Kawan, mari kuceritakan tentang sebuah keajaiban. Bukan, bukan keajaiban jadi-jadian atau supranatural, tapi ini tentang keajaiban segumpal daging. Ya, segumpal daging nan suci, yang bernama hati. Kau, tentu saja boleh tak setuju, tapi aku adalah orang yang amat percaya akan kekuatan suara hati. Bukankah ketika sedang dalam kebimbangan yang kita dengarkan adalah hati? Dan aku juga sangat percaya bahwa suara hati yang terdalam asalnya adalah dari Tuhan. Kadang, aku ingin membantah, ah itu hanya bualan. Tapi, bagaimana mungkin aku membantahnya lagi jika berkali-kali aku mengalaminya sendiri.
Baru-baru ini aku mengalaminya lagi. Sudah sejak lama hatiku tertarik pada sebuah bidang yang kumau, sebut saja namanya si Cinta. Setiap ada orang bertanya tentang masalah yang berhubungan dengan si Cinta, semangatku berlipat-lipat meningkatnya. Berjam-jam bisa aku bertahan membaca, mencari-cari informasi seputarnya dan lalu menuliskannya. Kadang ketika pertanyaan yang datang begitu sulit, kepalaku pun senut-senut dibuatnya. Tapi tetap saja, tak hendak kuberhenti mencari jawabnya. Pokoknya, aku jatuh hati pada si Cinta.
Bertahun-tahun kupendam, impian untuk bisa sekolah dalam bidang si Cinta, namun kesempatan itu tak pernah terbuka, hingga usiaku bertambah tua. Aku menunda memasuki si Cinta itu bukan karena alasan suka-suka. Kalau aku mau, saat anak-anakku masih bayi merah itu, bisa saja aku sekolah. Tapi aku tak punya hati untuk meninggalkan mereka. Apalagi suamiku juga harus melanjutkan sekolah di lain benua. Tak rela rasanya melihat dua anak mungil yang masih sangat membutuhkan ibunya itu harus kuserahkan pada orang lain. Dan tak rela pula aku berpisah dari suamiku yang harus jauh bersekolah. Aku tahu bagaimana dunia si Cinta. Bila aku memasukinya saat anak-anakku masih balita, aku akan kehilangan detil masa-masa kecil mereka yang tak mungkin terulang tentu saja. Aku tak bisa. Melihat bayiku diperlakukan berbeda tak seperti standard yang kumau saja hatiku teriris-iris dibuatnya. Aku punya impian tentang mereka. Aku ingin membesarkan dan mengasuh mereka dengan cara terbaik yang aku bisa, dan hanya aku, ibu dan ayahnya lah yang bisa. Karena itu akhirnya, aku lebih memilih mereka, amanahku, tanggung jawabku. Biarkan saja impian tinggal impian, toh dunia tak akan kiamat kalau impianku tak terlaksana. Sejak itu kunyatakan bahwa aku telah ‘’putus’ hubungan dengan si Cinta.
Waktu berjalan, tahun berlalu, buah hatiku tumbuh besar. Meski tugasku sebagai ibu belum selesai, tapi mereka sudah menjadi sosok-sosok mandiri yang bisa kutinggal. Keinginan untuk sekolah kembali hadir. Dan si Cinta, dengan semena-menanya tiba-tiba saja kembali muncul menggelayuti pikiran. Aku galau, tidur tak nyenyak, makan tak enak. Apa sebaiknya si Cinta kukejar lagi?’’ Kalimat itu terus merongrong pikiran dan hatiku berhari-hari. Hingga akhirnya, CLBK itu terjadi, cintaku pada si Cinta benar-benar bersemi kembali. Tapi sialnya, si Cinta sepertinya memang tak suka dengan manusia berusia tua, entahlah, aku juga tak mengerti kenapa. Padahal tentu saja banyak wanita yang lebih memilih untuk membesarkan anak dulu atau menunggu suami sekolah dulu sebelum akhirnya giliran mereka tiba. Berminggu-minggu aku mencoba gugling sana-sini mencoba untuk mencari sekolah yang berhubungan dengan si Cinta, uuh tapi kalau di luar negeri susahnya setengah mati. Bagaimana kalau pulang saja ke negeri sendiri? Sayangnya ya itu, aku terbentur usia. Aku harus pulang saat itu juga atau ‘bye-bye’ Cinta selamanya. Aku sempat tergoda, sangat ingin pulang, supaya kesempatan itu tak terbuang, toh kebetulan sekolah suamiku juga sudah usai. Sayangnya lagi, saat itu tiba-tiba suamiku membawa berita mengejutkan, yang membuat kami sama sekali tak bisa pulang.
Aaarggh, dasar kau Cinta, tega-teganya kau permainkan aku! Sudahlah, sekolah apapun aku mau, yang penting aku bisa sekolah. Anak-anak sudah mulai besar, aku sudah jenuh menanti saja mereka pulang dari sekolah. Dengar ya Cinta, äku sudah tak mau ngoyo mengejar-ngejar kamu lagi! “Lo tuh belagu banget, memangnya di dunia ini Cuma ada elo, Huh! Dan lalu, aku pun berteriak sekencang-kencangnya membuat keputusan terakhir,”It’s enough Cintaaaa,it’s really enough! Jangan kau permainkan aku lagi! WE REALLY BREAK UP!”
Dan sang waktu kembali berjalan, hingga akhirnya aku berjuang untuk bisa sekolah master. Yang penting bisa sekolah, apapun itu. Walaupun jurusannya cukup jauh dari si Cinta, tapi kembali ke sekolah benar-benar membuatku bahagia, aku sangat menikmatinya. Meskipun sejujurnya saat harus memilih topik penelitian, dengan berat hati, si Cinta terpaksa kuhadirkan lagi, ugh malu hati! Penelitian dan thesisku akan menjadi bagian hari-hariku dalam akhir semester. Dalam bulan-bulan itu, setiap hari yang kukerjakan hanyalah penelitian dan thesisku. Bagaimana mungkin aku bisa memberikan yang terbaik kalau topiknya tak kusuka. Jadilah terpaksa tak bisa kupalingkan wajahku dari si Cinta.
Herannya setelah sekolah master usai, keinginan untuk mengejar si Cinta tiba-tiba malah menyeruak dan berkobar. Saking menyeruaknya, aku tak malu-malu pedekate lagi dengan si Cinta, tebal muka aja. Coba aku cari informasi lagi, siapa tahu kondisi sudah berubah. Hingga akhirnya, aku menemukan berita: ada sekolah Si Cinta yang tak terlalu mensyaratkan usia! Cuma ada dua lho di Indonesia, Wow, asyik!
Dengan semangat 45, semua kupersiapkan, mulai dari surat-surat yang urusannnya sangat panjang, pinjam buku sana sini, belajar itu ini, hingga biaya tiket Amsterdam-Indonesia pun kubeli. Tujuannya hanya demi, mengejar si Cinta lagi! Sayangnya si Cinta memang seperti permen gulali, begitu banyak diminati. Karena saingan yang begitu tinggi dan mungkin belajar yang kurang terpatri, aku sangat grogi. Dan hasilnya, sebelum pengumuman pun aku sudah tahu bahwa si Cinta langsung menolakku pergi. Dan aku, patah hati! Aaaaaw, nyeriiii!
Hatiku sempat tersayat-sayat, karena si Cinta yang aku gemari setengah mati itu sepertinya memang tak berjodoh denganku. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Meskipun sempat bermuram durja berhari-hari tapi kemudian aku mencoba bangkit lagi. Dunia tak perlu kiamat cuma gara-gara kamu Cinta! Hidupku harus terus berjalan, bukan hanya denganmu aku bisa mengabdi di dunia ini, dengan yang lain tentu saja aku juga bisa.
Lalu, aku mencari dan terus mencari lagi, bidang-bidang lain yang bisa memenuhi rongga hatiku seperti si Cinta yang membakar semangatku. Bagaimana kalau ganti si A? Si B? Si C? dan seterusnya hingga akhirnya aku pun memilih, baiklah kutambatkan hatiku pada si G saja. Meski nyatanya bayangan si Cinta kadang masih berkelebat tak mau pergi.
Tapi aku tetap mulai serius ‘pedekate’dengan si G. Kudatangi kawan-kawanku bertanya tentang suasana sekolah si G, apa asyiknya, apa menariknya, dan lain sebagainya. Hmm oke, bolehlah. Aku bahkan sudah mendaftar sekolah master lain lagi yang merupakan prasyarat untuk memasuki si G. Biayanya sangat mahal, tapi karena aku sudah punya permanen residen di Belanda, aku boleh membayar murah seperti layaknya orang Belanda, wow keren! Sepertinya si G memang jodohku, baiklah, akan aku seriusi lebih lanjut.
Namun suara hatiku yang terdalam tak bisa berbohong. Sepenuh hati aku mencoba pedekate dengan si G tapi kenapa ya, ketika memandangi si G, hatiku tak berbunga-bunga seperti pada si Cinta. Mungkin baru pertama, baiklah, coba aku dalami lagi. Hmm…iya aku suka koq sama si G, don’t worry, nanti kan kalau sudah makin diselami bisa tambah suka,” kataku menghibur diri. Tapi nyatanya, ketika persiapan pendaftaran untuk memasuki si G semakin dekat, hatiku malah galau setengah mati.
Kala itu musim semi, bunga-bunga masih bermekaran, cantik sekali. Namun sayang hatiku tak secantik bunga nan wangi, karena awan hitam sungguh menyelimuti. Surat-surat persiapan pendaftaran untuk memasuki si G itu tak juga kubuat padahal deadline sudah dekat. Berhari-hari,dari lubuk hati terdalamku seperti ada suara-suara yang memanggil,Ülanglah..ulang lagi lah ujiannya, kan masih bisa mencoba sekali lagi, kesempatan terakhir. Nanti kalau betul-betul mentok baru pindah ke si G. Ingat, ini masa depanmu, impianmu sejak dulu. Jangan sampai kamu menyesal Cuma gara-gara ga mau mencoba kesempatan terakhir.”
Ya ya, aku tahu kesempatan terakhir itu memang ada. Pilihan yang gampang bukan, ngulang aja beres, ngapain pake galau. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Mengulang punya resiko yang sangat besar. Sudah lama kutinggalkan pekerjaanku, aku sudah banyak lupa. Wajar kalau ujian pertama aku langsung gagal. Artinya aku harus magang untuk kembali merefresh ingatanku. Aku harus kembali lagi ke Indonesia meninggalkan suami dan anak-anakku, aku harus mengejar pelatihan dan seminar tentang si Cinta yang tak pernah kuikuti sebelumnya, belum lagi biayanya yang tentu akan sangat mahal. Ah, pokoknya pilihan mengulang itu sebetulnya sama artinya dengan bunuh diri, menjemput penderitaan!
Selain itu, aku juga tahu sebenarnya si Cinta itu seperti apa. Aku sendiri heran kenapa si Cinta begitu digemari, padahal sekolahnya lama dan susah setengah mati. Aku sudah banyak dengar bagaimana kehidupan didalamnya, saking beratnya, kadang aku maju mundur jadinya. Dan kalau aku mengulang lalu diterima oleh si Cinta, aku tahu betul bagaimana konsekwensinya. Selama 4 atau 5 tahun ke depan, aku akan seperti bercerai dengan dunia dan memasuki dunia di planet Mars sana. Aku akan meninggalkan zona nyaman yang sudah delapan tahun kujalani, aku harus berpisah dulu sementara dengan keluargaku, aku harus berpisah dulu sementara dengan dunia traveling yang aku suka, aku harus say goodbye juga dengan karir tulis menulis, serta naskah-naskah yang menanti untuk diselesaikan, dan aku harus siap untuk punya kekuatan ekstra lahir batin. Sungguh, pilihan ini begitu sulit. Memilih belok kanan aku memang tetap bisa sekolah jurusan lain sambil menikmati zona nyaman, tapi hatiku tidak berada di sana. Sementara jika aku ambil kiri, meski aku bisa bertemu dengan si Cinta idaman, tapi perjalanannya akan penuh onak dan duri.
Duh Tuhan, toloooong! Aku harus melakukan apa? Kalau aku pilih mengulang dan lalu ternyata si CInta menolakku lagi juga bagaimana? Aku akan buang-buang tenaga, uang dan waktu tentu saja. Apalagi selama menjalani proses sebelum ujian ulangan itu, aku juga harus berpisah dengan keluargaku selama berbulan-bulan. Aaaarrggh, peniiiiing! Kepalaku senut-senut dan hatiku mendadak seperti ditimpa batu. What should I do? What should I do? Heeeeelp!
Dan Kawan, untungnya aku selalu ingat bahwa Tuhan selalu beserta orang-orang yang remuk hatinya. Disaat remuk redam itulah Tuhan begitu dekat dengan kita. Disaat itu pulalah keajaiban hati semakin menampakkan diri. Kala awan hitam menyelimuti, tak ada yang bisa menyibaknya selain Sang Empunya awan. Jadi saat itu, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa sepenuh hati, memohon ditunjukkan jalan. Lalu dalam sholat-sholat istikharahku, aku pun berdoa: “Tuhan, aku tidak ingin berjalan di jalan yang nikmat tapi Engkau tak rela. Tapi aku juga tak ingin berjalan di jalan penderitaan kalau sebetulnya itu hanya nafsuku semata. Karena itu, tolong aku Tuhan. Beritahu aku, beri aku cahaya, kemana aku harus melangkah. Kuputuskan semua cintaku pada si CInta, kuputuskan juga semua kenikmatanku pada zona nyaman. Aku berserah diri, aku ikhlas, aku pasrah, aku memaksa hatiku untuk ‘’zero’’ Tuhan. Aku sungguh dalam ketidaktahuan, aku hanya bisa bersimpuh, benar-benar memohon agar ditunjukkan kemana kaki harus melangkah, kemana aku harus mengabdi. Tolong Tuhan, tunjukkan tugas diri yang harus aku jalani selama sisa hidupku nanti.”
Dan aku menangis tergugu ketika di hari-hari setelah itu, jawaban kegundahan itu begitu jelas nyata didepanku. Sungguh, Tuhan begitu dekat. Dia mendengar, Dia mengobati luka hati orang-orang yang remuk redam. Perlahan-lahan awan hitam itu nyata tersingkap. Tiba-tiba saja kemudian hatiku betul-betul menjadi tak suka pada si G. Tiba-tiba saja kemudian keyakinan untuk mengulang itu tumbuh dan tumbuh semakin dalam. Kadang kegalauan itu masih muncul lagi, tapi sekejap sirna setelah berturut-turut aku diberi mimpi bahwa aku harus mengulang ujian. Akhirnya, ketika suamiku hendak membelikan tiket pulang dan bertanya lagi, betul ini keputusannya? Dengan sepenuh hati aku pun menjawab,Yup! Cintaaa wait for me, aku akan datang lagi!
Di penghujung bulan Juni, aku sudah kembali berada di Indonesia lagi. Selama tiga bulan magang, selama itu pula setiap weekend aku penuhi hari-hariku dengan pelatihan dan seminar. Kadang sore hari selepas magang aku kembali bekerja seperti dulu, memeriksa pasien satu-satu. Aku senang, meskipun seringkali hatiku mengharu biru disengat rindu karena harus lagi-lagi berpisah dengan belahan hatiku.
Pernah suatu ketika, aku begitu lelah, kepalaku mendadak pening, rupanya Hb ku drop lagi. Akibatnya aku harus dapat transfusi. Aku memang kurang darah, anemia akibat ada sesuatu dalam tubuhku yang harus diambil. Selama sesuatu itu belum pergi, aku akan tetap anemia. Dan sebetulnya, aku tahu kondisi itu sejak sebelum keberangkatan. Namun mengingat waktu dan batas usia sekolah, aku tak bisa menunda lagi. Aku memohon pada dokter di Belanda untuk mengoperasiku setelah ujian ulanganku usai. Untungnya si dokter membolehkan dengan catatan aku dibekali obat beberapa macam. Saat-saat kelelahan itu kadang menjadi proses terberatku. Beberapa kawanku banyak mengata-ngatai aku. “Ya ampuun, mau-maunya deh kamu. Apa yang kamu cari sih? Kamu ga inget umur apa? Kamu ambissi banget sih, sampe ninggalin anak dan suami, lagian kan belum tentu keterima juga ujian ulangannya.” Aku hanya bisa tersenyum dan bilang bahwa suamiku lah yang justru sangat dukung aku dan minta aku sekolah lagi.
Nyatanya memang begitu. Kalau suamiku tak mendukung, mana mau dia ditinggal istrinya, gantian mengasuh dua anak dan mengurus rumah sendirian. Namun tetap saja dalam kondisi aku yang menunda operasi hanya demi bisa ujian ulangan, dia ketar-ketir. Sampai-sampai dia mewanti-wanti aku,”Ma, kalau udah ga kuat, ga usah dipikir lagi ya itu soal ujian ulangan dan sekolah, pokoknya Mama harus bilang ya, nanti akan segera ayah belikan tiket balik ke Belanda.” Dan aku, si pemimpi keras kepala ini lalu tetap bilang,”I am okay Honey, aku cuma harus jadi vampire sebentar, aku udah seger lagi koq habis dapet darah.” OMG, suamiku cuma bisa geleng-geleng kepala mendengarkan jawabanku.
Mudahkah menjalani semua itu? Berat Kawan, sungguh. Jangan ditanya betapa menderitanya aku setiap weekend saat sendirian di kamar merindukan suami dan anak-anakku. Jangan ditanya pula betapa aku ingin mereka ada di dekatku saat butir-butir darah segar menetes dalam pembuluh darahku dalam kamar rumah sakit itu. Dan pelatihan serta seminar itu sungguh melelahkan. Bahkan aku pernah menangis karena dijadikan bulan-bulanan oleh seorang instruktur dan dimarahi terus-terusan di depan banyak orang seolah-olah aku adalah orang paling bodoh sedunia. Dia tidak tahu, bahwa aku sudah lama tidak bekerja, karena itu aku kembali belajar, dan wajar kan jika orang baru tidak tahu apa-apa. Dan dia juga tidak tahu bahwa aku menjadi tidak bertenaga tak bisa melakukan suruhannya karena aku sedang anemia, belum bisa sembuh karena operasi yang tertunda, demi bisa ikut ujian masuk ulangan.
Kenapa aku bisa begitu keras kepala dan bertahan untuk tetap mengulang ujian? Semua itu hanya karena keajaiban hati, Kawan. Kalau saja dalam hatiku tidak ada keyakinan sebagai jawaban dari doa-doaku untuk mengulang, tentu aku sudah gugur di medan perang, tak mungkin aku bisa bertahan. Namun, setelah doaku terjawab itu, aku sendiri heran dengan keyakinan yang begitu kuat tumbuh dalam hatiku, yang membuat aku bisa tegar menghadapi semua kesusahan. Salah seorang kawanku pernah bertanya, “Mba kenapa sih koq keukeuh banget mau ngulang?” Lalu kujawab singkat,”Aku hanya menjalankan hasil isthikharahku dan jawaban dari doa-doaku.”Dia terkejut dan segera membalas,”Hah, ya ampun mbaa, kalo gitu mba pasti keterimaaa!” Lagi-lagi aku Cuma tersenyum dan menjawab, “Wallahualam Say, let’s see kemana takdir membawaku pergi.”
Dan begitulah…barbulan-bulan proses perjalanan yang ujungnya masih tak pasti itu kujalani dengan penuh pengorbanan bahkan airmata. Hanya satu yang bisa membuatku bertahan yaitu sebuah keyakinan yang sudah dihunjamkan dalam hati. Aku belum tahu apakah aku akan diterima atau tidak. Aku hanya menjalankan petunjuk hati bahwa aku harus mengulang titik. Tabir selanjutnya belum terbuka, aku pun bahkan masih bertanya-tanya.
Hari H ujian datang, alhamdulillah sepertinya semua berjalan lancar. Tapi tabir tetap belum terbuka, aku tetap tak bisa membaca masa depan. Sehari sesudah ujian, aku segera terbang lagi ke Belanda. Seminggu setelahnya, aku sudah terkapar di meja operasi di sebuah rumah sakit di Amsterdam. Alhamdulillah, operasi berjalan lancar, dan aku kembali sehat, anemiaku pelan-pelan hilang. Detik-detik menjelang pengumuman menjadi sesuatu yang sangat mendebarkan. Keyakinan yang terhunjam itu seperti berada diujung tanduk, sedang diuji keshahihannya. Aku lagi-lagi dilanda kegalauan. Jangan-jangan keyakinan yang waktu itu terhunjam dan jawaban untuk mengulang itu adalah keyakinan palsu dari setan. Artinya, keyakinanku tentang suara hati berasal dari Tuhan itu hanya omong kosong belaka dong. Aku galau bukan kepalang. Meski aku tahu kalau diterima pun konsekwensinya berat, namun kalau tidak diterima aku akan patah hati untuk kedua kali, karena selamanya akan putus hubungan dengan si Cinta. Selain itu aku harus mencari-cari lagi dan memulai pencarian dari awal lagi dan semua itu sungguh melelahkan. Bagaimanapun aku ingin agar pencarian tugas diri ini segera menampakkan hasilnya.
Pukul delapan pagi, bolak-balik aku buka website universitas itu. Katanya pengumumannya jam delapan pagi. Hatiku resah gelisah, beberapa menit setiap di update, pengumuman belum muncul juga. Akhirnya, jarum jam bergeser ke angka sembilan. Kali ini kucoba lagi. Website aku refresh sekali lagi, dan yay, sudah berubah! Bersama degup jantung yang kian berdetak kencang, aku baca hasil pengumuman penerimaan itu. Deg! Ágnes…Tri….Har…kubaca huruf demi huruf itu satu persatu. Seketika hatiku membuncah. Namaku ada disitu! Ya Allah…janjiMu benar! Keyakinan itu benar! Segera kupeluk orang-orang terkasihku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa menangis tergugu, karena kini untuk kesekian kalinya, keajaiban hati itu menampakkan dirinya lagi. Aku tahu, pengumuman itu hanyalah kebahagiaan sesaat, karena artinya babak awal dari sebuah perjuangan panjang justru baru dimulai. Namun aku kembali diyakinkan bahwa janji Tuhan tak pernah salah, bahwa Tuhan itu dekat, bahwa Tuhan itu maha mendengar dan menjawab. Suara hati itu tak pernah salah. Suara hati itu, dengarkanlah, karena ia adalah penuntun agar mimpi-mimpimu menjadi nyata.
Kawan, mimpiku kali ini memang belum sepenuhnya terjadi, masih harus diperjuangkan dengan panjang sekali. Tapi satu keyakinan tetap menemani, bahwa Tuhan itu begitu dekat, memintalah dengan sepenuh hati, melalui bersihnya hati dan dengarkanlah juga jawabNya lewat suara hati. Dengannya, semoga terkabul semua mimpi.