Memberdayakan Pasien
Idealnya pasien menjadi partner dokter.
Judul Buku : Smart Patient
Pengarang : Agnes Tri Harjaningrum
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House
Pasien sering dalam posisi lemah dan kalah saat berhadapan dengan dokter. Apa pun yang dikatakan dokter, itulah yang harus diikuti. Dokter memang punya ilmunya dalam hal mengobati, sedangkan pasien tahu apa? Padahal, dokter adalah juga manusia. Bukan tidak mungkin dokter pun melakukan kesalahan. Bahkan, banyak kasus dokter terlibat dalam malapraktik.
Buku ini merupakan panduan bagaimana menjadi pasien yang berdaya dan cerdas. Menurut dr Endah Citraresmi, SpA, MARS, dokter spesialis anak di RSAB Harapan Kita Jakarta, yang memberikan pengantar buku ini, pasien yang baik bukanlah pasien yang menuruti dan memasrahkan 100 persen kepada dokter. Pasien baik adalah konsumen yang mengerti jelas permasalahan, bisa membantu dokter dalam mengambil keputusan, dan menjalankan keputusan tersebut dengan baik. Kata kuncinya: pasien adalah partner kerja dokter.
Agnes Tri Harjaningrum menulis buku ini berdasarkan dengan pengalaman pribadinya saat ia merawat anaknya di Belanda dan pandangan ilmunya sebagai seorang dokter. Dia mendorong pasien untuk tidak hanya bergantung pada dokter. Pasien harus berani belajar, bicara, dan berusaha menjalin hubungan yang mesra dengan dokter dan petugas kesehatan.
Buku setebal 200 halaman ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama: Buka Mata. Mengajak pembaca untuk memahami permasalahan yang sering dihadapi pasien dan sistem kesehatan Indonesia. Bagian kedua: Pasien Cerdas. Memaparkan bagaimana pasien mendapatkan informasi pembanding mengenai penyakitnya. Bagian ketiga: Pedoman Menjadi Pasien Cerdas, antara lain, berisi tips untuk mengurangi kesalahan medis dan bagaimana menangani penyakit-penyakit yang sering diderita anak-anak.
Agnes memaparkan, di Indonesia, telah terjadi kesalahan paradigma bahwa ke dokter sama dengan mendapat obat. Padahal, tak selalu begitu. Pemberian obat-obatan semestinya mempertimbangkan untung dan rugi. Kalau memang tidak perlu dan hanya membawa efek samping, buat apa minum obat? Ke dokter utamanya adalah untuk mengetahui mengenai penyakit yang diderita pasien dan bagaimana cara penanganan terbaiknya. Setelah mengetaui diagnosis penyakit, barulah dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya, dokter bisa memberikan obat atau tidak.
Jika penyakit tidak membutuhkan obat, dokter cukup memberikan saran-saran. Jika dokter memberikan obat, pasien perlu bertanya sehingga paham mengenai efek samping obat dan cara mencegahnya. Tak perlu kecewa bila dokter tak memberikan obat. Bisa berdiskusi dengan dokter dan pulang membawa ilmu sesungguhnya merupakan hal yang berharga.
Setiap obat memiliki efek samping yang bisa berbahaya bagi tubuh manusia. Karena itu, harus hati-hati meminumnya. Menurut WHO, lebih dari 50 persen obat yang beredar di dunia (baik melalui peresepan maupun yang dijual bebas) telah digunakan tidak dengan semestinya.
Antibiotik misalnya. Dokter sering royal memberikan obat yang mengandung antibiotik untuk anak yang hanya batuk pilek sekalipun. Padahal, 95 persen serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Justru antibiotik dapat membunuh kuman baik dalam tubuh yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Antibiotik juga mengurangi imunitas anak sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya, anak jatuh sakit setiap 2-3 minggu dan perlu berobat lagi. Lingkaran setan ini: sakit, antibiotik, imunitas menurun, sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas—batukpilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.
Pasien yang cerdas menurut Agnes adalah adalah pasien yang proaktif, mengetahui hak dan kewajibannya, berani bicara dan bertanya, berkomunikasi efektif, dan mau belajar. Pasien cerdas juga memahami bahwa dokter bukanlah dewa yang tahu segalanya dan harus memberikan obat. Mau membangun kemitraan aktif dengan dokter dan berperan aktif dalam urusan kesehatannya. Pasien juga harus teliti sebelum membeli dan meminum obat-obatan, memilih dokter, dan mencari second opinion.
Bagaimana kemampuan itu bisa didapat? Agnes menyarankan agar para pasien memanfaatkan internet. Dengan kemajuan teknologi saat ini, pasien bisa mencari informasi kesehatan dengan mengunjungi situs-situs kesehatan di internet. Dia menyebut situs kesehatan tepercaya, antara lain, www.cdc.gov/ncidod/diseases, www.cochrane.org, www.familydoctor.org, dan sebagainya, sedangkan untuk situs Indonesia: www.idai.or.id, dan www.sehatgroup. web.id.
Di bagian terakhir buku ini pembaca dapat menikmati sejumlah tips berkaitan dengan penanganan kesehatan, misalnya, agar tidak panik saat anak sakit, menangani demam anak, menangani kejang, diare, dan sebagainya. Soal diare dijelaskan bahwa itu sebetulnya adalah penyakit umum yang bisa sembuh dengan sendirinya karena sebagian besar diare pada anak disebabkan oleh virus. Tapi, diare menjadi berbahaya bila penderita mengalami dehidrasi. Jadi, kalau dokter hanya meresepkan oralit jangan protes. Meski sederhana, oralit merupakan obat sakti bagi anak yang sedang mengalami diare.
Buku ini menarik karena ditulis oleh seorang dokter yang ‘berpihak’ pada pasien. Tentunya bukan tanpa risiko Agnes menulis pengalamannya ini. Bukan tidak mungkin dia dimusuhi koleganya karena banyak membuka ‘rahasia’ dokter. Suatu hal yang dia sadari, seperti diungkapkan dalam pengantarnya.
Oleh Subroto