Serunya Tanggapan Artikel ‘Perempuan Apa yang Kau Cari?’

Saat membacanya aku tersentak. Wah, pasti artikel ini akan membuat banyak wanita tersinggung, walaupun pasti ada juga yang memuji. Tanpa pikir panjang, langsung aku posting artikel tersebut ke WRMom. Tentu saja aku beri pengantar supaya tambah seru :-) Tuh, betul kan… ternyata mommies jadi pada ‘gatel’ ingin ikut bersuara. Suara hati terdalam dari para ibu lho… Aku copy paste persis aslinya sesuai urutan yang menjawab, supaya terlihat betul bagaimana aspirasi para ibu menanggapi hal ini. Oya, ini alamat url artikel ‘Perempuan Apa yang Kau Cari?'(Suara Pembaruan, 8 Maret 2005) http://www.suarapembaruan.co.id/last/index.htm
Terimakasih banyak buat para mommies yang sudah bersedia meramaikan diskusi dan bersedia sharing pendapatnya. Insya Allah semoga diskusi ini akan lebih memacu aku dan para ibu lainnya untuk semakin memberi yang terbaik bagi anak-anaknya.

Kalau boleh aku simpulkan, artikel ini memang bias. Dan, semua sepakat bahwa masalahnya bukan di ibu bekerja atau tidak. Tapi bagaimana si ibu, dengan apapun pilihannya bisa tetap sadar, teguh pada komitmen dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Hidup adalah serangkaian pilihan. Masing-masing pilihan tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Ketika palu sudah diketuk, pilihan telah diambil, artinya resiko yang menghadang pun harus siap dipikul. Yang memilih menjadi ibu bekerja, mau tak mau harus menjadi ‘super mom’ dan yang memilih menjadi FTM juga tidak boleh terlena dalam pengasuhan anak-anaknya. Satu kalimat yang sangat menarik untuk dijadikan alasan mengapa semua ibu harus memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, karena…ANAK-ANAK BEGITU BERHARGA…

Ini pengantar dari aku :

Dear moms…

Baca artikel ini, aku yakin, mommies yang pada kerja pasti dalam hatinya banyak juga yang protes atau ngerasa gimana gitu, ya nggak sih moms :-).
Aku sendiri yang sudah memutuskan jadi FTM untuk sementara waktu juga merasa ‘sesuatu’…

Artikel ini memang bagus, kritis, dan mempertanyakan lagi tentang hati nurani seorang ibu bekerja. Tapi kalo aku mencoba untuk berempati sama ibu bekerja
(bukan bermaksud membela),barangkali memang iya, banyak ibu bekerja yang niat dibelakangnya ‘negatif’, ‘sengaja’ memilih meninggalkan anak-anaknya. Tapi kalo kita telusuri lagi ke belakang,setiap kepala wanita pasti beda isinya, nggak bisa disamakan, tiap wanita juga unik layaknya anak2 karena masing2 punya latar belakang yang berbeda pula.

Banyak juga ibu yang memilih bekerja karena memang harus membantu kebutuhan ekonomi keluarganya demi sesuap nasi, atau karena takdir sudah menentukan dia menjadi seorang yang pintar, berilmu dan hatinya bergejolak ketika dia tidak bisa membagi ilmunya. Aku paham, banyak wanita yang juga butuh aktualisasi diri, yang tidak bisa ‘hanya’ berkutat dengan urusan rumah.

Gaung untuk mengajak ibu kembali kerumah memang bagus sekali. Tapi, alangkah lebih bijak barangkali kalo kita juga pikirkan,Bagaimana dengan ibu2 yang dengan latar belakangnya tadi, yang mau tak mau harus bekerja, dengan niatan positif tanpa ada selubung? yang jumlahnya jg tidak sedikit. Kenyataaan nya jumlah ibu bekerja kian hari kian banyak saja, tak terbendung. Tulisan mbak Neni salah satunya mestinya jg berniat untuk membendung itu. Tapi, untuk mengembalikan semua ibu ke jaman masa lalu yang lebih banyak di rumah apakah mungkin ?

Hidup di dunia, selamanya pasti akan ada masalah, dilema. Dan menurutku masalah ibu bekerja yang sudah menjadi trend ibu masa kini mestinya dicarikan jalan keluar. Untuk mengajak semua ibu ‘kembali’ pulang memang sebuah solusi, tapi sekali lagi apakah mungkin?

Jadi, aku lebih sepakat untuk berkata “yuk moms kita sama-sama cari jalan keluar, supaya ibu-ibu yang bekerja jg tetep nggak abai dengan pengasuhan anaknya” Caranya gimana ya? Aku juga bingung, tp yang jelas, keberadaaan WRMom ini rasanya merupakan salah satu fenomena yang bener2 bisa membantu wawasan para ibu bekerja dalam hal pengasuhan. Cara lainnya? Hmm…gmn ya moms?

Wah maap pengantarnya jd kepanjangan, krn aku betul2 tergelitik dengan masalah ini. Moms yang kerja gimana tanggapannya, jd pgn tau :-)

Wassalam hangat,
Agnes

Respon pertama dari mom Dita nih:

Dear mommies,
Phhuuiihhh, hal kayak gini memang kayaknya gak ada habis2nya diperbincangkan yah? Dan aku concern banget sama masalah kayak gini. Saya selalu mempertanyakan “niat sesungguhnya” dari para Ibu yang bekerja. Kalau memang bermaksud baik untuk membantu keuangan keluarga, masalah ekonomi atau sarana aktualisasi diri, ya oke-lah saya sangat menghormatinya. Tapi coba deh, renungkan lagi, apa sebenarnya niat kita memilih untuk bekerja? Satu lagi, masalah pengasuhan anak ini, bukan cuman dialami ibu2 bekerja saja lho,tapi juga ibu2 RT yang berduit, yang mampu membayar segalanya, bahkan sampai urusan mengasuh anak. Banyak yang merasa keenakan anaknya diasuh baby sitter, sampai dia lupa dan tidak menyadari, ia telah melewati masa2 keemasan perkembangan anaknya.

Terus terang saya pernah mengalami dilema saat memutuskan berhenti bekerja untuk kemudian menjadi FTM. Saya kaji kembali apa sebenernya keinginan saya dalam bekerja. Untuk bersosialisasikah? Untuk gengsi karena jabatankah? Untuk gengsi karena pandangan orang masih menganggap miring “profesi” FTMkah? Untuk masalah ekonomikah? Untuk masalah ingin melarikan diri dari urusan domestik rt-kah? Semuanya saya renungkan baik-baik, dan akhirnya saya sampai pada keputusan mengakhiri karir saya di kantor. Banyak yang bilang nekad, tapi semuanya saya serahkan pada si BOS di atas, semua rejeki kita udah diatur, niat kita sudah baik. Bagi saya tak ada yang lebih ternilai, selain kebersamaan saya bersama anak saya yang sedang tumbuh dan berkembang. Pekerjaan akan selalu ada di luar sana, tapi perkembangan anak saya hanya sekedip mata, dan tak akan terulang lagi.

Lalu apa yang selalu digaungkan dan dijadikan senjata, bahwa hari libur adalah hari bersama Ibu (orangtua) dan jargon “yang penting kualitas bukan kuantitas”, kenyataannya juga beberapa kali saya temui hanya omong besar belaka. terus terang di saat saya dan suami punya waktu untuk mengajak anak kami keluar, saya selalu memperhatikan lingkungan di sekeliling saya. Seperti yang pernah saya temui, seorang anak menjerit2 di mal, sementara ibunya asik-asik ngopi, anaknya ditenangkan baby sitter. Di lain waktu saya temui seorang Ibu yang kebingungan gak tau ukuran dan merk dot anaknya. Kali lain, saya lihat seorang anak menunggu bersama baby sitter dan driver, menunggu orangtuanya yang sedang makan-makan. Dan itu semua terjadi di hari Sabtu Minggu, yang notabene adalah hari bersama orangtua, hari di mana orangtua katanya ingin menunjukkan kualitasnya bersama anak-anak mereka, kan. ternyata? jargon-jargon itu mereka telan sendiri. Ada yang bilang, mana ada ortu yang gak sayang anak2nya. Pada kenyataannya yang saya temui berkali-kali di lapangan, itukah yang dinamakan sayang dan cinta di
jaman sekarang ini? Itukah yang dinamakan cinta, ketika anaknya menangis menjerit-jerit, ibunya cuek aja dengan segelas kopi panasnya yang sedap? Itukah yang dinamakan cinta, ketika BS lebih tau luar dalam seluk beluk anak sang majikan? Mungkin definisi sayangnya sudah bergeser yah? (kok saya jadi skeptis gini sih :-))

Sampai-sampai saya pernah berpikir “gimana ya kalau hari Sabtu Minggu, dijadiin hari bebas BS, bener2 free campur tangan BS? Hanya kita dan anak, menciptakan sebuah hubungan yang berkualitas.” Mungkinkah? Mungkin saja! Hanya 2 hari dari 7 hari dalam seminggu, hanya 6 hari dari 30 hari dalam sebulan, dst. Hanya untuk waktu sesedikit itu, relakah kita tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin bersama buah hati kita? Kita bisa bekerja sama dengan suami kan? bukankah mereka bukan sekedar pencari nafkah, yang tiap bulan setor duit, tinggal tau beres? Mereka adalah partner “in crime” :-), mereka adalah sahabat kita dan yang terpenting, mereka adalah ayah dari anak-anak kita yang juga harus bertanggungjawab dengan kehadiran sang buah hati, bertanggungjawab juga dengan pengasuhan anak-anak. Kita harus melakukan ini bersama-sama.

Maaf jadi panjang banget dan agak2 curhat..hehehehe. maaf juga sebelumnya buat yang tidak berkenan dengan pandangan saya. Abis suka gemes aja ngliat tingkah ibu2 sekarang. Saya sih selalu berusaha mencari pemikiran positif aja atas tindakan mereka. Sebenernya masih pgn ngomong panjang lebar, tapi takut pada suntuk bacanya :-)

salam,
dita

Ini dari mamanya Hugo:

Bener kata Mom Dita, hal ini nggak ada habis2nya….Kalau saya bilang semua sih balik ke niat orang tuanya lah…. Nggak ada yg bisa bilang FTM pasti bertanggung jawab atau working mom tidak bertanggung jawab. Saya yakin, SEHARUSNYA untuk ukuran seorang Ibu semua pilihan itu harusnya sudah dipikirkan bener2. Karena bener banget yg Mom Dita bilang, banyak ORTU yg mau bales waktu weekdays ngajak anaknya jalan, tapi cuma ngajak doang sampe mall atau apa, tetep aja anaknya main sama BS atau pembantu. Malah temen saya bilang kalau mau pergi liburan, harus komplit dengan BS + pembantunya, karena kalau nggak, nggak bisa liburan…cape! Tapi ada juga FTM yg memang di rumah, cuma males aja gitu ngurusin anak, kadang namanya FTM, tapi schedule seminggu udah full arisan a, arisan B, salon sana, facial sini…..

Semua ada kelebihan dan kekurangan…. buat saya FTM (yg bener) itu hebat, karena di jaman yg canggih ini berani mengambil keputusan untuk berbeda, apalagi kadang kalau lg ketemu keluarga apa temen2 ditanyain, kerja dimana? Sering kalo Si Ibu cuma menjawab: perusahaan keluarga… jagain anak, he..he… Yg nanya malah ngasih pandangan aneh… padahal apa yg salah? Dikira gampang apa ngurus anak, apa sama kerjaan kantor tanggung jawabnya lebih sedikit? Ngomong sih gampang ya Moms….

Tapi working mom (yg bener) itu juga hebat…. berusaha ngebagi waktu sedemikian rupa, kerjaan beres, anak diperhatiin, rumah rapi dan yg juga penting: suami tetep ngerasa disayang. Berat lho Moms, cape pulang dari kantor, anak minta diperhatiin, suami juga, aduhhhhh cari 10 menit buat bersihiin muka dan pake krim malem aja kok susah yaaa……

Makanya (pendapat saya lhoo…) selama semua sadar akan pilihannya, harusnya akan bisa berusaha untuk tanggung jawab juga. Semua baik, asal dijalani dengan ikhlas, niat yg baik, sungguh2….

Kalau aku selama ini, pulang berusaha cepet, walaupun pasti setelah Maghrib soalnya rumahku jauh :( Habis itu main sebentar sama anak sekitar setengah jam, terus mandi, makan malem sama suami sambil ngobrol2 dan ngegantiin Hugo baju bobo. Terus bawa anak saya ke kamar, main2 lagi + ngajak ngobrol terus ditidurin…. Paginya dia bangun, main2 lagi sebelum kerja, bawa muter komplek sambil manasin mobil, br ditinggal kerja. Seharian di kantor berusaha telp at least 2 jam sekali. Tapi kalau libur atau weekend, sebisa mungkin seharian bareng Hugo, makan, main, mandi sama saya… malemnya pas dia tidur br deh cari waktu nonton atau makan keluar sama suami. Waktu lebaran kemaren 2 minggu di rumah cuma bertiga, ancur sih… tapi happy banget…. 1 dr 3 hari masuk PG, saya berusaha nganter, ke dokter selalu sama saya apalagi kalau udah mulai nggak enak badan, mau yg di kantor bertanduk juga, biarin deh… saya bakal dateng siang atau nggak masuk sekalipun.

Emang kalo diukur rasanya waktu yg saya coba bagi itu nggak seberapa banget dibanding jam kerja saya, tapi Insya Allah dibantu yg diatas, karena sekarang ini memang kebutuhan kita begitu. Walaupun ada juga yg bilang itu sih gimana kita manage-nya, mungkin saya belum pinter yaaa….

Tapi buat saya IBU itu pekerjaan yg muliaaaaaaaaaaa sekali… ukuran kita menjadi ibu yg baik kan… apakah anak kita bahagia, bukan apakah anak kita menjadi ini atau itu seperti yg kita impiin… karena impian kita belum tentu impian mereka….

Salam,
Hugo’s Mom….

Ini dari mom Roes :

Aku “protes”…tulisan Mbak Neni memang bagus tapi (maaf) aku kurang setuju, krn. secara keseluruhan (menurutku) tidak mewakili semua kaum perempuan yg. notebene wanita bekerja istilah Mbak Neni “Ibu Publik”. “Ibu Publik” bukan (hanya) milik wanita2 yg. bekerja dikalangan kantoran “keren n bonafide” or kantor “kacangan / bengkel kotor”. “Ibu Publik” milik semua lapisan perempuan wanita bekerja kalangan bawah sampai atas tertinggi (Presiden, mis).., cuma sayangnya yg. jadi “sorotan” Mbak Neni (mungkin ya..sepanjang yg. aku baca) adalah “Ibu Publik” kalangan menengah ke atas & bukan teratas…

Ingin kasih koment saja utk. beberapa paragraf tulisan beliau dibawah; (Menurutku=M)-dibold&Italic:
————————————————————
Suara Pembaruan, Rabu, 8 Maret 2005

Perempuan, Apa yang Kau Cari?
==>{M=Banyak…, ibadah, tanggung jawab, panggilan hati, kepuasan yg. nggak bisa dinilai sama duit padahal juga nantinya UUD=ujung2nya Duit, toleransi, kemanusiaan, sosial, dlll..}

Refleksi di Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret
==>{M=Baru tadi pagi aku tahu disalah satu TV Swasta bhw. kemarin adalah Hari Perempuan yg. ditandai dgn. Protes kenaikan “BBM”…sempat protes sama suami kenapa aku bekerja…kembali balik sama hati nuraniku sendiri..jawabannya..spt. diatas..)

Neni Utami Adiningsih
==>{M=Jadi pengen kenal sama Mbak Neni …Assalamualaikum Mbak…, Salam kenal..pengen tahu n bincang deh sama beliau}

Kini, kondisi seperti itu mulai tergeser. Seiring dengan semakin banyaknya
perempuan yang bekerja di ruang publik, menjadi ibu publik, semakin banyak
pula bermunculan ragam layanan jasa guna menggantikan fungsi keibuan. Salah satunya berupa TPA yang berfungsi menggantikan suasana rumah, lengkap dengan keberadaan sosok ibu sebagai pengasuh, perawat serta pendidik anak.
==>{M=Ngga semua “Ibu Publik” menitipkan ke TPA, banyak buaanyaakk diluar Jakarta di daerah2 yg. “Ibu Publik” tetap berpedoman lebih baik diasuh oleh pembantu punya nilai +, nenek, atau saudara atau punya cara tersendiri menurut mereka).

Bahkan kalau kesibukan kerja begitu menumpuk, orangtua pun tidak perlu hadir di acara tersebut. Toh sudah ada “ibu-ibu (karena ada banyak) pengganti” yang siap untuk memberikan kecupan sayang serta mengucapkan “selamat ulang tahun sayangku…”
==>{M=Perayaan Ultah yg. cuma menjd. satu kecil contoh buat sedikit menyudutkan” “Ibu Publik”, ungkapan perhatian tdk. sebatas demikian walau sibuk tapi “kontak /ikatan bathin” yg. mendalam (bisa) “melumpuhkan” ketidak perhatian ibu-anak.

Perlahan namun pasti, ramalan, juga saran, Plato tersebut mulai terjadi. Terbukti saat ini “hilangkan rasa bersalah” menjadi slogan yang selalu ditularkan di antara para “ibu publik”, serta disarankan kepada para perempuan yang ingin menjadi ibu publik.
==>{M=Ngga bisa donk dihilangkan rasa bersalah itu..mungkin salah pilih “Ibu Publik” , Rasa bersalah itu pasti ada dng. prosentasi 50-50, 30-70..ngga bisa diprediksi dng. hitungan angka.., kembali lagi pada niat & tujuan kita..yg. bisa “membunuh” rasa itu..

“Kan saya bekerja juga untuk anak, untuk memenuhi kebutuhannya, agar ia mendapatkan yang terbaik,” demikian kalimat pembenaran yang selalu digaungkan setiap saat.
==>{M=Semuuuaa..apapun yg. dilakukan seorang Ibu pastilah dng. alasan utk. anak, itu manusiawi sekali sbg. seorang ibu yg. memutuskan dirinya mjd. “Ibu Publik” yg. beramanah..}

Pertanyaannya, jujurkah alasan tersebut? Jangan-jangan keinginan tersebut sebagai selubung semata, sementara alasan sesungguhnya justru dilatarbelakangi oleh keegoisan pribadi perempuan yang ingin tampak bermanfaat bagi orang banyak, yang ingin tampak mengamalkan ilmu, yang ingin tampak tidak ketinggalan zaman, yang ingin tampak mandiri
dan masih banyak keinginan lain.
==>{M=Sadis sekali anggapan spt. itu…, mungkin seorang yg. berpikiran “sempit n picik” (maaf) punya pikiran negatif spt. itu.., Niat yg. mulia berbuah Mulia nantinya..}

Arlie Russel Hochschild, dalam bukunya The Time Bind: When Work Becomes Home and Home Becomes Work (1997), bercerita tentang orangtua yang “melarikan diri dari tekanan di rumah dengan bekerja”. Menurutnya, para ibu publik tersebut merasa lebih nyaman, lebih terhormat, dan lebih merasa puas bila berada di kantor daripada terbelenggu di rumah mengurus anak-anaknya.
==>{M=Om Arlie Russel menulis berdasarkan pengalaman, penglihatan terbatas kalangan & belahan dunia mana dulu?..beliau belum melihat bagaimana hebatnya perempuan2 gunung, desa, pantai, belahan manapun..apakah mereka tdk. bisa dikatagorikan sbg. “Ibu Publik”..? walo mereka “berkantor” beda..Ngga setuju banget….

Jangan-jangan keinginan untuk bekerja itu juga didasari oleh kesoktahuan perempuan masa kini akan nasibnya di masa mendatang, yang sepertinya akan terjadi perceraian, bahkan seakan-akan suaminya akan meninggal lebih dulu darinya, yang artinya ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi
tersebut.
==>{M=Lagi2 selalu berpikiran negatif, cobalah kaum perempuan utk. selalu berpikiran + spy. keluarga tdk. timbul curiga mencurigai spy. kebersamaan & saling melengkapi itulah yg. terjadi..}

Jangan-jangan keinginan untuk bekerja itu sebagai langkah antisipasi agar
terhindar dari kekerasan (domestik). Apalagi saat ini semua pihak, mulai
dari LSM “properempuan”, perguruan tinggi, juga lembaga-lembaga pemerintah
termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan, gencar menyosialisasikan
kemandirian ekonomi sebagai upaya untuk menghindarkan perempuan dari tindak kekerasan (domestik).
===>{M=Ahhh…Negatif thinking lagi…., semua tergantung latar belakang,emosi & iman seseorang..Kekerasan..”No way”}

Belum lagi adanya jargon “yang penting kualitas bukan kuantitas”, yang
menjadi senjata andalan para ibu publik, semakin membuat mereka merasa
tenang meninggalkan anak-anaknya. Mereka menyediakan waktu Sabtu dan Minggu atau hari libur bagi anak-anaknya.
=={M=Yang ini memang senjata makan tuan namanya..klo. tidak dilakukan sepenuhnya niatan yg. iklas, kualitas ya kualitas yg. hrs. bener2 dilakukan sepenuhnya one hundred persen..orng. blng. jgn. NATO-No Action Talk Only, jadi salah sendiri..}

Bila ditelaah, hal ini adalah bentuk lain keegoisan ibu publik. Setelah di
hari kerja (week days) dengan sepihak (tanpa kompromi dengan anak)
memutuskan untuk meninggalkan anak-anaknya dengan orang lain, di hari libur
(week end), dengan alasan untuk menjaga kualitas hubungan dengan anak,
sekali lagi, secara sepihak mereka memutuskan bahwa anak-anak harus mau
bersama dengannya.
==>{M=Wah ini aku paling ngga setuju banget.., kacamata dari perempuan mana dulu nih.., lagi2 ngga semua begitu..”Ibu Publik” yg. Amanah lebih berkompromi mengalahkan egoisnya..}

Bahkan saat ini negosiasi pengasuhan anak bak negosiasi dagang, mana yang
lebih memerlukan biaya dan pengorbanan (waktu serta psikis) lebih sedikit
namun memberikan keuntungan lebih besar, itulah yang dipilih.
==={M=Enak saja, dibilang negosiasi dagang, emangnya anak dagangan apa? Anak adalah Amanah…, Ibu sibuk, Bapak Sibuk..juga utk. Si Amanah skrng. sejauh mana mereka bisa membagi waktu dng. pemberian Allah ini..utk. mempertanggung-jwbkan nantinya}

Menitipkan anak di TPA sekelas SBB Mitra misalnya, yang terletak di daerah
perkantoran elite Ibukota, “hanya” Rp 500.000 per bulan. Tentu saja biaya
ini, lima, 10, bahkan 20 kali lebih rendah dari pendapatan para ibu publik
yang bekerja di kantor seputar Jalan Gatot Subroto – Jalan Jenderal
Sudirman. Dari sudut negosiasi dagang, tentu saja hal ini sangat
menguntungkan. Apalagi para ibu publik tinggal terima beres.
===>{M=Sayang survey itu cuma dilakukan di Jakarta, bagaimana dgn. org. Timika, pelosok2 desa, ah…jgnkan 500rb seperakpun mereka mikir seribu kali utk. biaya apa itu “TPA” – Tempat Pengambilan Anak ..sih menurutku..}

Mereka tidak perlu bergelut dengan popok bau. Juga tidak perlu jengkel
melihat rumah yang kotor dan berantakan akibat ulah si mungil. Kenapa bisa
demikian? Karena semua itu akan dilakukan oleh para “ibu pengganti”. Sore
hari, mereka tinggal menjemput si mungil yang sudah dalam keadaan bersih
dan kenyang.
===>{M=Aku bergelut dng. popok bau n ngga jengkel klo. rumah kotor n berantakan, nikmati saja..semua ada waktunya, klo besar nanti kita akan kehilangan moment2 “terhebat” spt. itu.., jadi nggggakkkk..semua “Ibu Publik” benci sama popok bau..walopun aku bukan tergolong “Ibu Publik” yg. atas n bukan teratas..}

Belum lagi mereka justru merasa bahwa TPA telah membuat anaknya menjadi
lebih baik. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Nurbaity (37) yang menjadi
karyawan sebuah bank.
==>{M=Menurut Ibu Nurbaity..menurutku..terbalik 180 derajat bisa2 360 derajat..”BEDA”..}

Menurutnya, anak pertamanya, Noval (2,5 tahun), yang sudah dititipkan di
TPA sejak usia satu tahun, tumbuh menjadi anak yang berani dan kritis,
tidak takut menghadapi orang baru, rajin bertanya tentang segala hal, dan
menjadi orang yang teratur.
==>{M=Tiap anak beda2 tergantung dimana dia tinggal, lingkungan org2 sekitar, kecilnya berani kritis..besarnya pendiam..contohnya..buannyakkk…bahkan gedenya jadi “kurang pengajaran” sptnya..juga banyak…}

Di masa mendatang, besar kemungkinan rasa tenang para ibu publik ini untuk
meninggalkan anak-anaknya di TPA akan semakin bertambah.
==={M=Kita lihat saja nanti..”Bukti bukan Janji”.., Indonesia msh. lamaa..jauh tertinggal dgn. negara2 lain, lho wong kita cuma bisa mjd. pengguna, pembajak, pengkorup..bukan pencipta, penggagas.., orng2 yg. berprestasi saja pindah warga negara..Ya Tuhan..tolong rubah negeri ini..}

Sebab kemajuan teknologi informasi akan memungkinkan TPA-TPA elite memasang kamera yang dapat diakses melalui internet dari ruang kantor mereka.
=={M=TPA Elite? ehh..sekolah roboh saja msh. banyak.., perempuan2 yg. bernama “Ibu Publik” yg. profesi sbg. guru2 tanpa tanda jasa akan lebih mulia drpd. memikirkan TPA2 elite..}

Para ibu publik tersebut tetap saja akan tersinggung, bahkan marah, bila
ada yang menganggapnya tidak mengasuh dan merawat anak-anaknya. Mereka juga tidak mau bila dianggap lebih mementingkan karier daripada anak-anaknya.

==>{M=Ibu yg. mana dulu.., klo. penyampain anggapan itu sedikit “sarkasme” tapi klo. ditanggepi dgn. kepala dingin & hati lapang mudah2an ngga tersinggung apalagi marah ngga tentu arah krn. hati kecil ibu tsb. tahu yg. terbaik buat pilihannya & mohon keridlo dari Yang Maha Kuasa}

Dengan minimnya waktu (kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan, bukankah
tenaga dan pikirannya sudah terkuras di ruang publik?) mereka terhadap
proses pengasuhan anak-anaknya, mereka tidak berani mengakui bahwa orang
lainlah yang membuat sehat, membuat pintar, bahkan membuat bermoral
anak-anaknya.
==>{M=Ngga sepenuhnya begitu, krn. pada saat2 tertentu di waktu “special” mereka bisa berinteraksi dng. anak2nya tanpa gangguan pengasuh, waktu yg. “special” ituloh momen terbaik buat dia utk. “mengukir” anak menjd. sehat pintar & bermoral mendekati sempurna..krn. manusia tidak mungkin sempurna..}

Dengan kondisi ambigu yang seperti ini, tidaklah berlebihan bila kemudian muncul pertanyaan, “Perempuan, sebenarnya apa yang engkau cari…?”
Mudah-mudahan momen Hari Perempuan Intenasional (8 Maret) ini menjadi saat tepat bagi para perempuan untuk mengungkapkan jawabannya… secara jujur.

Penulis adalah ibu rumah tangga yang sangat berminat pada anak, perempuan,
dan keluarga
==>{M=Mbak Neni ibu RT ya?..saat sdh. berRT pernah ngalami bekerja?.., tulisannya bagus krn. bisa “mengelitik” emosi saya, latar belakang Mbak Neni sbg. ibu RT mungkin bisa menulis demikian dng. mengutip beberapa mendapat “Pak…” siapa tadi yg. dari luar negeri.., tapi maaf ..klo. mungkin Mbak Neni skrng. posisinya menjd. “Ibu Publik” mungkin tulisan ini ngga terjadi atau sebaliknya..cuma Mbak Neni yg. tahu jawabnya..}

Saya, tetap salut n dgn. rendah hati minta maaf klo. komentar2 saya diatas “menoreh” hati penulis..(Maaf..ya..Mbak Neni..), skrng. solusinya semua kembali pada diri kita masing2 ..sbg. sebutan “Ibu Publik” cuma kata “Pilihan” yg. kita tentukan dng. dasar niat tulus, ikhlas, tujuan cuma ibadah..semua yg. kita lakukan ibadah..apalagi mengatas namakan anak n keluarga..krn. banyak ibu yg. single parent harus menjadi “IBU PUBLIK YANG AMANAH”…

Gitu aja ya..Mom Agnes & Moms yg. hebring2..aku mau pulang, anakku menungguu..entar dibilang “Ibu Publik” demi kepuasan ego, terhormat, ibu yg. tahu beres…”Tidaklah yauuuuwww”.., kayaknya aku lebih suka istilah “Mother Stronger”..drpd. “Ibu Publik”.. kayak perusahaan saja “go publik”….

“IBU MULIA”…

Salam dari Roess-KamiilahMum

Ini dari mom Intan

Dear Moms,
Kenalkan saya Intan, anggota baru WRM dan tinggal di Inggris.. anak saya Sandra (3 th) lahir di Prancis waktu saya dan suami saya masih sekolah, dan karena kita hanya berdua (keluarga semua di Indo dan of course, no pembantu) kita titipkan Sandra di nursery sejak umur 2 bln..

Sekolah saya selesai th lalu dan kita pindah ke Inggris dan sekarang saya termasuk golongan *ibu bekerja* yg *meninggalkan* Sandra tiap hari dari pagi sampai sore (jam 9 sampai jam 5) di nursery (jam 9 sampai jam 1)

Waktu Sandra masih kecil (0-2 th) saya masih bisa *kerja di rumah* (I’m a researcher) jadi dia ga di nursery tiap hari (3 hari dlm seminggu) dan begitu dia 2 th, waktu saya jadi harus 100 % untuk dia, sedangkan saya harus selesaikan sekolah (dan kemudian kerja)

Why do I have to work ? seperti yg diulas di artikel, saya termasuk orang yg ga bisa cuma *ngurus rumah*, saya harus exist dan punya karier. Untungnya, karier saya (sebagai researcher/lecturer) masih memperbolehkan saya sekali2 *bolos* tinggal di rumah.

Saya memang seharian di kampus(kantor) tapi bukan berarti saya ga ada waktu buat Sandra, begitu pulang kantor, saya masak dan kemudian temani Sandra main sampai waktunya tidur dan paginya saya bangun dan siapkan dia untuk ke *sekolah*.

Intinya, moms bekerja masih punya waktu untuk anak, kalau dia mau (and I’m sure, ibu mana sih yg ga mau sediakan waktu buat anaknya ?) seharian di nursery, what’s wrong with that ?

Di sini (yg saya tahu Prancis dan Inggris), even ibu rumah tangga yg sehari2nya di rumah, juga bawa anaknya ke nursery, so nursery bukan hanya *tempat nitip anak* tapi mereka punya harapan anaknya dapat *pelajaran* yg lebih daripada yg mereka ajarkan (misalnya sosialisasi)

Hal yg lain yg saya ingin utarakan : pendidikan anak (di rumah) bukan tanggung jawab moms saja, tapi ayahnya juga ! kalau kita bisa salahkan moms bekerja, kenapa kita ga bisa salahkan ayah bekerja yg dari pagi sampai malam mungkin ketemu anak cuma weekend, boro2 pernah mandiin anak atau gantiin pampersnya..

Apa peran ayah harus segitu kecilnya sehingga dia ga diperlukan untuk mendidik anak sampai2 semuanya jadi tanggung jawab moms….

just my opinion..
Intan

Ini dari mom Ade:

Mom Agnes.,
hmmmm.,uraian dibawah ini bener2 menggelitik kaum hawa untuk lebih menyelami lagi tujuan bekerja., klo aku sih.,jujur ajah karena memang sementara harus membantu suami untuk ekonomi rumah tangga.,tapi sebenernya klo aku punya pilihan, PASTI aku akan pilih jadi Ibu Rumah Tangga.,karena kadang sedih juga klo anak aku jadi lebih dekat dengan orang lain.,memang sih anak pasti akan senang ketemu kita sepulang dari kantor.,tapi abis itu dia malah lebih senang menghabiskan waktunya dengan neneknya, ato bibinya.,yang lebih ngenes, klo anak kita sakit, untuk sehari dua hari kita masih bisa ijin ke kantor.,tapi lewat dari hari itu anak kita masih sakit, mau enggak mau kita harus rela ninggalin.,duuuuhh.,rasanya sedih dan miris.

Best Regards
aDE.S
Mid Plaza 2, 7Th Floor

Ini dari mamanya Ayya :

Dear moms, Wah bunda agnes bagus bgt nih pengantarnya.
Sekalian perkenalan saya anggota baru dan ibu dr 1 anak yg baru 13 bln dan bekerja. Terus terang jadi dilema buat saya stlh masa 3 bln maternity leave habis. Berat sekali utk balik kerja. Dan itu msh saya rasakan sampai skrg. Apalagi anak saya sdg lucu2nya belajar jalan dan bicara. Di satu pihak saya sering feeling guilty dgn mempercayakan pengasuhan dia ke mbaknya sementara saya di kantor. Dan hal ini jg saya diskusikan dgn suami saya.
Tapi di lain pihak saya mengerti kalau saya msh hrs membantu suami agar anak kami mendapatkan semua kebutuhannya yg terbaik. Batin saya sering fight sampai skrg jg.

Tulisan2 spt ini bermanfaat buat saya utk jd pertimbangan. Tp kembali lg keputusan ada pd saya. Skrg ini yg sering jd defense saya dan kadang2 saya
curhat sama anak saya, kalau toh saya memilih tetap bekerja semua utk anak saya jg. Sampai rmh saya dedikasikan waktu saya utk anak saya. Dan tidak lupa selalu monitor lewat telp. At least that’s the best thing i can do.

Salam,
Mama Ayya

Ini dari aku lagi :

He he he… terusin Dit… seru koq bacanya, Bener-bener suara hati dari seorang ibu yang telah memilih dan sangat menikmati pilihannya, hebat deh :-)

Iya ya Dit bener, masalahnya bukan cuma di ibu bekerja, tp jg ibu yang ga kerja tp malah keenakan kayak yang Dita bilang ya. So… dalam hal ini kesadaran dalam pengasuhan ini yang penting kali ya. Tapi yang namanya kesadaran itu, susahnya minta ampun dan mahalnya luar biasa deh. Gimana caranya ya biar para ibu yang cuek2 punya kesadaran dalam hal ini? Cie
kayak aku sendiri nggak cuek aja hehe. Tambahan peer buat pemerintahkah? atau buat yang udah pada sadar ya? Hmm mbulet ya kalo udah ngomongin ini.

Biarpun mbulet, at least disini kita bisa ngeluarin unek2 deh. Ayo Dit… teruskan perjuangannmu buat berpanjang lebar ria :-), biarpun ada yang suntuk,
mesti yang melek juga ada koq hehe

Wassalam hangat,
Agnes

Ini dari mom Dea :

Gimana ya memulainya.
Ok. Aku memilih menjadi FTM. Membaca artikel tulisan mbak Nenny, maaf, aku merasa ada nada ketidakrelaan di sana. Sekali maaf, seluruh tanggapan terhadap artikel tulisan mbak Nenny ditulis menurut sudut pandangku sendiri. Dea seorang FTM.

Sebegitu kejamnyakah gambaran sebagai ibu publik? Sebegitu hinakah gambaran sebagai ibu rumah tangga? Andaikan pilihan itu bukan pilihan sulit…

Jika pilihan sebagai ibu rumah tangga begitu ‘hina’, kenapa suamiku dengan bangga memperkenalkanku ke teman-temannya. Atau dengan bangga mengumumkan, “Istri gue sekarang di rumah aja!” Adakah nada melecehkan yang dicari-cari kaum feminis dalam kalimatnya? Alhamdulillah, tidak!

Kenapa aku memilih untuk tinggal di rumah ‘saja’? Bukankah sangat indah menikmati anugrah terindah yang diberikan ALLAH kepada kita. Titipan yang awalnya terlihat begitu rentan, kemudian tumbuh berkembang, tersenyum, menyapa, berteriak, dan kini pandai memperlihatkan emosinya. Terima kasih Ya ALLAH, aku sudah dapat memilih.

Kenapa temanku memilih untuk tetap bekerja? Menjadi klisekah alasan untuk kepentingan anak? Aku rasa jawabannya akan seklise jawabannya. Tapi usangkah alasan dan pertanyaan itu? Jawabnya tentu tidak akan pernah. Ketika seorang wanita memilih bekerja sekaligus mempunyai anak, salahkan ia ketika waktunya bersama keluarga berkurang? Tidak ada yang bisa memastikan jawabannya. Hanya temanku dan Tuhannya yang tahu.

Bekerja di kantor, mempunyai anak, merawat suami, sama alamiahnya dengan bekerja di rumah, mempunyai anak dn merawat suami. Salahkah jika sebagian tugas didelegasikan pada orang lain? Bukankan inti sebuah managemen yang baik adalah bagaimana kita mendelegasikan suatu pekerjaan pada orang tepat dan kompeten.

Lalu apakah salah, jika seorang ibu yang bekerja di daerah Sudirman-Thamrin memilih ‘Tempat Penitipan Anak’ yang membuatnya merogoh tasnya lebih dalam? Temanku itu ingin mendelegasikan sebagian tugasnya sebagai ibu kepada Aunty-aunty di TPA tersebut bukan? Bukankah sudah lazim, jika harga sebanding dengan kualitas?

Lalu temanku yang lain memilih tinggal di rumah seperti halnya aku. Jika kemudian, ia memilih untuk mendelegasikan tugasnya sebagai ibu pada orang lain apakah itu salah? Salah belum tentu, tidak lazim memang! Selalu ada konsekuensi di balik setiap tindakan.

Mbak Nenny yang terhormat, mungkin perlu anda tanyakan lagi lebih dalam. Maaf, Relakah anda ‘hanya’ menjadi seorang ibu rumah tangga. Atau jangan-jangan anda secara tidak sadar telah melakukan kekerasan terhadap batin anda sendiri.

Ibu di rumah, ibu publik, apapun namanya tetap seorang ibu.

Seperti halnya pilihan memberikan ASI eksklusif. Ibu publik bisa memberikan ASI ekslusif pada bayinya, banyak yang sudah membuktikannya. Ibu di rumahpun banyak yang mengeluh ASI nya kurang, atau lebih memilih ‘tidak mau repot’ dengan memberikan ASI. Lalu siapa yang salah dan siapa yang benar? Aku tidak tahu. Semuanya adalah pilihan setiap wanita, dan semua pilihan memiliki konsekuensi masing-masing.

Lalu jika sering kita lihat, banyak anak yang lebih dekat dengan BS dibandingkan dengan orangtuanya. Belum dapat kita pastikan, bahwa ibunya pasti ibu publik. Belum ada survey tentang hal itu, seperti halnya bekerja dapat mengurangi tingkat kekerasan dalam rumah tangga.

Ada banyak sisi dalam tiap pilihan. Dan setiap pilihan ada alasan dan konsekuensi masing-masing. Dan bukan hak kita untuk menilai pilihan seorang ibu, karena kita bukan mereka.

Aku, Dea memilih menjadi FTM, karena diberi kesempatan untuk memilih. Jangan bandingkan aku dengan temanku yang memilih menjadi ibu publik atau sahabatku yang ‘terpaksa’ menjadi ibu publik atau dengan mereka yang terpaksa’ menjadi ibu domestik.

Kenyataannya telah dilakukan kekerasan, ketika ibu publik dipadankan dengan ibu domestik. Pelecehankah itu? Tergantung penafsiran masing-masing:-)

Jadi sahabat… Maafkan aku akan penafsiran kita yang sedikit berbeda. Perbedaan membuat dunia ini menjadi indah bukan?

Duh, Moms… kok tulisanku jadi panjang gini ya?
Peace,
Dea-)

Ini dari mbak Sofie :

Wah, diskusinya seru nih. Jadi gatel pingin ikutan. Saya setuju sama Mom Roes bahwa tulisannya Mbak Nenny ini oversimplifikasi. He…he…he, pasti banyak yang tersinggung udah capek-capek kerja eh, motivasinya diklaim. Yah, namanya juga opini. Wajar juga kalau opini itu berangkat dari pengalaman & pengamatan subyektif. Masalahnya saya pikir nggak terletak pada bekerja atau nggak bekerja, kualitas atau kuantitas, aktualisasi, atau motivasi, tapi seperti yang mom dita bilang, komitmen. Jadi, bagaimana kita nggak berorientasi ke alam diri, tapi keluar dari diri kita, gitu lho Moms. Saya yakin masih banyak kok yang bekerja nggak semata-mata untuk aktualisasi diri (apalagi ekonomi) tapi untuk ‘share’ potensinya buat orang lain. Ada juga yang tinggal di rumah, tapi hanya berorientasi ke dalam dirinya, makanya dia berusaha dgn segala cara agar kepentingan & kenikmatannya nggak terganggu.

Duh, mudah-mudahan ini bukan pembenaran ya, tapi bukankah bahagia itu ditentukan dari seberapa banyak kita memberi? Jadi, buat moms yang bekerja atau tinggal di rumah, yuk mensyukuri apapun yang ada di tangan, dan jadikan itu pemberian kita yang terbaik.

Sofie

Ini mom Dita lagi :

hhhmmmm makin “hangat” nih. tapi seneng aja bacanya, walopun kita masing-masing punya pemikiran yang berbeda-beda, ada yang pro, ada yang kontra, tapi bagi saya itu semua saling melengkapi dan memperkaya wawasan kita, tentunya.

Masalah ini pekerjaan rumah bagi kita semua? Rasa-rasanya masih sulit ya (saya kok pesimis). Yang diperlukan, pertama-tama adalah introspeksi terhadap diri kita masing-masing. Masalahnya banyak yang masih mengingkari kalau seorang Ibu dikatakan gak bener ngasuh anaknya. Mana ada coba Ibu yang mau dituding gak bisa ngasuh anak, gak becus ngasuh anak, gak sayang sama anaknya? Lagi-lagi balik ke diri kita masing2 dan berkaca, sudahkah saya lakukan ini semua pada tempatnya? Sudahkah saya secara maksimal memaanfaatkan waktu2 berharga dengan anak2 saya? Bener kata Mom Agnes semuanya kembali kepada kesadaran dan(menurut saya,plus tanggungjawab) kita.

Jadi menurut saya, gerakan pertama harus dimulai dari diri kita sendiri dulu. Tulisan-tulisan semacam yang Mom Nenny tulis, lalu pengamatan2 saya terhadap lingkungan sekitar adalah bentuk refleksi dari kenyataan yang ada di lapangan sekarang ini. Tujuan dan hikmahnya, ya untuk membuka mata kita. Oh, ternyata ada toh realita seperti ini. Seharusnya ini dijadikan bahan pelajaran, bukannya pengingkaran untuk kemudian menjadi defensif. Jangan malu untuk mengakui, waktu yang saya habiskan untuk mengasuh anak saya sangatlah kurang. Dari pengalaman orang lain kita belajar untuk menjadi lebih bijak, kan.

Saya setuju banget dengan pendapat mom Intan, bahwa suami harus diikut sertakan dalam masalah pengasuhan anak. Dan itu telah saya komunikasikan dengan suami saya. Jangan maunya enak aja, emang ngurus anak gampang ;-) Lagipula ini kan tanggungjawab kita bersama. Ajak suami ikut mandiin anak, ikut nyuapin atau nggantiin pampers. Ujung2nya kan bonding si anak dengan kedua ortunya juga jadi kuat, kalo udah gitu sapa yang seneng? kita berdua kan? kalo kemudian anak kita suatu hari menjadi orang sukses, ada andil kita berdua di belakangnya, jangan cuman mommy-nya aja dong.

Hihihihihi, padahal tadinya dah mo merem, eh di”colek” sama mom Agnes
jadi “melek” lagi :-)

salam,
dita

Ini dari mom Iranita :

Dulu waktu baru selesai kuliah ingin kerja karna “kebiasaan” kalau udah wisuda harus kerja.. Oke aku ngelamar kerja ditrima dan kerja lah dgn tanpa beban..seneng aja..punya lingkungan baru..temen2 dan fun

Setelah married, hamil..baru kerasa..panggilan nature perempuan ; hamil..lemah kandungannya, bleeding , musti bedrest…brenti dr kantor. Sedih banget musti tinggalin dunia kerja dan temen2 tapi rasa kalo aku pengen hamil dan gak mau keguguran lagi juga lebih mengalahkan rasa fun nya hura2 di kantor.

Setelah axel 2 thn, pengen gak ngontrak rmh terus2an, mau beli rumah, saving blom cukup..terpaksa KPR..cicilannya? sepakat tanggung sama2 biar ringan bulanan..jadilah aku balik kerja. Tinggalin anak dirumah dgn BS yg baik (menurutku). Awalnya memang aku balik kerja utk bantu2 biaya rumah tangga..tapi dgn berjalannya waktu dan meningkat karir kami, maka otomatis beban KPR sdh gak terasa lagi..yg ada motivasi utk bantu2 biaya RT jd beralih ke tantangan karir…gimana bisa buat hasil kerja lebih bagus. Tapi yah gak dipungkiri bahwa kesenangan2 lain juga ikut misal, bukannya buru2 pulang malah chit chat rame2 dgn dalih nunggu jemputan), sekali2 pulang lebih laat dari biasanya ntah itu krn kerjaan or just makan diluar dgn friends en liat sale dulu..

Sering kali mau brangkat kerja, anak nangis didepan pintu dan aku dgn alasan ingin buat si anak mandiri, berkata : Mama kerja dulu, ya sama sus dulu dirmh..nanti mama telpon terus2an deh..i luv u..cipika’ki..peluk2 , bye2..walau di paling dalam lubuk hati ada rasa ngilu.

Sampai kantor aku udah gak sabar telpon kerumah..sambil bergaya mommy kantoran aku bilang : Halo xel, aku dah sampe kantor nih..ntar yg pintar makan yah..pas tutup telpon ada rasa lega sdikit krn merasa sdh bisa meng “quality” kan hubungan dgn kid ku drpd “quantity” kan hubungan ku dgn nya. Begitu juga siang , call 3 menit kerumah tanya2 ke BS nya rutin : Lagi ngapain dia zus? tidur? makan nya? buahnya? susunya? setelah dijwb oleh sus nya OKE Bu! baru aku bilang : ya udah, hati2 yah.. setelah itu aku trima call dr temen dan menghabiskan bisa 15-30 mnt dr waktu lunch ku utk hai2.

Pulang rmh jam 6.30 an , mandi, seger banget ngeliat axel udah bersih, udah makan..(sst..ada rasa lega lo..tau kalau dia udah selesai makan disuapin BS ku drpd aku pulang udah cape2 musti suapin makan). Acara malam biasanya nonton film kartun, cerita2 atau jalan beli2an kalau susu atau grocerry ada yg habis.

Pulang, cuci2an, ajak dia tidur. Itu rutin nya..Sampai aku hamil ke 2, bulan ke 3, ax panas gak mau makan dr pagi, aku pulang siangan mendapatkan axel dikamar , muka udah merah karena panas tinggi, setelah hsbnd ku bilang : makan dong roti nya , nanti besok mama gak ngantor deh dirumah main sama kamu…eh langsung loh 1 roti coklat tandas tanpa jeda..semangat dihabisin..aku liatnya terharu banget..rasa nyeri gitu dalam hati utk sadar kalau my son needs me.. 2 hari sesudahnya tanpa basa/si lagi aku sdh dirumah saja.. tidak bekerja sampai detik ini.

Begitu hebatnya perbedaan dr seseorang yg diperluin di kantor dan jadi mama dirumah yg gendong sana/ni..nungguin suap demi suap ditelen axel.. sejak saat itu BS beralih fungsi jd pendamping ..tugasnya menyiapkan segala keperluan ax dari makan, beresin sesudahnya, perlengkapan mandi, baju2, susu dsb..tugasku suapin, mandiin, tidurin, main.., bacain buku crita, dan juga kalau dia nakal en ngeselin ; aku marahin or kadang mukul tangan , pantat nya..

Jadi semenjak aku hanya dirumah aja tugas BS hanya sebagai tk. nyiapin en tk. beresin, bersihin bekas2 makan atau brantakan mainan dan romel nya. Tapi pd saat aku melahirkan tugas2 ngurus axl beralih ke BS lagi krn aku ngurus baby. Sempat punya 2 BS dirumah dan ahirnya gak pakai siapa2 sama skali even maid or BS..ditambah dgn jadwal hsbnd keluar kota, jadilah skarang aku terbiasa dirumah aja ber3 dan ini berjalan 4 thn an lo . Untungnya saat ini sejak 3bln lalu punya maid yg pulang2 . Lumayan membantu..terutama utk bebenah.

Sebenarnya kalau ditanya : Mau balik kerja? aku pasti jawab : Mau sih, tapiii..keadaan gak memungkinkan krn hsbnd ku evry 3wks diluar kota..bisa smakin jarang dong kids ku ketemu Ma & Pa nya. Kalau maksa mau balik kerja sih aku rasa bisa diada2in org yg bener (menurutku) utk jaga kids..tapi apa yah mereka bisa ? tapi dari semua itu jawaban yg pasti ialah bahwa aku udah terlalu benar2 menikmati sebagai FTM. Dan rasanya udah susah ngerubah pola hidupku yg dr bangun pagi urus mereka skolah, mikir makan nya, jemput , antar, suruh mreka istirahat siang..nemenin blajar..kontrol acara main mreka dgn teman2 tetangga..dan yg paling pasti selalu siap peluk mereka saat mereka nangis (ntah krn jatuh, brantem, mimpi, atau hanya sekedar manja mau mamah..).

Pernah terpikir guilty sama ortu ku yg udah susah payah skolahin aku dan ternyata aku gak pakai utk kerja spt apa yg mereka harapkan sewaktu mereka masih ada , tapi aku yakin mereka pasti tersenyum diatas sana kalau tau bahwa apa yg telah mereka ajar dan tanamkan padaku sedang aku jalani…bahwa :

“Anak anak begitu berharga..”

Salam,
Ir.

Ini dari mbak Sofie lagi :

Setuju, Mom Dita. Saya sendiri memilih tinggal di rumah sejak melahirkan anak pertama, 10 th yang lalu, sambil mengerjakan bbrp pekerjaan part time. Sekarang anak bungsu saya udah 4 th, ketiga anak saya sudah masuk usia sekolah, dan anak sulung saya mulai protes, why don’t you go to school, just like everybody else? Saya bilang, okay than, I’ll go. Saya yakin anak-anak saya senang ibunya ada di rumah setiap kali mereka pulang sekolah, tapi mereka juga bangga kalau ibunya juga berkembang, dan melakukan sesuatu yang bermanfaat nggak cuma untuk diri mereka, tetapi juga buat orang lain. Di usia saya skrg ini, teman-teman saya sudah banyak yg selesai PhD, dan saya baru saja akan mulai. Tapi nggak pa-pa, nggak ada kata terlambat untuk memulai.

Saya pribadi sangat menghargai pilihan mereka yang memilih bekerja, atau justru berhenti. Bukankah semuanya kembali kepada bagaimana kita memaknai pilihan kita, dan bagaimana membuat diri kita berarti? Hanya, sebaiknya kita juga mengetahui kebutuhan anak-anak kita. Kapan mereka ingin ditemani, kapan mereka ingin mandiri. Anak-anak usia balita memang butuh kehadiran kita secara fisik, namun dengan bertambahnya usia, mereka semakin butuh partner, teman dialog, yang cool dan updated thd segala sesuatu, jadi peers-nyalah gitu. Jadi, mau tinggal di rumah atau kerja, yuk sama-sama ‘berkembang.’ Demi anak-anak kita…

Sofie

Ini dari Hermin :

Mbak Roes,..
Mbak Neni ini memang kesannya hanya menembak kalangan menengah keatas, ibu-ibu yg bekerja di kantoran, tidak meliputi seluruh lapisan. Kenapa?, karena mungkin mereka masih punya pilihan untuk diambil, apakah menjadi FTM atau memang benar-benar perlu menjadi ibu bekerja. Sedangkan untuk lapisan ekonomi lemah, pan udah dibilang sama Jeng Agnes,.. kalo mereka bisa jadi tidak punya pilihan karena masalah ekonomi. Mereka harus fight untuk bertahan hidup. Kalo nggak kerja maka anaknya nggak makan atau nggak sekolah. So,.. wajar aja yg dibidik mbak Neni ini memang kalangan menengah ke atas.

Sebenarnya hal yg jadi sorotan mbak Neni ini tidak hanya soal apakah wanita bekerja atau tidak, tapi ditulisan-tulisannya yg lain, beliau juga menyorot tentang, perlu tidaknya pembantu. Dan beliau adalha salah seorang yg konsisten tidak pernah menggunakan pembantu dengan ketiga anaknya. Dan ini dilakukan di Indoneisa, dimana jasa pembantu sangat mudah didapatkan. Mbak Neni menjelaskan kepada saya, bagaimana pengaturan rumah tanpa pembantu dengan 3 anak ( dua balita,paling besar SD). Keadaaanya smirip kondisi rumah tangga saya saat ini (tanpa pembantu), tapi bedanya, saya�@memang nggak punya pilihan, hidup tanpa pembantu karena memang tinggal di luar negeri, sedangkan mbak Neni dengan kesadaran penuh memilih tanpa pembantu di negeri Indonesia, dan ternyata berhasil. Beliau sering mengisi ceramah maupun seminar mengenai keluarga.

Oya, kalo mau kenal lebih lanjut dengan mbak Neni, saya sempat kenalan dnegan beliau, ada alamat emailnya,.. japri aja ya,..

Hermin

Ini dari Mom Diana:

Well, tentang tulisan Mom Nenny, namanya orang berpendapat… boleh-boleh aja khan, it’s a free country. Sebelumnya saya pengen ngingetin Mommies semua, you can have REAL discussions about politics, society or whatever – no big deal. Say your opinion on someone else’s e-mails or comments – don’t think it’s a blasphemy! We’ve had plenty of in-depth discussions and views on many things. And we’ve made it through each and everyone one of them, with personalities and individualities intact. Okay?
Utk Mom Nenny, saya pengen bilang juga, you’re entitled to your views. Nice to see someone not afraid to stand up and speak her mind. Saya sendiri full-time Mom yg ex-pekerja kantor. Pernah merasakan capek, sedih, senang dan bangga di kedua dunia itu.

Saya sadar, saya hanya manusia biasa, tidak ingin dibilang superwoman. Saya tidak bisa jadi perempuan yg bangun subuh, mandi, dandan in my skirt and suit, mengurus anak, put breakfast on the table, drop him off at the school and sit 8 hours a day waiting people to tell me what to do, then pick my son up at 5pm sharp, keeping my house clean, serving dinner on the table and still has stamina to have sex with my husband… pheww.. no, I can’t, I’m sorry, I’m only human made of flesh and blood. Saya tidak sehebat para supermoms yg dulu pernah kita bahas rame2 itu. I’m not a heroine in one good epic, I can’t play an ingénue, not someone worth imitating at all. That’s why, I DO still depend on my husband to help me taking care of my son, of our marriage, and of me, without neglecting his role and taking all of the credits for myself, of course. Saya hanya ingin anak saya punya memory terhadap kami – orangtuanya – saya dan suami sebanyak mungkin. Saya ingin hanya kami yg paling dominan memberi warna dalam kehidupannya, he knows somehow we are the one he can turn to.

I just want to be there for him, for every wounds, every pains, every songs, every books, every pictures, every smiles, when he hits the bottom or when he claims his triumph. I just want to give him as much time as I have, all of my thoughts, my fears and my courage. I just want, 25 years from now, when my son ask me, “Mom do you remember when we played it?” I’ll sure do!!

Wassalam,
Diana Mochamad
Minneapolis, MN

Ini dari Mom Sterna :

Tersinggung..?? ga sih.. aku faham sepenuhnya maksud si penulis..
memang sekarang banyak moms yang berada di posisi ekonomi menengah ke atas yang sptnya “kurang peduli” dengan rumah mereka sendiri.. di kantor saya, banyak yang seperti itu.. trus apa motivasi mereka.. menurutku, sebagian
besar dgn alasan yang sangat dibuat2.. aku sendiri saat ini tetep bekerja di kantor selain ngurus catering.. semua terpaksa aku lakukan.. kenapa..?? karena keluargaku bukan yang berasal dari ekonomi menengah keatas tadi.. kami masih butuh uang untuk membiayai kebutuhan sehari2 dan cicilan rumah.. bukan cuma 1 keluarga yang dikasi makan.. tapi 3… emang sih me and my husband have an agreement.. kalo one day, i will quit from here..

so, buat aku.. aku memang bukan supermom although i always try to be one..
but at least i know when to start and when to stop…

no heart feeling.. :)))

Sterna

Mom Dita lagi…

Mo nambahin dari tulisan mom Sofie dan mom Diana,
aku setuju banget, jadi FTM bukan berarti “nguplek” aja di rumah. Kita harus berkembang. Banyak jalan ke arah sana. Kalo mom Sofie beruntung bisa sekolah lagi, kalau saya dari awal arwen lahir, menganggap hari2 yang saya lalui seperti masuk sekolah baru dengan jenjang yang lebih advance. Kalo nanti mom Sofie punya sertifikat gelar dari sebuah institusi pendidikan, kalo saya uncertified master ;-) dari institusi so called life….. hihihihiiiii

Jadi FTM bukan lalu pasrah. Gak bergaul. Saya coba belajar, baca-baca banyak buku ttg perkembangan anak, dll, ikutan milis yang berguna, dan tetep keep kerjaan freelance saya. Atau mungkin buat FTM yang lain, bisa ikutan aktivitas sosial atau sekolah lagi kayak mom Sofie. Saya percaya tidak ada ilmu yang sia-sia, walopun akhirnya kita memutuskan menjadi FTM. Pokoknya gimana caranya bikin diri kita jadi berguna buat orang2 sekitar. Dan tidak memandang rendah diri kita sendiri. Buat yang masih minder mengakui dirinya FTM, jangan ah :-) Kita harusnya bangga, anak-anak kita yang berharga, berada di tangan yang tepat.

salam,
dita

Ini dari Mom Sally :

Dear Moms,
Duch kayaknya ini pembahasan yang sangat menarik dan ga pernah habis ya. saya juga mau menanggapi soal ini . menurut saya ibu bekerja atau tidak itu sebenarnya bukan terlalu masalah yang penting kita masih bisa memberikan perhatian , kasih sayang terhadap anak kita. seperti yang di bilang moms yang lain, motivasi kita bekerja kadang berbeda2 , jadi tidak salah kalau kita menjadi wanita publik selama kenyamanan rumah masih kita perhatikan. asal nanntinya juga jangan sampai anak kita kalau dach gd menyalahkan kita sebagai seorang ibu atau orang tua yang tidak pernah memperhatikannya karena kesibukannya dikantor sehari hari. dulu semasa kecil saya sering mengeluh dengan orang tua saya ,akan kesibukan mereka yang tidak pernah memperhatikan saya , ayah saya sibuk bekerja di luar kota kadang ketemu hanya sebulan sekali sedangkan ibu saya bekerja juga yang sampai larut malam, yang menimbulkan rasa sepi dalam diri kita dan berkeinginan agar suatu hari bisa berkumpul bareng mereka
tentu akan sangat bahagia dan menyenangkan. kadang dalam keadaan sepi begitu si anak suka menangis atau menyendiri bila ingat semuanya , tapi dia sadar kalau orang tuanya sibuk juga buat masa depannya yang lebih baik.

ada juga tetangga saya , dia tidak bekerja tinggal di rumah sehari hari bersama anak dan pembantunya , tapi apa ternyata anaknya tetep lebih deket sama pembantunya ketimbang ibunya …karena dia tidak pernah meluangkan waktu untuk bermain bersama anaknya , memandikannya , menyuapi makannya atau bahkan mengganti popoknya , dia sibuk dengan urusannya sendiri dirumah , menonton tv, baca koran atau sekedar berbincang2 di telpon sama temen atau bahkan kluar shoping .sehingga bila anaknya nangis dia hanya bisa diam bila BSnya yg nennagin

Jadi dalam hal ini ibu bekerja atau tidak bukan lah suatu alasan dia tidak memperhatikan keluarga bahkan mungkin ibu bekerja dia melakukan tugas ganda seorang ibu yaitu mengurus rumah dan membantu menambah pendapatan suami. jadi menurut saya bukanlah kuantitas kita berhadapan dengan anak yang lebih penting tapi bagaimana kita memberikan perhatian dan kasih sayang kita terhadap anak sehingga anak kita bisa
tumbuh dan berkembang lebih baik dengan usaha maksimal yang kita berikan kepadanya. kita masih bisa bermain bersama anak sebelum kita berangkat kerja kalau dia sudah bangun atau memnadikan dia setelah
pulang kerja , bermain dan menidurkannya , juga disaat kita libur weekend. naluri seorang anak pasti tidak akan pernah hilang terhadap
ibunya biar kita sesibuk apapun, so apa salahnya bila kita bekerja……….
maaf kalau opini saya kurang berkenan dihati moms yg lain

SaLLy

Ini dari Mom Uci :

Mommies….
Baca postingan Mom Agnes kmaren…jujur aku ningung..gak bisa omong apa2…. Semalem aku trus crita ama papanya Kavin…. minta pendapat gitu….
papanya Kavin cuma jawab singkat… ‘smuanya tergantung komitmen n tujuan kamu yg ngejalaninnya’…. Wah moms…asli aku bingung bgt,,gak puas ama jawabannya but setelah aku pikir2 ada benernya juga…

Moms..kepengennya sih di hati kecilku aku di rumah aja jd FTM….n nggantin
hidup ama suami…bukannya mau tergantung gitu aja sih..but idealnya emang ibu tu di rumah urus anak n rumah… But, apa seorg ibu tu gak boleh puya cita2??? Apa salah kalo ibu tuh pengen pinter… kan kalo ibunya pinter anaknya juga bisa pinter krn didikan ibunya….

Seperti aku juga…kadang dilema juga buatku..seperti curhatku di milis ini bebrapa minggu lalu…. di lain pihak aku punya cita2…aku masih pengen sekolah lagi yg lebih tinggi…so, itu salah satu alasan aku kerja…. but aku
kadang juga bingung ama anak…

But, aku punya komitmen sebisa mungkin kalo aku di rumah anak smua aku yg urus…pokoke di rumah urusannya ya rumah aja… but kalo di kantor kerja aku juga harus konsentrasi kerja…but mesti harus ada wkt buat ngecek rumah…
Emang kadang gak mulus sih..ada aja gannguannya..yah namanya manusia pengennya ideal..but kenyataan berkata lain… seperti artikel postingannya
Mom Agnes….

Kalo menurutku..idealnya seorg ibu tuh gak ada patokannya… jd FTM ok…. ibu bekerja juga ok….. Kalo kita udah puas jd FTM ya udah dijalanin aja sesuai komitmen…. kalo mo kerja juga gpp but juga harus mesti tau resikonya..kalo kadang harus dicuekin anak..n rumah rada gak keurus…. Seperti kata suamiku tergantung tujuan hidup kita n komitmen kita yg menjalani…. hrs mau bayar harga buat smua komitmen yg kita buat….

Gimsns nih moms yg lain… Sori lho kalo gak berkenan…
Uci mamaKavin

Ini dari mom Yuli :

Moms,
Jadi ikut gatel juga neh! Saya cuma mau sharing apa yang saya saksikan di lingkungan saya. Saya punya tokoh idola, seorang wanita karier atau ibu publik meminjam istilah si penulis. Idola saya itu kebetulan bekas bos saya di
perusahaan dulu saya bekerja. Singkatnya dia nggak hanya sukses dalam berkarir tapi juga sukses mengurus rumah tangganya. Kenapa saya bilang sukses? Dua orang anaknya , anak-anak yang sangat baik, pintar, mandiri, hormat, senang menolong, rajin beribadah dan sangat dekat dengan kedua orangtuanya…… Saya bisa pastikan ini karena saya sangat mengenal keluarga ini dan lingkungannya. Dan memang setelah saya perhatikan salah satu kuncinya adalah kerja sama yang kompak dengan suami. Sesibuk apapun dia, dia selalu menyiapkan semua keperluan anaknya bahkan memasak(She’s good in cooking). Dan ketika anaknya memerlukan dia, meski harus sneaking dari kantor, she run to her children. Kadang anak-anaknya dibawa ke kantor. Kebetulan karena dia bos, dia punya ruangan sendiri, ada kasur kecil buat anak-anaknya bobo kalo “terpaksa” dia harus bawa ke kantor. Waktu anak-anaknya kecil “dijaga” oleh seorang pembantu dan dia sangat ketat mengawasi kinerja si pembantu ini. Hebat??? Nggak juga hehehe kadang ada aja yang miss. Misalnya pernah anak laki-lakinya nggak lulus sebuah kursus, dan masih banyak lagi kekurangan/kelemahan yang juga saya saksikan. Seringkali kedua anak ini cerita ke saya betapa sayang dan bangganya mereka terhadap ibu mereka. Melihat keluarga ini saya selalu teringat film keluarga Huxtable. Betul mirip banget, keluarga bekas bos saya ini keluarga yang penuh humor, ceria dan easy going.

Sharing kedua. Kebetulan masih saudara. FTM, punya anak 3. Tapi anaknya yang bungsu terancam tidak naik kelas dan satu anaknya punya masalah overweight. Mereka bertiga nggak dekat dengan ibunya, justru lebih dekat dengan ayahnya yang justru seringkali tugas keluar kota bahkan ke luar negeri berhari-hari. Kalo ada apa-apa, anak2 ini lebih suka curhat dengan ayahnya dibanding dengan ibunya.

So? Semuanya berpulang ke pribadi masing-masing kan? Nggak bisa nge- judge yang satu lebih baik dari yang lain. Semua pilihan punya kelebihan dan kelemahan sendiri. Tergantung bijaknya kita meminimalkan kelemahan/kekurangan tersebut. Kita kan nggak tau motivasi-motivasi apa yang melandasi pilihan2 tersebut. Tuhan melihat HATI. Iya kan? Saya setuju dengan pendapat salah satu mom : Motivasi/niat yang baik melahirkan hal-hal yang baik! Mau jadi FTM kalo emang semuanya dilandasi niat yang tulus dan baik, pasti berbuah baik. Mau jadi “ibu publik” kalo memang motivasinya baik, buahnya juga pasti baik.

Fiuh……udah panjang banget nih nulisnya. Back to work ah!

have a good long week-end
YULI
ibu publik hehehehe

Ini dari mom Desi :

Dear mom Dita, Iya,terusin nulisnya,aku termasuk yg seneng dg tulisannya mom Dita.jadi tambah mantaps dg peran IRT yg aku jalani saat ini.Hi…hi…emang ada pilihan lain…:-)

YacH…ibu bekerja tidak bekerja, memang nggak pernah habis dibahas. semuanya tinggal bagaimana kita memilihnya.

Toh, kita sendiri yg tahu, seberapa besar manfaatnya atas pilihan kita tsb. juga, kita sendiri yg akan mempertanggungjawabkan atas pilihan kita di hadapanNYA, Kelak…..

Maaf kalu ada yg tidak berkenan.
Peace,
Desi

Ini dari mom Nenny Riana :

moms, jujur, aku gak baca tulisan itu, soalnya kayaknya bikin bete di hati…
hehehe… sorry ya, soalnya aku masih termasuk ibu bekerja, tapi masa sih aku harus ceritakan gimana aku merawat anak-anak mulai jam aku pulang kantor ampe berangkat kantor (dari jam 1730 ampe jam 0700 pagi). yang jelas, jadi ibu bekerja tuh sama capeknya ama FTM. kalo aku mau komentar, sebenernya aku cukup ngiri ama temenku yang FTM, dan kerjaannya bangun siang, nganter dan nunggu anak sekolah, makan siang, shopping, abis shalat dhuhur bisa tidur siang, ntar bangun dah sore, nunggu suami pulang, makan malem, nonton TV, dan tidur. urusan masak dan beberes rumah dikerjakan pembantu…
duh duh… siapa coba yang gak kepengen.

coba kalo ibu kerja (aku misalnya), bangun kudu subuh udah ngerebus air, shalat, mandi, beberes keperluanku, suami, dan anak2 (anakku 2, umur 3 tahun dan 1,3 tahun). abis itu mandiin anak-anak, main sebentar, dan kudu ngantor.
di kantor, dengan berbagai keadaan harus bisa mengatur suasana hati… sampe dirumah, udah sibuk urusan anak2 yang tiba tiba berubah jadi manja, belon lagi kalo malem pada minta pipis (padahal aduuuh… jam 1 gitu lho… enak-enaknya tidur) atau minta minun susu lagi…

please deh, tulisan kayak gitu, jangan terlalu dibahas, toh gak pernah ada jalan keluar yang terbaik…

peace,
nenny riana, bukan neni yang nulis “perempuan apa yang kau cari”

Ini dari mom Wanda :

Dear all:
Aku yakin diskusi hangat mengenai topik Perempuan apa yang kau cari merupakan bentuk “pencarian” kita juga, mengenai keputusan dan pilihan yang
telah atau akan diambil nantinya. Secara pribadi juga aku yakin melalui diskusi ini masing-masing kita memperoleh pembelajaran jiwa dalam hidup sebagai wanita berkeluarga. Adanya pendapat yang mendukung pilihan kita merupakan semangat bagi kita untuk menjadi yang lebih baik lagi. Adapun pendapat yang tidak sesuai dengan pilihan kita, anggap saja sebagai harta karun yang mungkin suatu saat kita perlukan. We’ll never know. Dunia berputar kan, Moms…:-)

Satu yang paling aku suka sama Mommies semua di sini adalah jiwa besarnya.
Jiwa besar untuk membaca pendapat yang berbeda dan saling meminta maaf. Di sini kita bebas mengekspresikan perasaan, pendapat dan sikap, darimana pun email kita diposting. Entah itu di sela-sela kesibukan kantor atau di tengah2 kesibukan “nyebokin” si kecil. Dan yang aku simpulkan dari semua email “Perempuan apa yang kau cari?” adalah sebuah diskusi! Salut! Bukankah kita juga ingin anak2 kita bisa bebas mengungkapkan perasaan, pendapat dan sikap? Semoga kekayaan dari forum ini dapat kita wariskan pada anak2 kita.
Buat Mom Neni (ato Mom Nenny? :-), tetap berkarya melalui tulisannya yang
luar biasa. Buat Mom Agnes, ditunggu summarynya ya…hehehe…bakalan jadi
sumarry terpanjang nih…:)

Whatever we eat, drinkingnya teteup Teh Botol Sosro kaaan…..:) (sorry nyatut iklan) Pendapat boleh beda, tapi WRM is the best kaaan…. (loooo?!….:-)

salam manis:
WH
ygkarenaduniaberputarsekaranghappyjadiFTM

Ini dari mom Evi :

Iya memang artikelnya terlalu bias. Terlalu menilai rendah sama ibu bekerja.
Adakah yang tahu email atau phone number mbak Neni ini? pokoke sesama ibu-ibu mau yang bekerja dan stay at home moms jangan sampai saling menilai jelek satu sama lain.
Pokoknya yakin deh: “Moms fill the hours with sunshine and flowers”

I love being a Mommy!
Evi

Ini dari mom Diana lagi :

Sebetulnya bukan saling menilai negative sih Mbak Evie, tp yg ada malah pengen satu sama lain… yg kerja kadang pengen di rumah, yg di rumah kadang pengen kerja. Saya juga gitu kok, manusiawi… kadang ngiri juga klo ngeliat tetangga pagi2 udah cakep, ngeluarin mobilnya dr garasi siap ke kantor.

Atau klo lagi diem di rumah yg sepi gak ada orang, sambil nunggu cucian saya mikir, enak kali yah klo kerja kayak dulu lagi, bisa mematut-matut baju, tas dan sepatu; terus yg jelas punya duit sendiri tanpa nunggu uluran tangan suami… he..he..he. Yg lagi kerja di kantor ngerasa duuh enak yah ibu2 yg di rumah, siang2 gini pasti pd tidur sementara kita duduk seharian pusing ngeliatin computer… pdhal yg di rumah lagi ngepel lantai sampai pinggangnya pengen patah… he..he..he.

Saya kadang klo kesel sama suami ngomel juga, coba klo aku kerja biarpun di kantor cuman ngobrol sambil ngemil tp keliatan hasilnya tiap bulan ada duit… berhubung aku cuman di rumah, biarpun seharian sampe naik2 tangga buat mbersihin langit-langit yah tetep aja gak keliatan…

Biasalah… pagar tetangga selalu lebih hijau, gitu kali yah? :-D

Wassalam,
Diana Mochamad
Minneapolis, MN

Dari mom Iranita lagi :

Ha..ha…betul.. Memang gak bisa mungkir kalo yg dirmh kadang terpikir pengen balik kerja ngantor biar bisa muter lagi tuh kostum instead of ngantung di lemari aja atau yg ngantor pengen jd ftm spy bisa berclana pendek seharian..tul gak? we’re only human.

Tapi aku lebih milih yg bisa pake clana pendek seharian… ganti jeans kalo mau blanja ke giant atau jemput kid dr skolah/antar les. Daripada yg harus ber outfit rapih seharian.

Salam,
Ir.

Ini dari mom Shinta :

Dear Moms,
Ikutan sharing, terus terang aku kerja karena untuk menunjang ekonomi keluarga (pengen bisa kasih yang lebih baik buat anak2 terutama pendidikan yang menjadi bekal mereka nanti, biaya pendidikan sekarang mahal sekali).

Kalau bisa memilih aku memilih untuk menjadi FTM. Sebenarnya Mom tugas seorang FTM lebih berat daripada kerja kantoran. Kalau kerja di kantor kita hanya menghadapi komputer, telephone dan kerja2an kita. Bagi yang kerja di back office tidak perlu bolak balik keluar kantor hanya datang pagi, keluar makan siang, sore pulang. Sedangkan jadi seorang FTM kerjaan sederet sudah
menunggu, antar anak sekolah, jemput sekolah, antar les, ajarin bikin PR,
siapkan makan, temenin main dan urusan tetek benget lainya (mengurus suami). Jadi kebayang kan mom capeknya bolak-balik keluar rumah untuk urusan tsb. Menurut aku sih FTM itu lebih berat daripada kerja kantoran. (walau berat aku punya cita2 pengen suatu hari nanti bisa FTM). Kadang sedih juga melihat anak2 pulang sekolah tidak ada kita yang nungguin di rumah. Benar Mom Ina, kalau bisa pilih aku juga pengen seperti mom Ina, bercelana pendek saja.

Memang buat kita yang kerja kantoran beban kita juga cukup berat, tapi apabila kita niatin semua bisa di atur. Sejak lahir anak2ku tidak pernah tidur dengan BS, jadi walaupun mereka malam rewel tidak pernah aku kasih ke BS, setelah pulang kerja habis mandi nyiapin makan suami, anak2 urusan aku, paling BS bantu2 aza kalau perlu ambilin sesuatu buat anak2. Emang berat mom urus bayi, apalagi kalau malamnya mereka rewel karena sakit sedangkan pagi2 harus bangun untuk berangkat kerja lagi. Sejak mereka makan bubur aku selalu usahakan masak bubur mereka dulu pagi2 sebelum aku kerja. Jadi urusan masak makanan mereka aku tidak serahkan ke assisten.
Dibalik semua itu aku bahagia karena walaupun aku kerja kantoran anak2 ku
tetap dekat dengan aku. Owen sudah jalan 7 thn, Shania jalan 5 thn, mereka
ngerti kalau mamanya kerja mereka harus dengan mbaknya tapi malam adalah
waktu dengan mamanya.

Seperti pendapat moms yang lain bahwa apapun pilihan kita apabila kita
jalankan dengan baik dan niat yang baik maka hasilnya pun akan baik.

Regards,
Shinta

Ini dari mom Hani :

Dear Mommies,
Salut buat para Mommies yang kerja plus jadi mommy atau yang study plus jadi mommy. Enaknya hidup di Indonesia kita punya banyak support dari banyak orang (hubby, ortu, teman,families sampai bisa hire assistant dan BS). Fasilitas hidup di LN kalau tinggal di negara maju memang convinient, tapi support mental dan support curhat—-alamak susah didapat. Setelah memutuskan untuk FTM setelah melahirkan—baru deh realita dijalani semuanya berdua (udah kaya lagu). Pilah-pilih segala hal, menimbang sini situ—keputusan FTM at least sampai anak-anak sekolah. Apalagi setelah banyak lihat anak-anak teman yang main ke rumah dan ditinggal ibunya bekerja—-mereka selalu ingin dipeluk dan dicium juga. Day care nggak selamanya tumpuan segalanya—kenyataannya kasih PRT-BS-Day Care staff tak sama dengan kasih ibu. Memang life is REAL, dan kita masing-masing punya circumstances sendiri-sendiri.
Anyway, saya berprinsip FTM atau FTM plus study, FTM plus gawe semuanya OKE saja tergantung pilihan Mommies masing-masing, asalkan dijalaninya dengan happy-happy dan memahami konsekuensi dan tanggung jawab masing-masing. So far so good, tidak ada kehidupan yang stagnant semua pasti terus berputar dan berubah….tinggal pada kita memilih menjadi pemimpin
bagi diri kita dan hidup kita atau tidak? Ayo Mommies let’s take control of ourself!

Hani Iskadarwati

5 Replies to “Serunya Tanggapan Artikel ‘Perempuan Apa yang Kau Cari?’”

  1. alo bu agnes :)..salam kenal nih bu..tadi dari milis wrm trus mampir liat rangkuman diskusi yang belum saya ikutin (maklum baru). wah ternyata rangkumannya panjang ya :)..tapi makasih lho..btw templatenya manis sekali bu…salam buat keluarga ya..

  2. Mba Agnes, saalam kenal, saya Yulia.
    Saya sedang mengerjakan thesis s2 saya dan tema yang sata ambil adalah mengenai quality time dengan anak bagi orang tua yang bekerja. Aku boleh minta data2 ga mengenai brp percent ibu yang bekerja di jkt skrg, dsb,, kalo mba agnes punya,
    Thanks alot
    Cheers
    Yulia

Comments are closed.