit. Hotel kami terletak di dekat pusat desa Manarola yang tak jauh juga dari tempat parkir. Jadi di kelima desa ini, mobil sama sekali tak boleh masuk. Kalau berani masuk bakal kena denda ratusan euro. Untuk berkeliling ke lima desa tersebut kita harus naik kereta api atau bus umum, tapi yang paling nyaman adalah naik kereta api.

Kami sempat berjalan-jalan serena menikmati malam di Manarola. Tapi karena hari sudah gelap dan cuaca cukup dingin, jalanan tampak sepi. Ada beberapa restaurant dan cafe di pinggir laut yang juga mulai sepi. Meski begitu kami mencoba naik ke bukit tertinggi yang ternyata pemandangan dari sana memang luar biasa. Suamiku sempat mengambil fotonya dan hasilnya persis seperti foto dalam kartu pos, karena memang tempat aslinya yang begitu indah.

Keesokan harinya, kami pun mulai menjelajahi Cinque Terre. Desa pertama yang kami tuju adalah desa terdekat dari Manarola yaitu Romagiorre. Dengan naik kereta tak sampai 15 menit, kami sudah mencapai desa ini. Sebetulnya di musim panas, lebih enak berjalan kaki, karena jaraknya hanya 1,5 km dan pemandangannya pun luar biasa indah katanya. Namun sayangnya, kali ini jalan pintas menuju Romagiorre yang bernama via dell’amore alias romantic path ini sedang ditutup karena winter.

Dari kelima desa di Cinque Terre, menurutku desa Romagiorre lah yang paling indah. Perpaduan tebing, rumah-rumah berundak bernuansa oranye, laut, perahu dan hmm entahlah, pokoknya desa ini sangat membuatku jatuh hati. Desa yang juga tak kalah cantiknya adalah Vernazza, selain pemandangan yang mirip diatas, ada gereja berkubah warna putih diantara bangunan orange, yang tentu saja membuat Vernazza menjadi semakin indah. Dan ajaibnya di tempat ini lah kami berjumpa lagi-lagi dengan orang Indonesia, dan orang yang sama pula, yaitu bapak muda yang kami temui di Milan, beserta keluarga dan temannya yang semua berasal dari Indonesia. Oh dunia, memang benar-benar sempit!

Kami sengaja tidak mengunjungi Corniglia, dengan pertimbangan, berhubung di tempat ini menyempil sendiri tak ada pantai jadi kami anggap pemandangannya sama lah seperti dari atas bukit. Lalu kami pun kembali naik kereta dan menuju pemberhentian terakhir ketika hari mulai gelap yaitu Monterosso. Monterosso di musim panas menjadi ajang untuk mandi-mandi di pantai dan berjemur bagi para turis. Memang hanya di Monterosso inilah pantai terlihat memanjang dengan pemandangan tebing di ujung kiri kanan. Bagian kanan dipenuhi bangunan-bangunan baru, sementara di ujung kiri katanya merupakan kota lama. Desa ini terlihat lebih modern dibanding desa lainnya dan menurutku tampak lebih biasa dibandingkan desa-desa temannya.

Setelah melompati desa-desa dan mengelilinginya seharian, malam hari kami pun kelelahan dan tentu saja lapar! Waktu mau masuk ke dalam sebuah restaurant pada pukul enam petang, tak tahunya si pelayan bilang,”Kami tutup dan baru buka lagi pukul setengah tujuh” Wah terpaksa deh keliling-keliling dulu setengah jam, padahal sudah kedinginan. Dan alhamdulillahnya penantian kami tak sia-sia, di resto itu masakan seafoodnya lumayan enak dan banyak pula, harga pun masih cukup terjangkau. Yang tak boleh dilewatkan di desa ini memang mencicipi seafoodnya. Favoritku adalah mix seafood goreng, yang didalamnya ada calamaries, octopus, udang dan ikan gurih kecil-kecil sebesar ikan terri, hmm yummy!

Verona, Italy

Hari itu adalah penghujung tahun 2012. Yak, kami rencananya akan merayakan malam tahun baru di kotanya Romeo and Juliet ini. Tapi alih-alih menunggu malam ganti tahun datang, baru jam 8 malam pun kami sudah kedinginan. Alhasil bertahun baruanlah kami berempat, untel-untelan di kamar hotel. Malah seru dan asyik daripada di luar kedinginan. Dan seperti biasanya, kami sekeluarga punya ritual malam tahun baru, yaitu berdoa bersama dan make a wish, meyebutkan apa yang diharapkan di tahun baru dan apa yang akan ditinggalkan di tahun lama. Sayangnya aku ga mencatat detilnya anak-anak bilang apa, padahal lucu-lucu juga.

Tentang kota Veronanya sendiri, kami sampai di kota itu beberapa jam sebelum hari gelap. Yang khas di centrumnya adalah adanya bangunan mirip koleseum yang tuaa banget, tapi dipadu dengan tambahan arsitek melengkung warna putih di depan gedung yang modern. Jadinya memang unik meskipun agak aneh menurut suamiku. Setelah itu kami pun segera mencari balkonnya Juliet yang sungguh terkenal itu. Balcon itu dijadikan icon kota Verona karena katanya disanalah Romeo menyatakan cintanya pada Juliet atau disanalah William Shakespere mendapatkan ide tentang Romeo dan Juliet, entah mana yang benar tapi kira-kira demikian. Dan setelah melewati pedestrian street sempit yang dijejali orang-orang dimana kanan kirinya penuh dengan toko-toko seperti di mall ala Kavelstraatnya Amsterdam, maka sampailah kami akhirnya di tempat Balconnya Juliet berada.

Dan ternyata eng ing eng..OMG, tempatnya kecil doang! Jadi diantara pertokoan yang beberapa diberi nama toko ‘Romeo and Juliet’, terdapatlah sebuah pintu gerbang kecil, nah kalau masuk ke dalam tampaklah sebuah area terbuka kecil yang dipenuhi manusia berjejal-jejal. Apa yang mereka lakukan? Selain hendak memotret balkon Juliet di lantai satu, mereka juga antri hendak foto sama patung Juliet yang berwarna keemasan. Anehnya ketika berfoto bersama si patung, orang-orang selalu memegang payudara Juliet yang sebelah kanan. Aku dan anak-anak kegelian, apa sih maksudnya. Oh rupanya, mitosnya begitu, kalau memegang payudara sebelah kanannya maka nanti akan dapat keberuntungan. Meskipun sama sekali ga make sense, tapi aku waktu berfoto sama suamiku dengan si patung, tetep aja ikut-ikutan memegang. Hmh dasar turis norak ya hehe.

Tak jauh dari patung juga ada jeruji yang dipenuhi ribuan gembok warna-warni yang kebanyakan berwarna pink. Banyak yang bilang tempat ini adalah tourist trap, mungkin betul juga. Karena harga satu gembok saja sekitar 5 euroan, lalu belum perlu spidolnya untuk menuliskan nama kita disitu. Herannya, tetap saja dari atas hingga bawah jeruji tinggi itu dipenuhi oleh gembok warna warni.
Uniknya selain gembok di jalan masuk setelah gerbang, di tembok sebelah kanannya ada beberapa telpon jadul menempel di dinding. Di telpon itu ada dua gagang dan di tengahnya ada gambar Romeo dan Juliet. Maksudnya telpon ini untuk sepasang kekasih yang sedang mabuk kasmaran kali ya. Nah yang lebih unik lagi, dinding tembok ini penuuuuh blek dengan jutaan tandatangan atau nama berpasangan, seperti Agnes love Ismail dan semacamnya. Semua orang yang datang ke tempat ini dari seluruh penjuru dunia tampaknya tak lupa selalu meninggalkan jejak untuk menorehkan nama mereka di tempat itu. Dan lagi-lagi aku juga ikut-ikutan menorehkan namaku dan suamiku disana, sayangnya, aku ga bawa spidol jadinya Cuma pake bolpen yang ga kebaca juga, yang penting pernah menorehkan nama disitu lah haha dasar ya doyannya ikut-ikutan doang.

Courmayeur, Italy

Courmayeur adalah sebuah ski resort terkenal di Italy yang letaknya berada di kaki gunung Mont Blanc Zwitzerland. Karena liburan ini sebetulnya agak-agak dadakan, aku baru memesan hotel dua bulan sebelumnya dan tentu saja hotel di tempat ini sudah fully booked semuaa, wadaw! Waktu aku gugling, dari sekitar 300 an hotel di area ini semuaa penuh, kalau pun ada yang tersisa adalah hotel-hotel mahal yang harganya selangit, duuh enggak banget deh. Alhasil kami hanya bisa dapat hotel di daerah Point Saint Martin yang jaraknya hampir satu jam dari Courmayeur.

Di Point Saint Martin kami sama sekali tidak melihat salju, walaupun kota kecil itu memang dikelilingi pegunungan. Jadi kami sempat agak-agak ragu, ini bener ga ya daerah untuk main salju. Sebab Malik si winter boy sudah ga sabar mau main salju. Perlengkapan lengkap seperti sepatu khusus salju, serodotan dan lain-lainnya pun sudah dibawa dari Amsterdam, kalau ternyata saljunya ga ada apa kabar dong.

Tapi untungnya, setelah besoknya kami sampai di Courmayeur, daerah itu memang penuh salju yang tentu saja cantik. Orang-orang berbaju ski memeuhi kota kecil itu. Kami pun langsung mencari taman bermain untuk anak-anak dan keluarga. Kami sengaja hanya ingin main-main dan menikmati kota pegunungan bersalju, tak hendak mengikuti tour-tour naik cable car karena tahun sebelumnya sudah pernah waktu kami ke Zemart.

Malik dan ayahnya segera mencari posisi maen seluncuran salju yang asik, aku dan Lala ga lama pun segera menyusul. Setelah capek barulah kami kelililng-keliling kota sambil jalan kaki. Menikmati centrumnya yang ditengahnya berdiri pohon natal besar, dikelilingi gunung-gunung es berwarna putih, pokoknya indah banget, jadi memang pantas kalau dijadikan sasaran liburan bagi orang-orang. Sayangnya meski indah kami ga kuat dinginnya, hanya Malik yang selalu happy berada di tempat itu, sementara kami sudah menggigil.

Yang paling susah dicari ditempat ini adalah makanan. Kalau masuk restaurant, jangan harap ketemu ikan atau daging ayam, mungkin karena di pegunungan. Yang ada adalah daging sapi kalengan atau malah daging rusa. Jadi ujung-ujungnya kami Cuma bisa makan pizza mozarella atau semacamnya. Sudah mahal, rasa pun biasa saja.

Keesokan harinya sebetulnya adalah jadwalnya kami kembali pulang dan mampir ke Jerman. Tapi berhubung Malik belum puas main saljuan, berhentilah lagi kami di Dolone, sebuah desa dekat Courmayeur. Dan setelah menemukan fun parknya, ternyata daerah ini lebih asiiik. Tempat seluncurannya sangat tinggi dan area mainnya pun lebih luas. Orang-orang yang bermain ski terlihat berkejaran di tempat ini, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Melihat anak yang kecil-kecil sudah jagoan main ski, wuih ngiriii kayanya asyik banget, walaupun menyeramkan juga tampaknya. Hampir 2 jam kami disini sebelum akhirnya berhenti karena kedinginan. Dan ternyata main seluncuran dari tempat yang tinggi itu sungguh assoy! Aku ga berhenti teriak-teriak ketakutan tapi juga keasyikan saat meluncur dengan sangat cepat dan tajam sampai akhirnya berhenti di tempat datar. Seruuu! Betul-betul fresh dan membuat adrenalin turun naik. Pantesan Malik demen banget ga mau pulang. Tapi karena takut kemalaman sampai Jerman kami pun harus segera cabut dan kembali pulang.

Menembus Mont Blanc dari perbatasan Italy-Swiss

Kami sengaja memutuskan melewati jalur menembus Mont Blanc untuk mendapatkan pengalaman lain. Jalur ini menembus 3 negara yaitu Italy, Prancis dan Swiss. Dan ternyata, pemandangannya memang luar biasa! Jalan berkelak kelok diantara pegunungan salju yang putihnya tuh betul betul putiiih semua, sepanjang jalan aku sampai berdecak-decak kagum menyebut terus nama Allah. Sesekali kujeprat-jepret pemandangan sepanjang jalan, tapi gambarnya tetap saja tidak bisa menunjukkan keindahan aslinya. Baru kali ini aku melihat hutan pinus berwarna putih tanpa setitik pun hijau disana karena saking tebalnya salju dan tak ada orang memegangnya. Ketinggian salju di pinggir jalan kadang mencapai dua meter hampir setinggi rumah. Hutan pinus diantara pegunungan penuh salju dan cerahnya langit kebiruan, suatu kombinasi yang wah pokoknya indah banget, susah aku menggambarkannya.

Beberapa kali kami jadi terpaksa berhenti mengambil foto karena ga tahan melihat kecantikan daerah itu. Malik pun sempat minta berhenti di hutan pinus bersalju dan melempar-lempar salju ke mobil juga malah sempat-sempatnya main bola! Memang winter boy banget deh ini anak. Sementara kakaknya lebih memilih mendekam di dalam mobil karena kedinginan.

Sewaktu melewati terowongan yang menembus Mont-Blanc, ternyata bayarnya mahal banget, 45 euro padahal hanya melewati 11 km saja. Mungkin saking susahnya terowongan itu dibuat, jadilah harganya pun mahal luar biasa.

Di antara hutan pinus itu kami juga sempat berhenti sejanak di Carefour. Yup dari Carefournya saja kami sudah tahu bahwa itu daerah kekuasaan Prancis. Di daerah itu rupanya banyak desa-desa tempat ski, karena kami sering melihat orang-orang berbaju ski berseliweran menunggu bis datang.

Setelah Italy dan Prancis terlewati, lalu kami pun mulai masuk ke Swiss lagi. Dan setelah berjalan hampir 6 jam barulah akhirnya kami sampai di Kirchem Jerman, tempat sahabatku tinggal. Datangnya pun kemalaman setelah lewat jam 10 malam.

Stutgart dan sekitarnya

Di Stutgart ada museum mobil mercedes benz yang terkenal, tapi sayangnya kami malah tidak menyempatkan untuk kesana. Karena 3 orang sahabatku semua tinggal di kota-kota kecil dekat Stutgart yaitu Kirrcheim, Reutlingen dan dekat Metzingen, alhasil kami malah lebih senang kumpul-kumpul, ngobrol dan makan-makan. Yang sempat kami kunjungi hanyalah kota Factory outlet metzingen, untuk cuci mata dan belanja yang katanya barang bermerknya murah-murah juga. Sisanya, asli kami habiskan dengan kangen-kangenan dengan para sahabat. Mungkin karena sudah 10 hari di jalan dan kelelahan juga.

Akhirnya di hari ke-11 tour Eropa edisi Italy kami pun berakhir. Waktu merangking tempat terindah dari semua kota yang kami kunjungi, aku, suamiku dan Lala memilih Cinque Terre, sementara Malik memilih Courmayeur (Winter Boy gitu loh hehe). Alhamdulillah ya Allah, telah Kau beri aku kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat indahMu di muka bumi. Mungkin baru setelah 5 tahun ke depan aku bisa jalan-jalan lagi, karena itulah maka kebersamaan saat liburan winter itu begitu berharga buat aku sekeluarga. Sepertinya edisi Eropa sudah hampir tamat, semoga edisi benua-benua lain masih bisa kulahap. Yang pasti, aku dan suamiku pernah menuliskan mimpi, untuk growing old together dan bercita-cita untuk keliling dunia. Semoga saja suatu saat betul-betul terlaksana.