Antara Ruteng dan Bordeaux

Hai. Rindu aku mengetikkan jari jemariku lagi. Berada di pulau nun jauh ini, sendiri lagi, membangkitkan kenangan lama yang tak bisa kulupa.

Dingin yang seketika menyergap dan suasana rumah yang tidak modern ini membuat ingatanku melayang pada sosok lelaki tua di Bordeaux sana, bapak kosku dulu. Bayangan saat aku menjinjing dua koper besar memasuki rumah itu, lalu disambut dengan komunikasi bahasa tarsan karena aku hanya bisa ngomong ‘Je m’appele Agnes’ dan ‘sava bien, merci’, tiba-tiba berkelebat di kepala ini. Tempat kos paling murah yang bisa aku dapatkan saat itu, rumah jadul ala Prancis yang kuno kusam, tidak ber wifi, persis seperti di tempat ini: dingin, jadul, sepi, sendiri. Kesendirian yang sama, saat aku meninggalkan suami dan anak-anakku dulu, kini kualami lagi. Meski kali ini hanya akan sebentar saja, namun semua membuat campur aduk rasa yang sama.

Antara Ruteng dan Bordeaux, sungguh berbeda memang. Namun, ada geliat rasa yang sama. Ketika pagi bersinar cerah, dinginnya udara yang luar biasa segar di Ruteng, lalu membawa ingatanku saat bersepeda dalam segarnya udara Bordeaux. Saat berjalan ke sebuah toko swalayan di Ruteng, membeli barang-barang keseharian, tiba-tiba saja bermunculan di kepalaku deretan toko-toko mungil di Bordeaux, swalayan besarnya, café-café cantiknya. Aaah sungguh aneh. Mengapa ada rasa yang s¬-ama. Begitu pula ketika aku mencari makan. Di Ruteng ini, kebanyakan hanya ada warung-warung pinggir jalan, saat sedang melahap nasi dengan ikan bakar, dengan semena-menanya, berkelebat pula gambaran aku yang sedang membuka kulkas untuk mengambil selembar ikan salmon ditemani roti prancis di kamar kos milik bapak tua itu.

Apanya yang sama? Pergi sekolah meninggalkan keluarga pertama kali, mungkin? Kali ini aku juga menunaikan tugas sekolah, meninggalkan keluarga pertama kali setelah bersama-sama lagi. Sama-sama pergi ke kota kecil yang dingin? Sama-sama kota dengan banyak gereja? Sama sama bertemu dengan keindahan alam? Sama-sama mendapat pengalaman yang menantang? Entahlah… Yang pasti kutemukan lagi sebuah kehidupan tanpa hiruk pikuk kota besar. Kutemukan lagi keramahan asli penduduk sekitar, dan hei! Aku menemukan rasa itu lagi, rasa rindu yang sama untuk merangkai kata-kata lagi. Aku, ingin menulis lagi.

Ah Ruteng, kau memang bukan Bordeaux. Tapi ada getar sama yang kurasa, yang membuatku tak mungkin melupakanmu juga.

Missing December in Diemen

Lima bulan berlalu, sejak Diemen ditinggalkan
Dan, ini Desember Kawan.
Kami duduk di sebuah fast food restaurant sambil bilang:
Dulu, jika sedang weekend, kita sering membeli ini di Amsterdam Arena.
Yaa dan rasanya lebih enak. Ini nggak enak, timpal si Sulung.

Dan …dan aku…aku rindu suasana Desember di kota itu, tambahnya.
Aku rindu kerlap kerlip lampu yang menemani dinginnya malam.
Aku rindu memakai jaket tebal
Aku rindu jalan-jalan di Kavelstraat sambil melihat orang-orang lain yang sama-sama bersepatu boot dan berjaket tebal menikmati dingin dan lampu-lampu itu.
Itu cozy banget! Aku rindu semua itu huhuhu….
Continue reading “Missing December in Diemen”

Bangga = Menemukan Tugas Spesial dari Tuhan

Suatu hari, anak lelaki saya yang ketika itu berusia 7 tahun tiba-tiba bergumam,”Jadi perempuan itu merepotkan! Alhamdulillah aku laki-laki,” katanya serius. Saya tersenyum-senyum mendengarnya sekaligus heran, darimana dia mendapatkan ide bahwa menjadi perempuan itu merepotkan. Rupanya anak seusia itu memang sudah menyadari adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan,  dan ia pun paham bahwa menjadi perempuan berarti harus hamil dan melahirkan. Jadi ketika saya diminta untuk membawakan topik soal ‘Aku bangga menjadi wanita’ dalam acara Kharisma ini, saya langsung teringat gumaman anak saya itu. Saya lalu berpikir, benarkah jadi perempuan itu merepotkan? Kalaupun menjadi perempuan itu tidak merepotkan, nikmat dan membanggakan, apa sesungguhnya yang dibanggakan?

Continue reading “Bangga = Menemukan Tugas Spesial dari Tuhan”

‘Me Time’ Menjelajahi Centrum Amsterdam

Lega rasanya, minggu ini aku selesai mengerjakan ‘peer’ besarku. Jadi rasanya pengen istirahat sejenak, bersenang-senang sejenak, sebelum mengerjakan ‘peer’ selanjutnya. Dan dalam rangka bersenang-senang ala aku, aku ambil ‘Me Timeday. Suami dan anak-anakku dengan senang hati mengijinkan. Hari ini aku seharian jalan dari central stasion Amsterdam ke Dam, China town, redlight area, Kavelstraat, Remblandtplein sampe Magere Burg. Sudah lama aku pengen banget ke Magere Brug ini, jembatan kayu yang paling terkenal di Amsterdam. Aku sangat menikmati perjalananku tadi, ternyata seru juga melakukan ‘me time’ sendirian, jadi observer. Tapi sebetulnya yang paling asyik dan memang sudah aku niatin sebelumnya adalah hunting foto!

Continue reading “‘Me Time’ Menjelajahi Centrum Amsterdam”