Review ‘Bumi Manusia’

Ketebalan buku ‘Bumi Manusia’ milik Pramudya Ananto Toer ini awalnya membuat aku malas membacanya. Bayangkan, 524 halaman bo! Tapi suamiku mau membaca buku ini. Dan setiap habis keluar dari WC (karena doi pasti bacanya di WC hehe), suamiku selalu berdecak kagum,”Gile…emang hebat tenan nih Pramudya bikin kata-kata…” Lain hari dia berkata,”Seru Ma, dia bisa bikin pembaca penasaran…nggak bisa berhenti baca nih.” Duh…duh…diprovokasi begitu terus akhirnya pelan-pelan kulirik juga itu buku. Awalnya cuma tiap ke WC( hehe idem, tempat paling tenang sedunia buat baca soale hihi), eeh ga taunya aku malah nggak bisa berhenti baca buku itu. Akhirnya buku itu kulalap habis dari siang sampe sampe tamat jam 3 pagi! Bela-belain nggak tidur coba hehe.

Dari isi ceritanya, buku ini membuatku semakin bersyukur karena terlahir di jaman modern. Kisah ‘Mama’ alias Nyai Ontosoroh, gundik milik Herman Mellema, pejabat Belanda yang membelinya saat itu membuatku bergidik. Perempuan yang sudah berusia 14 tahun dianggap perawan tua. Dan sejak gadis-gadis mendapatkan menstruasi pertamanya, biasanya mereka akan dipingit. Pemandangan yang boleh mereka lihat hanya lah sebatas dapur dan kamar-kamar dalam rumah. Hari-hari mereka dipenuhi kecemasan menunggu nasib.

Bersambung…belanja dulu…ah..mumpung lagi pada banting harga neh…

Belanja berrhari-hari nih :-), untung ada yang protes, kalo enggak, ga bakal disambung nih tulisan, pamalesan.com hehe.

Ya begitulah, kehidupan gadis-gadis itu seperti diselimuti kabut. Kabut itu tersibak bila datang pria budiman meminang mereka. Tapi bila pria jahat yang datang, kabut menjelma badai tak berujung. Tak jarang mereka dijadikan istri kesekian dan kemudian dibuang begitu saja bila sang pria telah bosan. Sakinem, Nyai Ontosoroh muda, sedikit beruntung karena diambil oleh lelaki Belanda kaya dan baik hati pula. Namun tetep saja hatinya dendam tiada tara. Karena ia dijadikan gundik. Dan parahnya, ayahnya sendiri yang tega menjualnya. Bayangkan, betapa wanita saat itu tak punya daya. Tiga puluh lima gulden, harga untuk seorang Sakinem, sang kembang desa.

Buku ini juga membuka lagi kenanganku pada pelajaran sejarah Indonesia. Betapa penjajahan menebarkan ngilu dalam hati-hati manusia yang terjajah. Secerdas apapun engkau, sekaya apapun engkau, tak akan berarti apa-apa karena engkau seorang pribumi. Kasta-kasta itu begitu terasa, pribumi, Indo dan Belanda totok. Sungguh, bersyukur lah aku karena hidup di jaman ini yang tak lagi mengenal kasta-kasta. Walaupun rasialisme masih tampak dimana-mana, tapi setidaknya kini manusia masih bisa dihargai dari karya dan kecerdasannya.

Mama menjadi pemeran pembantu utama dalam buku ini. Tokoh utama adalah Minke, seorang pria pribumi yang beruntung bisa sekolah di HBS. Bersekolah di tempat itu sangat hebat. Umumnya hanya anak Belanda totok, atau Indo yang bisa bersekolah disitu. Ayah Minke punya pangkat, karena itu lah ia bisa masuk HBS. Tokoh pembantu lain adalah Annelis putri Nyai Ontosoroh yang parasnya bak bidadari. Minke jatuh cinta padanya. Percintaan dengan bidadari memang asoy, tapi tak bisa gratis. Sejak itu lah hidup Minke penuh masalah. Selesai satu masalah timbul lagi masalah baru. Karena begitu lah sejatinya manusia yang memijak bumi, tak pernah lepas dari masalah. Dan Pramudya mengemasnya dengan apik, lembar demi lembar selalu membuatku penasaran.

Dengan kalimat yang ringkas dan metafora sederhana Pramudya membuat buku ini menjadi mudah dicerna. Dan bagi pembaca yang hendak belajar bagaimana membuat kalimat yang singkat dan padat saat menulis, secara tidak langsung Pramudya mengajarkannya dalam buku ini. Tapi perlu perubahan niat untuk mempelajarinya. Bila ingin menikmati alur cerita, tak perlu pasang niat untuk mempelajari kalimat dan bahasa. Tapi, bila ingin mengambil pelajaran tentang teknik menulis, niat harus dipegang.

Jadi membaca buku ini selain menghibur juga bisa sebagai sarana belajar tentang penulisan. Bukan itu saja kata-kata bernas juga banyak bertebaran dalam buku ini. Bisa membuat pembaca semakin bijak kalau pandai mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Tak percaya? Baca sendiri bukunya :-)

6 Replies to “Review ‘Bumi Manusia’”

  1. lhaaa proteezzz..begimana sih…udah serius nih mo baca reviewnya..huhuhuhu malah ditinggal belanja..:D…waduh nes..itu anak anak protes ga emaknya nongkrongin buku :D..eh iya nes…insya allah aku mo ke mama ku 6 aug ini ama anak anak…dan di sana agak lamaan..jadinya ga bisa sering2 maen ke sini deh :(…tapi kirim e mail yaa…udah ahhh..mo bobo..met berhari minggu ya nes..udah dapat apa tadi belanjanya? ..krimin atu yaa

  2. Dah disambung In, demi Iin seorang hehe…maap ya kalo sambungannya mengecewakan soalnya moodnya dah berkurang :-). Untungnya Lala n Malik klo berdua ayem main In, betah mereka berjam-jam, jadi aku pun bisa baca berjam-jam. Tpi kalo salah satu sendirian itu yang repot.

    Oke deh met jalan ya In, titi dj..smoga mama diberi yang terbaik yaa…

  3. Emang buku2 Pramoedya yang satu ini mantap punya!
    ayo mba, beli kelanjutannya…masih ada 3 buku lagi lo kelanjutannya si Minke! bikin aku ga bisa tidur sebelum abis bacanya, dan bikin aku ngebayangin kalo itu buku kelak difilm-in, aku bayangin si Alex Komang jadi Minke, Nyi Ontosoroh diperankan ama Ria Irawan, gmn mba? setuju ga? hehe

  4. Hehehe Mey imajinasinya oke punya euy. Duh jadi penasaran, ternyata yang 2 lagi itu sambungannya toh, ato jangan2 aku salah beli ya. Ya deh pokoknya bakal kubaca setelah semua peer kelar. Tx atas ‘komporan’nya ya :-)

  5. mba, lanjutannya masih ada 3 buku lagi lo, bukan 2! sayang aku agak lupa urutan bukunya,
    Bumi Manusia-Jejak Langkah-Anak Semua Bangsa-Rumah Kaca
    semua saling berkaitan tuh mba..aku dulu sampe berburu bukunya, saking penasaran ama kelanjutannya, hehehe

  6. Hwaa berarti aku salah beli Mey, aku punya 2 lagi tapi judulnya bukan itu, pantesan isinya ga nyambung hehe. Ya deh ntar klo ada yang pulang ke Indo lagi aku titip, apa Mey mau kirim ke alamatku? hehe ngelunjak.com nih mahalan ongkos kirim dp bukunya :-). Thanks buat infonya ya say…

Comments are closed.