Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, part III

Hmm..apalagi yang belum? Oya, tinggal menulis motivation letter. Duh harus ditulis tangan pulak, padahal sejak dulu tulisan tanganku terkenal sebagai tulisan yang paling amburadul diantara teman-teman. Tantangannya kali ini, isi nya harus padat berisi tidak boleh lebih dari 1 halaman, tapi motivasi personal harus tersampaikan. Phf…siap-siap cari kursi dan meja. Setelah aku konsep terlebih dulu isi surat di dalam file komputer, aku pun lantas menyalinnya ke selembar kertas. Srat…sret..srat..sret…selesai. Aku baca ulang isinya, ternyata ya ampuun…ada dua kata salah tulis. Sreet! Terpaksa kuremas kertas pertama, dan kucemplungkan dalam tempat sampah. Tulis lagi…”Waduh pinggir kanannya koq zigzag seperti alur Zebra begini.” Sreet…kertas kedua masuk tempat sampah lagi. Lanjut kertas ketiga, perfect! “Lho…lho tapi setelah dipikir-pikir harusnya bagian ini ga usah ditulis kali ya, ga terlalu nyambung, jadi kepanjangan suratnya.” Sreet….kertas ketiga pun meluncur ke tempat sampah. Lanjut Maang! Adaaa… saja salah-salah kecil yang kubuat sehingga aku harus bolak balik menulis lagi dan lagi mungkin hingga sepuluh kali. Wadaw! Tapi demi sempurnanya surat lamaran beasiswa, ya harus dijabanin lah.
Continue reading “Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, part III”

Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, part II

Aku pun segera bertindak. Kukabari sekretaris KIT, kutanyakan padanya, mungkinkah aku membatalkan diri untuk masuk bulan Maret dan masuk bulan September saja, itu pun kalau pengajuan beasiswaku tidak diterima oleh Erasmus mundus. Untungnya, si sekretaris menjawab,’No problem’. Aku tenang, karena kalau pun aku tak diterima oleh Erasmus mundus, aku masih punya cadangan. Dan itu artinya, suamiku masih punya tambahan waktu untuk mencari uang. Aku lalu memulai petualangan, petualangan menaklukan beasiswa!
Continue reading “Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, part II”

Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, part I

“Aku tidak pintar, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya anak pintar yang bisa sekolah?” Membaca kalimat-kalimat ini dari seorang anak pemulung yang ingin sekolah di sebuah berita waktu itu, mataku basah. Aku pernah merasakan hal yang sama dengannya, ketika aku sedang mencari-cari sekolah, ingin melanjutkan studiku. Tentu saja, nasib anak itu lebih parah, ia hanya ingin melanjutkan studi ke sekolah menengah, sementara aku sudah melewati semua itu, bahkan S1.
Continue reading “Scholarship, Ketika Si Pungguk Akhirnya Memeluk Rembulan, part I”