Suatu hari, anak lelaki saya yang ketika itu berusia 7 tahun tiba-tiba bergumam,”Jadi perempuan itu merepotkan! Alhamdulillah aku laki-laki,” katanya serius. Saya tersenyum-senyum mendengarnya sekaligus heran, darimana dia mendapatkan ide bahwa menjadi perempuan itu merepotkan. Rupanya anak seusia itu memang sudah menyadari adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan ia pun paham bahwa menjadi perempuan berarti harus hamil dan melahirkan. Jadi ketika saya diminta untuk membawakan topik soal ‘Aku bangga menjadi wanita’ dalam acara Kharisma ini, saya langsung teringat gumaman anak saya itu. Saya lalu berpikir, benarkah jadi perempuan itu merepotkan? Kalaupun menjadi perempuan itu tidak merepotkan, nikmat dan membanggakan, apa sesungguhnya yang dibanggakan?
Perbedaan laki-laki dan Perempuan
Sebelum membahas soal kebanggaan, akan lebih lengkap rasanya bila kita bicara dulu soal perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam Islam dikatakan bahwa meski dimata Allah wanita dan pria sejajar, tapi fisik dan perasaan mereka tetap berbeda sehingga menimbulkan hak dan kewajiban suami dan istri yang berbeda pula. Dunia ilmiah pun mendukung adanya perbedaan fisik antara pria dan wanita sehingga buku-buku semacam ‘Men are from Mars and women are from Venus’ karya John Gray pun laris di pasaran. Belakangan para ahli neuroscience juga membeberkan penemuan mereka soal perbedaan otak antara laki-laki dan perempuan. Diantaranya soal perbedaan jumlah sel otak, dimana laki-laki lebih banyak daripada wanita, tapi koneksi antar sel otak justru lebih banyak dimiliki wanita. Laki-laki memiliki gray area lebih banyak sementara wanita memiliki white area lebih banyak. Perbedaan ini secara umum membuat pria lebih jago dalam bidang matematik dan spatial, sementara wanita lebih canggih dalam soal bahasa. Limbik sistem pada wanita juga dikatakakan lebih besar sehingga membuat wanita cenderung lebih sensitif, punya rasa empati yang besar tapi juga mudah depresi.
Apa artinya? Artinya, laki-laki dan perempuan sejak pertama kali diciptakan oleh Tuhan memang sudah membawa fungsinya masing-masing. Bagi perempuan, haid, hamil, melahirkan dan menyusui adalah sebuah entitas yang tak mungkin terbantahkan. Merepotkan? Mungkin iya bagi seorang anak lelaki berusia 7 tahun yang belum paham tentang arti sebuah rahim yang dimiliki oleh wanita. Rahim yang sejatinya merupakan pengejawantahan rahimnya Sang Maha, yang dititipkan ke dalam setiap wanita hingga mereka bisa menjadi begitu pengasih dan penyayang kepada anak-anaknya, tanpa perlu menggugat rasa repot yang muncul saat hamil dan melahirkan.
Namun, perbedaan ini juga lah yang membuat terjadinya ‘malapetaka’. Kabarnya, lantaran wanita tercipta dari tulang rusuk Adam, maka para lelaki merasa bahwa wanita adalah bagian dari lelaki yang tak mungkin ada bila lelaki tak ada. Ditambah lagi dengan penjelasan bahwa wanita tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, membuat sebagian kaum pria menafsirkannya secara telanjang bahwa wanita adalah makhluk lemah yang perlu diluruskan. Bahkan dalam buku ‘Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat’, Dr Quraish Shihab menjelaskan tentang betapa parahnya kedudukan kaum wanita di abad 5-6 masehi dalam pandangan pemuka agama Nasrani. Mereka menganggap bahwa wanita adalah senjata iblis dalam menyesatkan manusia. Pandangan ini muncul karena pemikiran bahwa Hawa lah yang menggoda Adam ketika di surga sehingga mereka harus diusir ke bumi.
”Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak,” tulis Dr Shihab melanjutkan pandangan pemuka Nasrani tersebut.“Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi diselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan.”
Sejak jaman Yunani, Romawi, Hindu dan Cina, wanita memang dianggap sangat rendah, malah keberadaannya pantas dimusnahkan dengan dibunuh atau dibakar hidup-hidup. Berapa banyak bayi wanita yang dibunuh lantaran orangtuanya menganggap bahwa anak perempuan hanya akan membawa bencana? Wanita hanya dianggap sebagai budak pemenuhan nafsu belaka, bahkan sejarah Hindu kuno menganggap bahwa racun, ular dan api tidak lebih jahat dari wanita. Hingga saat ini pun, dikalangan Hindu India, wanita masih menjadi manusia kelas dua. Sebuah berita mencengangkan di tahun 2006 menyatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir (sebelum tahun 2006), 10 juta anak perempuan di India telah dibunuh oleh orangtuanya sendiri ketika mereka baru saja lahir atau digugurkan ketika di dalam rahim orangtuanya mengetahui bahwa anak yang dikandungnya adalah perempuan. Dan cara pembunuhan yang mereka lakukan pun menyeramkan. Mereka memasukkan pasir atau tembakau kedalam mulut dan lubang hidung si jabang bayi hingga bayi-bayi perempuan itu mati! Naudzubillah.
Untungnya, sejak berabad-abad silam ketika Islam datang, Islam telah mengajarkan manusia untuk memuliakan wanita. Di mata Tuhan, wanita dan pria sama saja, hanya amal ibadahnya yang membedakan. Kedudukan wanita yang sejajar dengan pria dalam Islam bisa disimpulkan dalam keterangan berikut yang juga tertulis dalam dalam buku Dr Shihab. Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam mengatakan, “Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan -sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki- potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.”
Dilema
Tapi, meski Islam meninggikan wanita, banyak pula perdebatan disana-sini dari para ulama yang membuat di sebagian belahan dunia, wanita masih saja menjadi makhluk lemah. Wanita dianggap tak layak untuk keluar rumah, belajar atau bekerja, karena tugasnya hanyalah mengurus rumah tangga, suami dan anak-anaknya. Dengan dalih suami adalah pemimpin bagi wanita, seperti yang dikatakan dalam agama, kadang membuat wanita tak berdaya sehingga kekerasan dalam rumah tangga masih saja dijumpai dimana-mana.
Masih menurut Dr. Shihab, masalah dimana seharusnya perempuan berada, di dalam atau di luar rumah ini bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang antara lain berbunyi, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu.” Ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar rumah. Namun sebagian ulama lain tidak menafsirkan ayat ini secara telanjang sehingga malah menganjurkan wanita untuk belajar dan berkiprah di luar rumah agar bermanfaat bagi umat.
Dalam buku Dr Shihab dibeberkan pula contoh-contoh wanita yang bekerja di luar rumah di jaman Rasulullah. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ada pula wanita yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu, Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Meski belakangan banyak ulama menjelaskan soal bolehnya wanita berkiprah di luar rumah, tetap saja persoalan ini masih menjadi dilema bagi wanita. Fenomena nyata yang sering kita lihat saat ini adalah ketika wanita harus memilih antara bekerja atau tidak bekerja setelah berkeluarga. Banyak kita lihat wanita-wanita cerdas lulusan universitas hebat yang setelah berkeluarga kemudian memilih untuk tinggal saja di rumah demi keluarga. Banyak pula kita lihat wanita-wanita yang berkarir luar biasa di luar rumah hingga meninggalkan anak-anaknya. Intinya, setelah menikah dan punya anak, pilihan untuk tetap dirumah atau bekerja keluar rumah dengan segala alasannya seringkali membuat kegelisahan tersendiri bagi wanita.
Kebanggaan
Tak usah jauh-jauh, contohnya saya, atau para wanita yang mengikuti suami tinggal di Luar Negeri lalu melepaskan karir di Indonesia. Ketika memutuskan dan menjalaninya, sungguh bukan hal yang mudah. Bagaimana saya bisa bangga terhadap diri saya sebagai ibu, ketika saya tidak bahagia di rumah karena teringat-ingat terus dengan karir saya misalnya. Bagaimana pula kemudian saya berjuang untuk menikmati tugas baru saya sebagai ibu rumah tangga dengan bahagia. Lalu setelah anak-anak saya besar, saya pun kembali kebingungan karena harus memutuskan untuk dirumah atau keluar rumah dan hendak melakukan apa.
Sebagai wanita, seharusnya kita memang bangga karena Islam telah mengangkat derajat wanita. Apa jadinya kalau wanita di jaman ini masih saja dianggap hina dan tak pernah disyukuri keberadaannya. Namun wanita masa kini kerap dikelilingi oleh dilema-dilema. Meski tentu, ada pula wanita yang setelah berkeluarga lalu dengan ikhlas dan rela berjanji untuk mengabdikan hidupnya di rumah saja demi anak-anaknya, tanpa sebuah dilema, karena ia telah menemukan tugasnya.
Apa artinya? Setelah memahami bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda tapi sama-sama mulia, ternyata menjadi wanita pun begitu adanya. Wanita dimana-mana sifatnya sama. Namun dengan perbedaan latar belakang dan jalan hidup dari Tuhan, wanita memiliki tugas masing-masing yang tentu tak sama. Kembali kepada contoh para wanita di jaman Rosul, mereka pun memiliki tugas yang berbeda-beda. Lalu bagaimana dengan saya? Apa sesungguhnya tugas spesial dari Tuhan untuk saya?
Suatu ketika, saat saya sedang dihadapkan pada sebuah dilema, kebingungan mencari-cari apa tugas saya sesungguhnya, apa yang Allah mau saya lakukan untukNya, saya menemukan kata-kata Jalaludin Rumi berikut: “Everyone has been made for some particular duty, and the desire for that particular duty has been put in every heart.” Kata-kata itu begitu menyentuh hati saya, seolah memberi jawaban atas kegelisahan yang saya alami. Seketika saya tersadar bahwa sesungguhnya petunjuk Allah soal dilema wanita yang saya alami itu sungguh dekat. Allah sudah menanamkannya dalam hati-hati setiap wanita, hendak menjadi apa dia dan tugas apa yang diembankan padanya sesungguhnya. Kesadaran akan tugas diri ini menjadi penting karena selain membuat kita bisa mengerjakan apa saja dengan lapang, tapi juga membuat kita tak lagi membanding-bandingkan diri kita dengan wanita lain, atau menghakimi wanita lain dengan semena-mena. Akibatnya? Tentu dunia lebih indah terasa.
Namun, menemukan tugas spesial dari Tuhan untuk diri kita pribadi ini bukan perkara mudah. Persoalannya adalah, bagaimana kita bisa memohon, merenungi semua petunjuk-petunjuk yang ada di sekitar kita dan di dalam hati kita, lalu menjadi sebuah keyakinan penuh bahwa,’Ya! Inilah tugas dari Allah untuk saya,’ sehingga kita bisa menjalani apapun tugas itu dengan riang tanpa beban, tanpa merasa repot menjadi perempuan. Dan tugas utama kita tentu saja berusaha memilih dengan benar agar pilihan yang kita ambil bukanlah berdasarkan nafsu semata. Mungkin ada wanita yang bertugas menjadi ibu rumah tangga saja selamanya, menghasilkan anak-anak luar biasa. Mungkin ada pula wanita yang harus bekerja untuk menghidupi keluarga, tuntutan masyarakat karena kepiawaiannya, menjadi guru, dokter, penjahit, designer, arsitek, menjadi ibu rumah tangga sementara lalu kembali bekerja atau apa saja. Semuanya dimata Allah, tentu sama-sama mulia asalkan diawali dengan niat yang mulia pula.
Pengamatan saya berkata, kalau pilihan itu benar dari Allah, biasanya, tiba-tiba jalan akan terbentang dengan mudahnya, serta membuat orang-orang di sekitar kita pun gembira. Bukankah segala sesuatu yang datang dari Allah akan membawa keberkahan dan kenikmatan? Dan saat kita menemukannya, ada sebuah keikhlasan dan kebahagiaan disana. Karena ketika itu pula sejatinya, kita telah menjalankan kesaksian yang selalu kita sebut dalam sholat-sholat kita. “Sesungguhnya ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untukMu, Tuhan,” dan ketika itulah saya semakin bangga menjadi wanita.
Agnes Tri Harjaningrum,
Amsterdam, Medio April 2010
Ditulis dalam rangka jadi nara sumber acara ini:
Peringatan hari Kartini 21 April, KHARISMA Woman and Education bersama Radio Qommunity Jerman, Milis Jejak Daffodil Muslimah dan beberapa LSM di Luar Negeri seperti Salamaa Belanda, PPM-IMUSKA Korea dan Fahima Jepang akan melaksanakan kegiatan “Temu Kangen Wanita Indonesia di Luar Negeri“. Tema acara ini adalah “Kiprah Wanita Indonesia dilandasi dengan Semangat Juang Ibu Kartini”. Kegiatan ini berupa seminar Online dengan tiga narasumber. Seminar Online ini dilaksanakan pada:
Hari / tanggal : Selasa, 20 April 2010
Pukul : 14.00 CET ( 19.00 WIB)
Melalui : fasilitas Yahoo!Messenger Confrence dengan Id: kharisma_de
Atau dapat diikuti juga melalui Radio Qommunity dengan alamat
www.qommunityradio.net
Sub tema dan narasumber:
- Wanita, Politik dan Kiprahnya oleh Tienneke Ayuningrum
- Aku Bangga Menjadi Seorang Wanita oleh Agnes Tri Harjaningrum
- Kartini masa lalu, sekarang dan Masa Depan oleh Nurani Nugrahawati Susilo