Aku pun segera bertindak. Kukabari sekretaris KIT, kutanyakan padanya, mungkinkah aku membatalkan diri untuk masuk bulan Maret dan masuk bulan September saja, itu pun kalau pengajuan beasiswaku tidak diterima oleh Erasmus mundus. Untungnya, si sekretaris menjawab,’No problem’. Aku tenang, karena kalau pun aku tak diterima oleh Erasmus mundus, aku masih punya cadangan. Dan itu artinya, suamiku masih punya tambahan waktu untuk mencari uang. Aku lalu memulai petualangan, petualangan menaklukan beasiswa!
Petualangan dimulai!
Sejak hari itu, aku persiapkan baik-baik syarat-syarat untuk mendaftar beasiswa. Persyaratannya tentu saja lebih rumit, karena persaingan untuk mendapatkan beasiswa ini cukup ketat. Karena itu satu persatu aku siapkan dengan hati-hati semua persyaratan. Aku hubungi bapakku, adikku dan teman-temanku di Bandung. Aku minta bantuan mereka, ayahku pergi bolak balik ke almamaterku untuk mentranslate ijasah, adikku menghubungi teman-temanku untuk mengurusi soal surat rekomendasi serta surat bukti pernah bekerja. Aku titipkan draft surat-surat penting itu pada teman-temanku yang pulang ke Indonesia dan menitip lagi pada teman lain yang kembali ke Belanda. Sambil menunggu surat-surat itu aku mempersiapkan diri untuk mengikuti tes Toefl juga membuat research thesis proposal dan motivation letter.
Aku mencoba belajar Toefl dari buku-buku yang kubeli, dari youtube dan internet. Mungkin Allah betul-betul hendak mengujiku, sehingga urusan tes Toefl ini juga tak mudah. Setelah merasa belajarku cukup aku segera melakukan tes. Biaya tes cukup mahal untuk ukuran kantongku, dengan ongkos kereta, biayanya sekitar 150 euro alias 1,5 juta. Dengan kondisi keuangan kami yang terbatas, aku berharap aku bisa langsung lolos. Setelah sepuluh tahun meninggalkan bangku kuliah dan tak pernah merasakan ujian lagi, tes pertama ini membuatku grogi setengah mati. “Ayaah, malu-maluin banget, masa pas tes speaking pertama aku sampe ga bisa ngomong saking gemeterannya. Pas tes tulis aku juga deg-degan banget, ya ampuun noraak! Duh pasti nilaiku jelek deh.” curhatku pada suamiku. Dan ternyata, seperti sudah kuduga sebelumnya, aku gagal, hanya kurang satu score untuk mencapai target minimum yang disyaratkan. Ugh kesal! Tapi ya sudahlah, kata suamiku, segitu juga sudah mendingan buat orang yang sudah lima tahun hanya berurusan dengan dunia rumah dan jarang bercakap-cakap dengan orang.
Kuulangi lagi tes kedua. Kucoba mempersiapkan diri dengan lebih baik. Kubuat jadwal English day di rumah dan kuminta suamiku mengoreksi essay-essayku. Di hari H, aku pun sudah mengeprint peta, melihat jadwal kereta ke Arnhem tempat tes berlangsung dan pergi lebih awal. Berangkat dari rumah jam delapan pagi, aku dengan yakinnya segera naik kereta. Sepanjang jalan aku membayangkan soal-soal yang aku yakin dengan mudah akan kujawab karena ini merupakan pengalaman keduaku. Lebih dari satu jam berlalu, kereta berhenti di sebuah stasiun. Aku melihat keluar jendela. Tulisan ‘S’hertogenbosh’ terpampang di papan stasiun. Hah? Koq ‘S’hertogenbosh’?! Ya ampuun! Aku bengong. Kalau sudah sampai di stasiun ini berarti sebentar lagi aku sampai di Eindhoven dong bukan Arnhem. Seharusnya aku ga lewat daerah ini, batinku. Dag dig dug dag dig dug, suara jantungku berkejar-kejaran. Aku harus turun! Aku segera turun dan bertanya kemana jalan menuju Arnhem.”Kamu harus naik kereta dulu ke arah Nijmegen, dari sana baru bisa naik kereta ke Arnhem. Kira-kira butuh waktu 2 jam deh untuk sampe Arnhem,” kata pak Kondektur. What? 2 jam? Aje gilee! Aku bakal baru sampe sana jam 11.30 dong, padahal tes dimulai jam 11.00 teng. Kalau aku telat, dianggap hangus, aku tak bisa ujian padahal aku sudah belajar terus-terusan dan uang 150 euro melayang. Tidaaak!
Aku segera berlari naik kereta berikutnya ke arah Nijmegen. Selama di kereta, tanganku dingin, jantungku berdegup makin kencang. Aku telpon suamiku dengan panik.”Ayaah, aku nyasaaar! Huhuhu kalo ga ngejar, uang 150 euro melayang hiks hiks padahal uang segitu bisa buat makan dua minggu huhuhu.” Makin sakit hati rasanya membayangkan kehilangan uang sejumlah itu. Aku coba hubungi pihak Toefl di Arnhem.”Ga bisa, pokoknya paling telat kamu harus sampe sini jam 11.15 karena ini sistemnya terhubung dengan yang di Amerika, lewat jam itu percuma, kamu ga akan bisa dinilai.” Glek! Aku tambah lemas. Sesampainya di Nijmegen, buru-buru aku ikuti saran suamiku untuk coba naik taksi. “Udah ga usah mikir uang, yang penting sekarang ujian dulu deh,” pesan suamiku. Tapi waktu aku bertanya ke supir taksi berapa ongkos naik taksi dari Nijmegen ke Arnhem biayanya 100 euro, itu pun dia akan ngebut dan tidak janji kalau bisa sampai di Arnhem jam 11.15. Hmh…percuma! Aku berjalan gontai meninggalkan supir taksi. Imposible! Bye..bye…150 euro! Bye..bye soal-soal yang sudah aku pelajari…. Hiks.
Dan, aku pun terpaksa mengulang lagi. Untuk ketiga kalinya, aku harus mengeluarkan uang sejumlah 150 euro lagi. Rasanya Allah memang betul-betul menguji aku, karena seminggu sebelum hari H ujian, aku malah terserang flu parah. Tubuhku ngilu-ngilu dan demam disertai batuk terus menerus. Kalau sudah batuk, aku bisa sampai terkencing-kencing di celana. Alhasil aku tak bisa belajar, padahal aku harus melancarkan kembali apa yang telah kupelajari sebelumnya. Pesan dari guru-guru Toefl di internet selalu sama,”the more you practise the better you get the result.” Duh bagaimana ini, bagaimana mau belajar, wong demam dan batukku begitu mengganggu. Ditambah lagi, dua hari sebelum hari H, aku kena infeksi mata pula. Mataku merah , aku tak bisa memakai softlensku. Aku segera ke dokter meminta obat batuk agar gejalanya bisa berkurang. Tapi obat codein yang kuminum juga tak mengurangi gejala batukku. Hari H tiba, batukku masih mengganggu, untungnya mata merahku hilang sehingga aku bisa memakai softlensku. Meski sambil terus batuk-batuk saat ujian dan kurang persiapan, tapi aku cukup yakin saat mengerjakan soal-soal. “Rasanya, kali ini aku bakal dapat score bagus deh Yah,” kataku pada suamiku yakin.
Dua minggu kemudian, dengan tak sabar kulihat hasil scoreku di internet, saat memandang angka-angka di layar komputerku, aku shock! Nilainya sama persis dengan score tes pertama, kurang satu! Hwaaa tidaaak! Hatiku segera kelabu. Sudah 450 euro uang keluar hanya untuk tes Toefl dan aku tetap gagal hiks hiks. Aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. “Aku memang ga pinter ya Yah. Aku memang ga bisa sekolah kali Yah. Udah ga punya uang, malah menghambur-hamburkan uang, cuma tes Toefl aja ga lulus-lulus.” hiks hiks. Aku menangis sesenggukan. Mentalku betul-betul jatuh, seperti terperosok ke jurang yang paling dalam. Berhari-hari aku hanya termangu dan memandang dunia dengan warna abu-abu.
Lagi-lagi suamiku menguatkan aku. “Ma, coba deh pandang diri Mama dengan lebih positif. Gagal kemaren kan juga ada sebabnya, Mama sakit, kurang persiapan. Inget kan Mama sering bilang ke anak-anak, Thomas Alfa Edison aja mencoba ribuan kali baru berhasil menemukan lampu. Ini baru tiga kali Ma. Itu pun yang kedua batal karena nyasar. Ayo dong, jangan sampe Mama jatuh cuma karena uang. Uang habis berapapun ga masalah. Uang bisa dicari, yang penting Mama semangat dan mau coba lagi, Mama pasti bisa!” Duh suamiku, bagaimana tak meleleh hatiku mendengar kata-kata seperti itu. Uang baginya hanyalah alat, kekurangan baginya bisa menjadi nikmat, kuncinya hanya satu: rubah cara pandang.
Setelah jeda beberapa bulan, aku mencoba untuk ikut tes lagi. Kucoba menonton berita BBC tiap hari, membaca buku berbahasa Inggris, mencoba latihan bicara dengan suamiku lebih sering lagi dan mencoba menulis essay lebih banyak lagi. Saat hari H, aku kembali deg-degan, khawatir aku gagal lagi. Duh Tuhan, kalau aku gagal lagi, entahlah apa aku masih punya nyali untuk mencoba lagi atau tidak, Tolong aku Tuhan, batinku mengadu. Syukurnya, janji Allah terbukti, sesudah kesulitan selalu ada kemudahan. Kali ini aku berhasil, dengan score yang cukup memuaskan. Alhamdulillah! Aku melompat-loompat kesenangan. Anak-anakku pun ikut heboh kegirangan, berempat kami berpeluk-pelukan, betul-betul seperti merayakan kemenangan. Padahal cuma gara-gara lulus tes Toefl doang, hehe.
Thesis Proposal
Selain Toefl, thesis proposal menjadi bagian terberat dalam syarat yang harus aku kirimkan. Bagaimana tidak berat, aku yang sudah putus hubungan dengan dunia kedokteran dan dunia ilmiah selama bertahun-tahun, sekarang harus merumuskan sesuatu yang aku sendiri bingung harus mulai dari mana. Phf..pusing! Untungnya meskipun putus hubungan, aku masih kerap terlibat acara seminar online tentang kesehatan, mencoba menulis artikel kesehatan dan bergabung dalam beberapa milis kesehatan. Akhirnya aku coba kontak dokter-dokter hebat yang kupikir bisa memberi masukan topik penelitian. “Bagaimana kalau soal puyer, bagaimana kalau pengobatan rasional dan bagaimana pula kalau soal imunisasi?” Setelah mencocokan pula dengan program-program yang ditawarkan oleh troped Erasmus, akhirnya aku putuskan untuk mengambil topik soal imunisasi.
Aku teliti lagi syarat-syarat penulisan, soal judul, research metod, simpulan, rencana jadwal, termasuk penulisan daftar pustaka. Waduh harus pake Harvard style, makhluk apa pulak itu. Aku pun memulai research kecil-kecilan. Browsing sana, browsing sini, membaca-baca lagi soal imunisasi. Setelah dapat topik, aku coba diskusikan dengan suamiku, kucoba tulis, diskusi lagi, rombak lagi, lalu suamiku mengoreksi, begitu seterusnya. Suamiku tentu saja bukan orang yang paham dunia kesehatan, meski pada prinsipnya logika berpikir yang dipakai dalam dunia penelitian tak jauh berbeda, tapi untuk hal-hal spesifik seperti ilmu statistik dalam ilmu kedokteran, dia tentu tak paham. Dan sebetulnya sejak kuliah, aku sangat alergi dengan ilmu statistik ini. Masih terbayang dosen mata kuliah Epidemiologi dan statistiku dengan dahinya yang lebar bak Einstein. Dulu, setiap mata kuliah itu datang, semangatku untuk kuliah langsung melayang. Tak heran kalau nilaiku dalam mata kuliah itu pun pas-pasan. Sekarang aku harus berurusan dengan pelajaran ini lagi setelah belasan tahun berlalu, wadaaw, mendengarnya saja aku sudah gemetaran. Tapi demi beasiswa, aku dongkrak semangatku untuk mempelajari lagi soal statistik ini. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kucari informasi tentangnya di internet. Meski begitu, aku tetap kebingungan.
Namun di tengah-tengah kebimbangan itu, tiba-tiba saja, seorang sahabatku di Jerman menelponku dan bilang,”Nes ada temanku yang lagi training di KIT, pengen kenalan sama orang Indonesia yang tinggal di Amsterdam.” Wah, dengan senang hati kuundang dan kusambut sang tamu dan kami pun ngobrol panjang. Ndilalah, lho koq beliau ini orang Depkes, dosen statisk UI yang jago penelitian dan seringkali meneliti soal imunisasi di Indonesia juga. Deg! Aku terhenyak untuk kesekian kalinya. Sebuah kebetulan lagi? Hmm… Apakah ini pesan dari Tuhan?
Beberapa kali beliau datang ke rumahku dan beberapa kali pula kami kontak-kontakan via email. Aku konsultasikan thesis proposalku, aku minta saran dan petunjuk beliau terutama soal statistik yang aku tak paham. Alhamdulillah sekali, beliau memberikan banyak masukan dan meminjamkan buku imunisasi IDAI yang didalamnya ada informasi yang sangat aku butuhkan dalam proposalku. Tanpa buku itu, aku tak punya daftar pustaka yang kuat tentang imunisasi di Indonesia karena bacaanku terbatas hanya dari internet. Jadi penjelasan beliau dan bukunya itu betul-betul seperti menjadi peri penolong yang dikirim khusus oleh Allah untukku. Masukan-masukan beliau pun menjadi point penting yang merubah arah rencana penelitianku.
Akhirnya, ketika thesis proposal itu selesai kubuat, aku hanya bisa memandang takjub dan heran. Ya Allah, aku yang sedang bingung soal thesis proposal, tiba-tiba kedatangan tamu yang betul-betul paham soal penelitian dan beliau pun mendalami topik sama persis dengan apa yang sedang kutulis. Apakah ada yang namanya kebetulan? Bukankah sehelai benang jatuhpun semua atas ijin Engkau? Hii…Bulu kudukku berdiri. Aku merinding menyadari keajaiban yang muncul di depan mataku ini. Sungguh, Allah maha besar!