Dokter Pelit Obat?

“Dokter sini keterlaluan deh. Masak saya sakit kuning nggak dikasih apa-apa. Cuma disuruh istirahat. Ck…ck…ck… keterlaluan” Kata seorang teman pria yang kebetulan bertemu di jalan. Cerita teman wanita saya lain lagi “habis dioperasi hernia tuh mbak, sakitnya yang sakiiit banget gitu, masak cuma disuruh minum paracetamol” ujarnya.

“Kring…kring…” Suatu hari telepon genggam saya berbunyi. Di seberang sana seorang teman menyapa, dan dia pun bercerita “dokter sini aneh ya, masak anakku kena cacar air nggak dikasih apa-apa. Cuma disuruh beli bedak doang di apotik. Terus panasnya juga nggak dikasih obat, aneh deh”

Pengalamanku dengan dokter disini lain lagi. Saat pertama kali datang ke kota ini, anak keduaku sakit panas, tinggi, mencapai 40 derajat. Berhari-hari panasnya tak turun juga. Bolak-balik dibawa ke dokter, jawabnya sama “Tenang aja, ini cuma viral infection. Tak perlu obat penurun panas kalau suhunya belum mencapai 40 derajat C. Cukup banyak minum saja.”

Wah tentu saja aku panik. Di Indonesia tidak begini. Menjadi seorang dokter itu memang harus selalu meng-update ilmu, karena ilmu kedokteran berkembang demikian cepat. Jadi, kalau tidak banyak membaca dan hanya berkutat dengan pasien saja, bisa-bisa menjadi dokter yang bagaikan katak dalam tempurung. Setelah kepentok masalah ini, barulah aku mempelajari teori tentang demam yang terbaru dan banyak diperdebatkan. Demam sebetulnya adalah reaksi tubuh yang mestinya disyukuri karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh melawan penyakit. Jadi, panas badan tak perlu buru-buru diturunkan dengan obat, yang penting kebutuhan cairan yang masuk harus tercukupi.

Oh, aku pun tersadar, rupanya yang dilakukan kebanyakan dokter di Indonesia sebenarnya karena tuntutan pasien juga. Umumnya pasien di Indonesia ingin segera sembuh, ingin segera diberi obat yang cespleng. Kalau tidak, dokter bisa dikata-katai, atau parahnya malah kehilangan pasien. Dilema bukan? Tak heran bila banyak dokter di Indonesia dikatakan tidak rasional dalam memberikan obat. Sebetulnya bukan semata-mata kesalahan dokter, ini permasalahan sistem kesehatan di Indonesia yang memang masih rumit. Kalau disini, asuransi kesehatan dan sistem kesehatan secara keseluruhan berjalan baik. Internet di negara ini juga bukan suatu kemewahan, sehingga masyarakat gampang sekali aktif mencari pengetahuan sendiri sehingga lebih mudah diberi pengertian. Jadi, hubungan dokter dan pasien yang terbina juga hubungan kemitraan, bukan lagi searah seperti yang umumnya terjadi di Indonesia.

Selain itu, dokter-dokter di Belanda memang diharuskan untuk ‘pelit’ memberikan obat pada kasus-kasus penyakit ‘ringan’. Negara ini mempunyai peraturan tersendiri dalam hal kesehatan yang harus ditaati oleh para dokter. Tentu saja semua itu bukannya tanpa alasan. Tapi untuk mencegah terjadinya pemakaian obat yang tidak rasional. Sistem pelayanan kesehatan di negara ini pun sudah sedemikian rapih dan teratur. Tak heran bila data pasien tersimpan rapi dan memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian. Sistem seperti ini membuat pasien tak perlu harus melakukan pemeriksaan ulang bila suatu saat dirujuk dari bagian satu ke bagian yang lain.

Tapi tentu saja, setiap cara tak luput dari kekurangan, sistem berjenjang dalam pelayanan dokter misalnya. Pasien disini harus melalui dokter keluarga dahulu sebelum dirujuk ke dokter spesialis. Alhasil, pasien menjadi kehilangan hak untuk memilih dokter yang disukainya. Selain itu, cara ini kadang membuat kesal karena untuk pergi ke dokter spesialis biasanya memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. “Sakitnya kapan, berobatnya kapan. Udah kadung sembuh!” seru seorang teman yang gusar dengan sistem pengobatan di negeri tulip ini.

Di lain hal, guide line pengobatan yang sudah demikian terstruktur dan harus ditaati oleh dokter menurutku membuat dokter-dokter disini menjadi sedikit kaku. Padahal sebetulnya ‘medicine is an art’. Bila penyebab penyakit adalah virus, obat untuk meredakan gejala pun kadang tak akan diberikan. Pasien biasanya pulang dengan berlenggang kangkung saja tanpa membawa obat apapun. Tak heran bila orang Indonesia yang baru datang ke negara ini selalu mengeluh dalam masalah obat. Sebetulnya obat kadang memberikan efek sugesti yang bisa mempercepat proses penyembuhan. Jadi sesekali memberikan obat untuk menghilangkan gejala dan membangun sugesti bagiku tak jadi soal. Namun bagaimanapun obat memang bagaikan 2 keping mata uang, sebagai racun dan juga obat. Jadi, sebisa mungkin menghindari obat yang tidak perlu, mengapa tidak?