Duapuluh tiga tahun, Kawan

Duapuluh tiga tahun Kawan, bukan waktu yang sebentar. Dua puluh tiga tahun aku dibesarkan dalam suasana yang hampir selalu negative. Hampir setiap hari, dalam rumahku selalu terdengar kata-kata menyalahkan, meremehkan, mengungkit-ungkit masa lalu, menyindir, mengancam, mencap, dan lain sebagainya.”Heh matanya ditaro dimana sih. Tuh kan papa bilang juga apa, makanya dengerin kalo orangtua ngomong. Udah, tinggalin aja deh, dari tadi udah disuruh cepet, salah sendiri ga didengerin, tinggal aja tinggal! Alah paling kamu ga bisa, emang kamu bisa? Kamu tuh dari dulu ya wes kaya gitu itu, ndablek!”

Bukan maksudku untuk menyalahkan kedua orangtuaku, sama sekali bukan. Hormatku dan cintaku pada mereka tak kan pernah putus. Aku hanya harus bisa paham dan mengerti, bahwa kami memang hidup berbeda jaman. Mereka lahir di seputaran jaman perang, jaman PKI, kehidupan keras, dimana pendidikan tinggi masih menjadi barang mahal. Boro-boro mikir pengasuhan, bagaimana cara berkomunikasi, membaca buku itu dan ini, masih bisa kasih makan anak 3 kali sehari saja sudah untung. Masih bisa menyekolahkan anak sampe SD saja sudah untung. Jadi meskipun dampaknya sungguh tak enak, namun aku sangat-sangat mafhum. Dan aku sangat bersyukur karena meski begitu, ayahku sangat peduli pada pendidikan. Apapun demi pendidikan akan ia korbankan, karena itu aku bisa menjadi seperti sekarang. Jadi, sungguh terlalu kalau aku menyalahkan mereka bukan?

Namun harus diakui, dengan suasana yang kerap negative itu dalam rumah kami, aku tumbuh menjadi gadis yang pendiam (begitu juga rasanya dengan kakak-kakak dan adikku). Aku menjadi sosok yang tak percaya diri, dan selalu lebih memilih diam. Kalau ada masalah maunya menyalahkan, selalu ingin menjadi paling benar, mengungkit-ungkit masa lalu dan mencari kambing hitam. Kalau ada yang mengkritik dan mengingatkan, aku langsung jatuh ke jurang paling dalam, menyalahkan diri sendiri, dan membuat daftar negative dalam diri yang ujung-ujungnya membuatku depresi. Pelukan, sentuhan, kehangatan, kata-kata sayang hampir tak pernah kudengar. Aku tahu mereka mencintai aku dengan cara yang lain, tapi tidak dengan ucapan dan sentuhan.

Karena semua itulah akhirnya aku berjanji dalam diri, agar ketika aku menikah nanti dan memiliki buah hati, aku tak ingin semua itu terjadi. Sejak janin pertama tertanam dalam rahimku, aku sungguh rajin membuka-buka majalah, buku parenting, bahkan jadwal weekendku selalu penuh dengan seminar-seminar parenting. Keingintahuanku untuk tahu bagaimana menjadi ibu dan bagaimana mengasuh putra putriku dengan baik sungguh menggebu. Untungnya, Allah maha baik, diberiNya aku pasangan yang mengerti aku sepenuhnya. Suamiku tak mengerti teori-teori parenting itu, hanya aku yang kerap mentransfer ilmu yang kudapat padanya. Namun pada prakteknya, dialah sang juara. Berbeda denganku, suamiku dibesarkan dalam suasana yang positif dan suportif, ya mungkin tak sepenuhnya positif tapi at least rumahnya tak dipenuhi suara-suara negatif. Akibatnya kami menjadi seperti kutub positif dan negative. Aku hanya pandai berteori, tapi nyatanya dia yang dengan sabar selalu berusaha mengubah kalimat negative menjadi positif, dan selalu mengingatkan aku untuk mengerem kata-kata dan tindakan burukku. Baginya menyederhanakan hal-hal rumit menjadi simple, berpikir jalan keluar terbaik bukan mengungkit masa lalu dan menyalahkan, serta berpikir positif itu seperti sudah mendarah daging, karena itu pula yang ia rasakan sejak kecil.

Jatuh bangun aku mencoba untuk menghilangkan jejak-jejak pengasuhan beraura negative itu, tapi sulitnya luar biasa. Kata-kata negative, kebiasaan menyalahkan, mengancam, dan kebiasan buruk lainnya itu seperti sudah menjadi sejoliku yang sulit dipisahkan. Suamiku sungguh seperti peri penolong yang dihadirkan Tuhan untuk secara langsung menggembleng aku. Ketika aku jatuh karena sebuah kesalahan dan hanya mengutuk diri sendiri dan membuat daftar keburukan, ialah yang dengan sabar mengangkatku dan menumbuhkan kepercayaan diriku, ketika aku sangat lelah dan otomatis mengeluarkan kata-kata negative dan menyalahkan kedua anakku, ia pula lah yang segera mengingatkan. Aku sungguh bersyukur dan terharu, karena Tuhan mengabulkan doa-doaku, diberinya aku sosok seperti itu.

Namun, perjalanan pengasuhan memang tak pernah mudah. Putri pertamaku sungguh special, dengan kelebihan cognitive yang dimilikinya, di masa kecilnya ia menjadi anak yang super sensitive, perfeksionis, berpikir jauh ke depan dan kebanyakan adalah hal-hal negative. Kalau ada kejadian salah sedikit saja, dia langsung mutung menyalahkan diri sendiri berlebihan. Kalau dikritik sedikit saja, dia langsung menyalahkan orang lain dan ngomel berjam-jam. Ya ampuun rasanya percuma aku berusaha untuk berubah, ternyata hasilnya anakku tetap saja seperti itu. Aku sempat kesal dan mengutuk diri sendiri,”Aku sudah berusaha berubah, kita sudah berusaha untuk selalu berpikir dan berkata-kata positif, tapi kenapa anak kita bawaannya negative melulu hiks hiks, Percuma Yah..percuma..” Isakku suatu hari.

Dibangkitkanya lagi aku, disemangatinya lagi aku untuk terus berjalan pantang berputus asa. Dan ternyata benar, menjelang usia puber, putriku berubah seratus delapan puluh derajat. Ia menjadi anak yang lebih kalem, tidak sensitive seperti dulu lagi (meskipun berubah menjadi sensitive ala ABG), bisa menerima keadaan yang tidak enak dan ajaibnya, kebiasaan kami untuk selalu mengajaknya berpikir positif, tidak menyerah, tidak mengeluh, berpikir solusi oriented, dan bersyukur benar-benar diterapkannya.

Pernah beberapa waktu lalu, sekolahnya mengadakan study tour ke York UK. Acara ini sudah ditunggu-tunggu sejak lama dan putriku sangat antusias dengannya. Ayahnya sudah sejak sebulan sebelumnya membuatkan visa. Hanya ia seorang yang harus membuat visa karena ia orang Indonesia. Sayangnya, sampai hari H datang, si visa tak kungjung keluar. Ketika pulang sekolah belum didapatinya si Visa, sementara teman-temannya satu sekolah sudah siap-siap berangkat, ia sungguh kecewa dan menangis sejadi-jadinya. Aku hibur dia, aku katakan padanya bahwa kekecewaannya adalah wajar dan tak a pa menangis karena itu pun wajar. Namun dalam waktu yang tak lama, dia sudah menghapus air matanya dan tiba-tiba berkata,”Bunda, gak pa pa aku ga jadi ikut, aku kan udah sering pergi jalan-jalan. Aku juga udah pernah naik boat waktu ke Norway. Masih banyak anak-anak di Afrika yang ga beruntung kaya aku Bun, mereka ga pernah jalan-jalan, mereka malah hidupnya susah. Aku masih jauh lebih beruntung dari mereka. Beneran Bun, aku ga papa ko ga ikut.”

Aku segera memeluknya dengan mata basah karena haru. Bahkan saat itu dia ingin kembali ke sekolah melambaikan tangan pada teman-temannya yang pergi naik bus ke Rotterdam. Akhirnya aku ijinkan karena ia berjanji ga akan sedih lagi. Meski akhirnya di sekolah ia menangis terharu karena katanya teman-temannya membuat tulisan besar dari bus saat pergi bertuliskan,”Kami akan inget kamu Lala, lain kali kita akan pergi sama-sama,” kira-kira seperti itu. Sesampainya di rumah setelah mendengar ceritanya, aku katakan padanya,”Bunda bangga sekali sama mba Lala, mba Lala berani datang melambaikan tangan ke taman-teman, padahal mba Lala sedang kecewa karena ga bisa ikut, mba Lala punya jiwa besar. I am really proud of you Honey.”

Aku benar-benar tak menyangka, untuk kejadian besar yang sudah lama dinanti-nantinya, reaksinya sungguh kalem dan termasuk dewasa diusianya yang baru menginjak 12 tahun, padahal kalau ingat kecilnya, wuah sering nangis bombay aku dibuatnya.

Begitu juga dengan adiknya, menginjak usia 10 tahun, Malik yang juga dulunya sedikit-sedikit negatiiif melulu, sekarang menunjukkan perubahan. Bahkan ia sering jadi penasehat emaknya. Kalau aku sedang sedih dan menangis, ia lah yang selalu datang dan memberikan empati dan alternative solusi.”Bunda ga boleh menyerah, pasti ada jalan keluar Bun. Bunda harus bersyukur, berpikir positif, inget anak-anak di Afrika, bunda lebih beruntung dari mereka. Gimana kalo gini, atau gini aja solusinya Bun.”

Hmm sungguh, melihat mereka tumbuh besar dan mulai menampakkan buah yang kami tanam merupakan kebahagiaan yang tak terkira. Perjalananku sebagai ibu memang masih panjang, dan keberhasilan mengasuh anak itu belum terlalu kelihatan.Kalau lagi bad mood yang datang juga negatif-negatifnya. Tapi buat orang dewasa saja sulit, jadi sebegitupun aku sudah merasa sangat senang.

Duapuluh tiga tahun Kawan, bukan waktu yang sebentar, untuk membuktikan bahwa pengasuhan beraura negative itu sungguh buruk dampaknya. Aku, adalah saksi, manusia yang pernah merasakan hidup dalam aura suasana negative pengasuhan dan kini mencoba menyebarkan aura sebaliknya dalam keluarga kecilku. Akibat yang ditimbulkan dari pengasuhan beraura negative itu luar biasa, belasan tahun pun hingga sekarang belum bisa aku terlepas sempurna dari dampak buruknya. Sementara, aku melihat sendiri, pengaruh baik dari sosok suamiku yang dibesarkan dalam aura positif dan anak-anakku yang tumbuh bahagia, selalu berusaha berpikir positif (meski belum sepenuhnya, terutama masih sulit jika dalam kondisi bad mood), menjadi dirinya sendiri, dan percaya diri dalam kehangatan suasana positif.

Waktu berputar, jaman berubah, sudah saatnya kita meninggalkan sifat-sifat buruk produk masa lalu. Demi Indonesia yang lebih baik, demi anak-anak masa depan yang lebih baik, yuk mari, kita sebarkan aura positif, berkomunikasi positif dan selalu berpikir positif dalam rumah dan juga di sekitar kita. Percayalah, aura negative itu menular, sungguh tak enak, panas seperti di neraka, sementara aura positif itu membawa hawa segar dan nyaman, seperti angin surga.