Realita Oh Realita

“Dokter, ada pasien dengan penurunan kesadaran Dok, bisa tolong dilihat dulu Dok?” Yak itulah suguhan hari pertamaku di satu-satunya rumah sakit di kota kecil ini. Aku bergegas berjalan ke bangsal anak yang tampak tua, kusam, dengan beberapa dinding retak dan berjamur di dalamnya. Mataku segera terpaku pada seorang anak lelaki yang sedang terbaring lemah. Usianya 2 tahun, tapi berat-badannya hanya 5 kg, serupa bayi berusia 2 bulan saja. Badannya sudah seperti kulit berbalut tulang. Matanya terpejam. Sungkup oksigen sudah menutupi hidung dan mulutnya, namun nafasnya tetap berat, cepat dan dalam. Pemeriksaan menunjukkan diagnosis kearah radang otak ditambah syok sepsis, sepsis berat dengan multi organ failure, ditambah gizi buruk marasmik pula. Diagnosis ala kadarnya mengingat pemeriksaan penunjang yang sangat minim di kota ini.

“Intubasi, anak ini harus diintubasi segera,” kataku pada dokter jaga dan perawat disana. Continue reading “Realita Oh Realita”

Antara Ruteng dan Bordeaux

Hai. Rindu aku mengetikkan jari jemariku lagi. Berada di pulau nun jauh ini, sendiri lagi, membangkitkan kenangan lama yang tak bisa kulupa.

Dingin yang seketika menyergap dan suasana rumah yang tidak modern ini membuat ingatanku melayang pada sosok lelaki tua di Bordeaux sana, bapak kosku dulu. Bayangan saat aku menjinjing dua koper besar memasuki rumah itu, lalu disambut dengan komunikasi bahasa tarsan karena aku hanya bisa ngomong ‘Je m’appele Agnes’ dan ‘sava bien, merci’, tiba-tiba berkelebat di kepala ini. Tempat kos paling murah yang bisa aku dapatkan saat itu, rumah jadul ala Prancis yang kuno kusam, tidak ber wifi, persis seperti di tempat ini: dingin, jadul, sepi, sendiri. Kesendirian yang sama, saat aku meninggalkan suami dan anak-anakku dulu, kini kualami lagi. Meski kali ini hanya akan sebentar saja, namun semua membuat campur aduk rasa yang sama.

Antara Ruteng dan Bordeaux, sungguh berbeda memang. Namun, ada geliat rasa yang sama. Ketika pagi bersinar cerah, dinginnya udara yang luar biasa segar di Ruteng, lalu membawa ingatanku saat bersepeda dalam segarnya udara Bordeaux. Saat berjalan ke sebuah toko swalayan di Ruteng, membeli barang-barang keseharian, tiba-tiba saja bermunculan di kepalaku deretan toko-toko mungil di Bordeaux, swalayan besarnya, café-café cantiknya. Aaah sungguh aneh. Mengapa ada rasa yang s¬-ama. Begitu pula ketika aku mencari makan. Di Ruteng ini, kebanyakan hanya ada warung-warung pinggir jalan, saat sedang melahap nasi dengan ikan bakar, dengan semena-menanya, berkelebat pula gambaran aku yang sedang membuka kulkas untuk mengambil selembar ikan salmon ditemani roti prancis di kamar kos milik bapak tua itu.

Apanya yang sama? Pergi sekolah meninggalkan keluarga pertama kali, mungkin? Kali ini aku juga menunaikan tugas sekolah, meninggalkan keluarga pertama kali setelah bersama-sama lagi. Sama-sama pergi ke kota kecil yang dingin? Sama-sama kota dengan banyak gereja? Sama sama bertemu dengan keindahan alam? Sama-sama mendapat pengalaman yang menantang? Entahlah… Yang pasti kutemukan lagi sebuah kehidupan tanpa hiruk pikuk kota besar. Kutemukan lagi keramahan asli penduduk sekitar, dan hei! Aku menemukan rasa itu lagi, rasa rindu yang sama untuk merangkai kata-kata lagi. Aku, ingin menulis lagi.

Ah Ruteng, kau memang bukan Bordeaux. Tapi ada getar sama yang kurasa, yang membuatku tak mungkin melupakanmu juga.

A Girl’s Decision about Hijab

I was amazed and speechless. It is because of our conversation, my daughter and I.

I made an agreement with her that we will keep speaking in English to each other as I know that my brain is not as fresh as her, as I realized that I can learn  good English from her and as I need to keep talking in English with somebody, otherwise my ability to speak the language will vanish. So, we have been talking in English for several months since I moved to Indonesia, mmh…not talking actually, but writing because mostly our communication is via Whatsapp or emails.

Continue reading “A Girl’s Decision about Hijab”

Keajaiban Hati

Kawan, mari kuceritakan tentang sebuah keajaiban. Bukan, bukan keajaiban jadi-jadian atau supranatural, tapi ini tentang keajaiban segumpal daging. Ya, segumpal daging nan suci, yang bernama hati. Kau, tentu saja boleh tak setuju, tapi aku adalah orang yang amat percaya akan kekuatan suara hati. Bukankah ketika sedang dalam kebimbangan yang kita dengarkan adalah hati? Dan aku juga sangat percaya bahwa suara hati yang terdalam asalnya adalah dari Tuhan. Kadang, aku ingin membantah, ah itu hanya bualan. Tapi, bagaimana mungkin aku membantahnya lagi jika berkali-kali aku mengalaminya sendiri.
Continue reading “Keajaiban Hati”