Badai itu datang lagi. Entah mengapa, datangnya selalu menjelang musim semi, menjelang umurku bertambah satu lagi. Dan sang badai tentu saja, selalu memporak porandakan hati. Harus seperti itu supaya bisa naik kelas lebih tinggi, kata pak Kyai. Badai, angin putting beliungnya menderu-deru di hati. Gelungan ombaknya menggoyah-goyahkan ketetapan hati. Tampang dilipat-lipat, mulut terkunci lekat. Tak hendak beranjak, maunya hanya bergelung selimut menutup tubuh rapat-rapat. Kalau bisa rasanya esok hari dunia ini tak perlu ada lagi.
Apa jadinya aku, tanpa kamu, yang selalu mengajari aku untuk melihat masalah dengan jernih, untuk selalu memangkas kerumitan itu agar terurai seperti benang satu-satu. Kalau aku mengabsen segala hal negative yang muncul, kamu hanya mendengarkan.”Oke cukup memandang yang negativenya ya. Sekarang liat positifnya, buang yang ga penting-penting. Sebetulnya masalahnya apa sih, Cuma A dan B ini kan. Ya sudah, kita focus disitu. Cari inti permasalahan apa, focus disitu, yang lain ga usah diambil pusing, oke?”
Kalau aku bilang,”Aaarrgh aku lelaaah, aku mau kaya si Anu, yang happy happy selalu ga perlu pusing kena ujian ini dan itu. Kayanya hidupnya dia enak banget, hanya mengurusi hal-hal simple, ga perlu harus naik gunung kelelahan sambil berderai derai air mata huhuhu”.
Lalu, ia pun akan menjawab,”Are you sure Honey. Itu kehidupan yang boring kan, kehidupan yang tidak kita inginkan.”
Dan aku pun masih melipat-lipat wajah, “Aku lemah, aku sensitive, aku cengeng, aku ga tahan kalau harus terus terusan dapat tonjokan tonjokan di hatiku. Aku ingin menjadi seperti mereka saja, status quo, mungkin lebih indah. Atau tonjok saja orang lain yang lebih kuat itu, jangan aku, kenapa aku? Aku sungguh lemah! Aku ga tahan kena tonjokan berulang-ulang. Kau tahu kan rasanya, sakit! Sungguh sakit!” bantahku. Lalu, ditatapnya aku, lekat-lekat, digenggamnya jemariku erat-erat, membuat hatiku menghangat.” I was made for you…to help you Honey…Tonjokan tonjokan itu lah makanan jiwa yang akan semakin menguatkan kita. Karena dirimu yang seperti itulah maka kita bertemu, karena kelemahanmu itulah maka aku ada untukmu.”
Lidahku mendadak kelu. Bibirku bisu. Mataku menghangat dan butiran air itu menetes satu-satu. Tuhan, betapa bersyukurnya aku, diberi lelaki seperti kamu.
*Percakapan dua insan, ketika badai datang*