Nesya menghela nafas panjang. Artikel yang baru saja dibacanya membuat hatinya kesal. Batinnya berbisik �Aku memang menitipkan anakku di tempat penitipan anak (TPA). BBM naik, tuntutan jaman semakin gila, salahkah bila aku bekerja? Walau lelah sepulang kerja, aku tetap mencuci popok bau anakku. Aku tetap menemaninya bermain, aku menyuapinya saat di rumah, dan aku mengajarinya banyak hal. Aku menikmati semua itu, karena aku cinta anakku. Salahkah aku? Apakah tak pantas bila aku mendapat sebutan ibu yang peduli pada anaknya?� Sangatlah wajar bila membaca artikel di Suara pembaruan (8/3) berjudul �Perempuan, Apa yang Kau Cari?� membuat sebagian perempuan seperti Nesya menjadi kesal dan tersinggung. Mereka merasa dicurigai sebagai ibu publik yang tidak peduli pada anaknya. Motivasi mereka dalam bekerja diduga sebagai selubung dibalik keegoisan pribadi, kesoktahuan akan nasibnya di masa mendatang, dan sebagai langkah antisipasi agar terhindar dari kekerasan. Mereka merasa dianggap sebagai ibu yang maunya �tahu beres�. Jargon �yang penting kualitas bukan kuantitas� yang dianggap senjata andalan mereka (para ibu publik) pun dipertanyakan.
Sungguh, perasaan semacam itu tidaklah berlebihan. Apalagi tulisan tersebut tidak mengkhususkan ibu publik mana yang sebenarnya dimaksud. Niatan bekerja semua ibu publik�yang dianggap perempuan modern (berpendidikan)�dipertanyakan kejujurannya. Lazimnya sebuah pendapat, ada yang berhak merasa kesal, namun tak sedikit pula perempuan yang tercerahkan ketika menyimak tulisan tersebut. Membacanya membuat kaum perempuan ini memikirkan kembali pilihan yang telah diambilnya untuk bekerja. Mereka merenungkan kembali konsekuensi akibat meninggalkan anak-anaknya dalam pengasuhan orang lain.
Perbedaan pendapat tersebut memunculkan sebuah pertanyaan baru. Boleh-boleh saja mempertanyakan motivasi ibu dalam bekerja. Namun bukankah yang lebih mendasar adalah mencari jalan keluar dari permasalahan? Bukankah mencari solusi bagaimana agar para ibu bekerja semakin peduli pada pengasuhan anaknya lebih dibutuhkan? Karena, bagaimanapun sejarah tak bisa ditolak. Sejak awal abad ke 20, perempuan yang bekerja di ruang publik semakin banyak jumlahnya dan tak dapat dihindari. Di Indonesia, sejak Kartini menuntut persamaan hak dalam pendidikan kaum perempuan, ketika itulah peran ganda perempuan mulai menggeliat.
Kini, perempuan berhak dan bisa memilih hendak menjadi ibu seperti apakah ia. Ibu bekerja, ataukah �ibu 24 jam� (full time mother�FTM), semua sah-sah saja dan menjadi hal yang biasa. Mungkinkah semua kenyataan ini diubah? Faktanya lagi, banyak pula para FTM yang tak peduli pada pengasuhan anaknya. Berapa banyak para FTM yang hari-harinya disibukkan dengan arisan, rumpi sana-rumpi sini, ke salon itu dan ini, sementara pengasuhan anak seluruhnya dilimpahkan pada baby sister. Berapa banyak pula para ibu bekerja yang sepulang kerja tak kenal lelah tetap menyuapi anaknya, bermain bersamanya, dan membacakan buku untuknya. Ibu bekerja seperti ini, yang sangat peduli pada anak-anaknya, juga tak sedikit jumlahnya.
Ibu bekerja ataupun tidak bekerja, bukanlah hal yang menentukan kepedulian seorang ibu pada pengasuhan anak-anaknya. Bekerja atau tidak, bukanlah suatu jaminan seorang ibu telah menjadi ibu yang baik dan berhasil dalam pengasuhan anak-anaknya.
Permasalahan
Walaupun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa tempat pengasuhan terbaik bagi anak tetaplah ibu. FTM, tentu saja memiliki peluang lebih banyak untuk memberikan pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya. Namun bagi ibu yang memilih untuk bekerja, kesempatan untuk memberikan pengasuhan terbaik ini berkurang. Bahkan secara ekstrim beberapa pihak menyebut bahwa ibu bekerja adalah ibu yang telah tega menelantarkan anak-anaknya. Padahal ibu mana yang tak mencintai anak-anaknya. Masalah ibu bekerja memang menjadi dilema yang tak pernah ada habisnya.
Kesulitan ekonomi, ingin aktualisasi diri, menghindar dari kekerasan, ingin tampak terhormat� dan beragam motivasi lainnya� boleh-boleh saja menjadi alasan ibu bekerja. Tapi, apapun motivasinya, ibu bekerja tetap menghadapi masalah sama. Mereka harus meninggalkan anak-anaknya dalam pengasuhan orang lain. Pengasuh anak (child-care) yang dipilih biasanya adalah kakek-nenek, pembantu, baby sister atau TPA.
Tentu saja memilih pengasuh anak bukan perkara mudah. Akhirnya banyak ibu bekerja yang asal saja memilih pengasuh, dan tidak dapat menjadikannya partner yang baik dalam proses pengasuhan anaknya. Belum lagi tenaga dan pikiran ibu bekerja yang sudah terkuras di tempat kerja. Waktu luang ibu bekerja akhirnya digunakan untuk beristirahat, dan ibu tak lagi menghiraukan anak-anaknya. Selain itu ibu bekerja kerap memiliki perasaan bersalah berlebihan lantaran menitipkan anaknya pada orang lain. Akhirnya perasaan bersalah tersebut malah mengakibatkan cara pengasuhan yang salah�contohnya terlalu memanjakan anak.
Masalah tidak hanya sampai disitu saja. Meninggalkan anak dalam pengasuhan orang lain juga menimbulkan kekhawatiran tentang tumbuh kembangnya di kemudian hari. Bagaimana dengan kecerdasan anak tersebut nantinya? Bagaimana pula dengan kedekatannya dengan orangtua dan tingkah lakunya kelak? Melihat kondisi diatas, ketimbang mempertanyakan keputusan ibu untuk bekerja, akan lebih baik bila membantu mencarikan jalan keluar bagi permasalahan tersebut. Dengan demikian diharapkan ibu bekerja tetap dapat menghasilkan anak yang berkualitas kelak.
Hasil Penelitian
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika, telah meneliti masalah ibu bekerja yang menitipkan anaknya pada pengasuhan orang lain . Penelitian yang dilakukan terhadap 1000 keluarga ini ingin mendapatkan gambaran mengenai dampak penitipan tersebut terhadap perkembangan anak. Penelitian ini mewakili kesepakatan 29 orang peneliti ternama. Dengan bekerja sama, mereka terhindar dari bias�seperti bias terhadap pendapat yang mempertahankan bahwa ibu harus bekerja�yang sering terjadi pada penelitian sebelumnya.
Penelitian tersebut menemukan bahwa memberikan pengasuhan anak kepada pengasuh anak selain ibu, seperti kakek-nenek, TPA, pembantu, maupun baby sister, ternyata lebih banyak memberikan dampak negatif, walaupun ditemukan pula dampak positif. Penting dicatat bahwa pengasuh anak yang berkualitas tinggi setidaknya dapat mengurangi dampak negatif tersebut.
Pengasuhan anak berdampak pada perilaku. Semakin sering anak dititipkan pada pengasuhan orang lain sebelum usianya 4,5 tahun, ternyata akan semakin meningkatkan agresivitas dan ketidakpatuhan anak.
Namun, dampak positif terlihat pada anak yang dititipkan di TPA berkualitas baik. Mereka cenderung memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik. Kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah mereka pun cenderung lebih baik, bahkan bila dibandingkan dengan anak yang diasuh di rumah oleh ibunya. Pengasuh yang mempunyai kualitas pengasuhan yang baik ternyata akan meningkatkan kemampuan akademik anak dan membuat hubungan kedekatan ibu-anak menjadi lebih baik pula.
Adakah waktu yang paling aman untuk mulai menitipkan anak pada pengasuhan orang lain? Menitipkan anak full-time dibawah pengasuhan orang lain kala anak masih bayi akan menimbulkan dampak negatif dalam tingkah laku. Enam bulan pertama kehidupan seorang bayi adalah waktu terpenting untuk tidak memberikan pengasuhan bayi ke tangan orang lain selain ibunya. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa ibu yang meninggalkan anaknya untuk bekerja lebih dari 30 jam seminggu, saat anak berusia 9 bulan, memberikan hasil test kognitif yang lebih rendah�sewaktu anak ditest pada usia 3 tahun.
Semakin besarnya pengasuhan anak bukan oleh ibunya juga mendorong rendahnya keharmonisan interaksi ibu-anak, munculnya perilaku bermasalah ketika anak menginjak usia dua tahun, dan rendahnya kedekatan hubungan di antara mereka. Ibu hanya dapat belajar peka kepada kebutuhan dan keinginan anak setelah meluangkan waktu yang cukup bersama anak setiap hari. Ibu dan anak tidak dapat membangun ikatan satu sama lain jika mereka saling terpisah. Berbagai dampak negatif, menurut penelitian NICHD, berkurang ketika anak memasuki taman kanak-kanak.
Penelitian tersebut juga berusaha menjawab pertanyaan tentang manfaat TPA bagi keluarga secara keseluruhan. Sudah sejak lama dibuktikan bahwa setiap anggota keluarga tidak berkembang secara vakum namun berkembang melalui interaksi dinamis dengan seluruh anggota keluarga. Pada sebagian keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi atau memiliki suasana rumah yang kurang nyaman, tidak jarang anak kurang mendapat perhatian. Dalam situasi seperti ini, menitipkan anak di TPA akan memberi dampak positif. Di sini anak akan mendapat lingkungan dan perhatian yang lebih baik, dan di sisi lain sang ibu bisa bekerja untuk meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga.
Solusi
Ketika ibu telah memilih untuk bekerja�apapun motivasinya�resiko yang muncul pun mestinya telah siap dipikul. Hasil penelitian menunjukkan adanya dampak negatif bagi anak yang pengasuhannya dialihkan pada orang lain. Hal ini sering menimbulkan perasaan bersalah pada ibu bekerja. Padahal rasa bersalah merupakan musuh ketentraman. Menurut sejumlah penelitian ketidakstabilan emosi ibu dapat berpengaruh buruk pada anak. Daripada terkungkung dalam perasaan bersalah yang sering timbul, jalan keluar terbaik adalah berusaha meminimalkan dampak buruk tersebut dengan menghunjamkan niat dalam diri untuk menjadi ibu bekerja yang semakin peduli pada pengasuhan anak-anaknya.
Kesadaran ini akan memunculkan komitmen dan tanggung jawab yang kuat pada ibu bekerja. Sehingga ibu bersedia berkorban apapun demi memberikan yang terbaik bagi anaknya, bahkan ketika ibu dalam kondisi lelah luar biasa. Ibu akan selalu proaktif dan menambah pengetahuan seputar pengasuhan anak yang terbaru lewat media apa saja. Karena, melalui pengetahuan yang selalu diperbaharui, komitmen dan tanggung jawab yang terkadang luntur pun akan selalu diperbaharui pula.
Hasil penelitian telah menyebutkan bahwa pengasuh yang memiliki kualitas pengasuhan yang baik dapat meningkatkan kemampuan akademik dan kedekatan antara ibu dan anak. Karena itu, siapapun pengasuh yang dipilih, �mendidik� partner pengasuhan untuk selalu memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak akan memberikan dampak yang baik bagi anak. Contohnya, ibu dapat meminta pengasuh untuk membacakan buku bagi anak, mendongeng, berdoa, menjauhkan anak dari tontonan TV yang buruk, berkomunikasi positif, dan beragam pesan lainnya. Selain itu, tidak menitipkan anak sebelum anak berusia 6 atau 9 bulan pada pengasuhan orang lain merupakan tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh negatif bagi anak.
Jika ibu memilih TPA sebagai partner pengasuhan anak, ada beberapa syarat TPA yang harus dipertimbangkan, seperti lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak, perbandingan anak dan tenaga pengurus TPA, jumlah anak dalam satu kelompok, tenaga TPA yang terdidik dan terlatih, menu makanan yang benar serta kebersihan TPA tersebut. Dalam Suara Pembaruan (2/3), Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan agar orangtua harus menyadari bahwa TPA bukanlah tempat pengalihan tanggung jawab orangtua, tetapi hanya sebuah alternatif jalan keluar. Orangtua yang terpaksa menitipkan anaknya di TPA diharapkan untuk tetap menjaga kualitas komunikasi dengan anak-anaknya.
Pilihan menjadi ibu bekerja memang selalu membawa dilema. Melihat dampak yang ada dari penelitian diatas, dapat dikatakan bahwa keberadaan ibu dalam membesarkan anak-anaknya tetap tidak tergantikan oleh siapapun. Namun jika ibu terpaksa harus bekerja atau memang ingin bekerja, bukan berarti tak ada jalan keluarnya. Dengan mengetahui dampak buruk yang timbul dan solusi yang ada, mudah-mudahan akan membuat ibu bekerja semakin peduli pada pengasuhan anaknya. Sehingga ibu bekerja seperti Nesya tak ragu lagi untuk menyebut dirinya sebagai ibu yang peduli pada anaknya. (Agnes Tri Harjaningrum )
tulisannya menarik. thanks
Dear Bu Agnes,
tulisannya bagus sekali. boleh saya sebar ke teman2 dan posting di blog saya? =)
Silahkan pak, monggo aja kalo memang dirasa bermanfaat. Makasih buat apresiasinya ya :-)
:) numpang nambah komentar
menurut saya, siapa yang mendidik anak itu bukanlah satu-satunya hal yang akan mempengaruhi tumbuh kembang anak. memang benar seorang ibu yang normal itu lebih memiliki kecintaan yang tiada banding dengan anak-anaknya. namun apakah dalam asuhan ibu kandung menjamin kebaikan tumbuh kembang anak?
menurut hemat saya hal itu belum tentu juga. jika sebuah rumah tangga berada pada lingkungan yang tidak baik, maka menitipkan anak kepada kakek/nenek atau siapa saja yang memiliki “kesanggupan” mengasuh anak dengan lingkungan yang baik saya pikir bisa menjadi pertimbangan yang baik.
Bukankah masa kecil Rasulullah harus diasuh seorang baby sister secara penuh sejak bayi sampai 6 tahun karena lingkungan tinggal orang tuanya tidak baik untuk pertumbuhan anak. dari segi budaya dan tutur kata.
kita juga tahu tidak hanya Rasulullah, saudara sesusuannyapun (Hamzah) menjadi seorang panglima tangguh.
Makasih buat komentarnya abu :-)
Sering-sering tambah komentar ya, biar aku juga tambah masukan nih :-)
Mba’, aku suka tulisan mba’…tapi kok setelah baca itu aku jadi makin sedih dengan keadaan aku yang harus bekerja ya?Ada gak hal lain yang bisa kita buat untuk menjaga kedekatan kita dengan anak walaupun kita bekerja?
Assalamualaikum Mbak,
Thank you very much for your article…it really inspired me!..
Memang sangat dilematis issue ini dari hari ke hari..tetapi memang memerlukan kekuatan dan keteguhan hati seorang Ibu untuk menetapkan bahwa full time MOM is the best for your children and family. Kalau memang hidup dengan kesederhanaan bs kita jalani, saya yakin being a full time mom would be the greatest gift for a mom!.
Mengingatkan saya pada poem:
My Name Is Today
We are guilty of many errors and many faults
But our worst crime is abondoning the children,
neglecting the fountain of life.
Many of the thins we need can wait,
The Child Cannot.
Right now is the time.
His bones are being formed,
His blood is being made,
and his sense are being developed.
To him we cannot answer
“Tomorrow”
His name is “Today”
(by Gabriela Mistral 1945 Nobel Prize Winner)
Wass.
Inoer
Hai fauziah, maaf ya aku kelewat bacanya, jadi telat balesnya. Dont worry be happy say, qualitiy time nya aja bener-bener dioptimalkan. Dan quality time yang bener tuh kata ahlinya sih klo pikiran kita pas pulang kerja bener2 kosong dari pikiran kerjaan dan lain2, jadi all of my heart for you Nak, gitu kira2. Minimal sehari 30 menit asal all of my heart bener, kaya main kitik2 ato guling2 sama anak ato ngobrol heart to heart, asal tiap hari, kedekatan insya Allah tetep terjaga koq. Malah ada jg kan yg ibu diem di rumah aja, tp ga pernah melakukan ini sama anaknya, jd ya malah ritual sehari2 aja sama anak, tp ga deket.
Hope it helps yaa :-)
agnes
Wa’alaikumsalam..
Poem nya bagus sekali, thanks udah berbagi disini ya mba :-)
Alhamdulillah kalo artikel ini bermanfaat. Jadi FTM emang anugrah ya mba, wah mba mengingatkan saya untuk bersyukur nih, sebab kadang malah saya bosen, hehe dasar manusia ya. Semoga kita bisa selalu jd org yg bersyukur ya mba :-)
agnes
aku bener2 seneng ngebahas topik ini….baru-baru ini aku kena stress berat gara-gara ngeliat anakku lebih deket sama neneknya. Rasanya ditolak abis bo. tapi bener kayaknya sebelum bekerja aku harusnya dah tau dulu kosekwensinya, tapi setelah baca tulisan mbak, baru nyadar, telat yah.
Bener-bener merasa bersalah, tapi aku memang harus kerja, aku harus pasrah aja ngeliat semua itu. Hik..hikk.hik…aku benar-benar merasa jadi ibu yang buruk..
Sebetulnya banyak faktor yang berpengaruh terhadap kecerdasan anak baik secara intelegensia, emosi, maupun spiriutal, termasuk didalamnya kemampuan tumbuh kembang anak, secara umum ada faktor internal dan faktor eksternal. Nah, faktor internal ini yang erat kaitannya dengan kondisi orang tua ( ibu ) yang bekerja, terkain stimulasi yang diberikan. Menurut saya, prinsipnya semua dikembalikan pada niat ibu itu sendiri, niatnya bekerja di luar bukan untuk perwujudan ego semata. Stimulasi yang diberikan untuk anak tidak hanya tergantung pada kuantitas tapi juga kualitas. Berhubung frekuensi pertemuan ibu bekerja dengan anak dapat dibilang minim, tapi jangan berkecil hati, faktor kualitas yang harus ditingkatkan. perdalamlah pengetahuan mengenai anak dan proses parenting dan implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
mbak.. seandainya semua perempuan indonesia mempunyai pemikiran seperti ini, kembali ke rumah untuk mendidik anaknya insya Allah indonesia akan lebih baik lagi baik dalam segi moral ataupun yang lainnya. seperti budaya jepang, bila seorang perempuan mempunyai anak ia akan kembali ke rumah untuk mendidik anaknya walaupun karir di kantornya sudah tinggi dan pemerintahnya pun mendukung dan memberi gelar ” kyoiku mama” atau ” ibu pendidik” kepada mereka, jadilah bangsa jepang bangsa yang bermoral, beradab, bangsa yang maju.mbak..aku ingin bergabung dengan komunitas seperti ini dan kita bersama bisa memberikan solusi real untuk kemajuan perempuan indonesia.
Membaca artikel mbak Agnes menambah wawasan saya bahwa sesungguhnya kita harus selalu merawat komunikasi dan emosi dengan anak. Klo kita lebih peduli terhadap pendidikan dan kwalitas generasi penerus, saya yakin akan banyak kaum wanita Indonesia yang memilih kembali kerumah. Namun kita juga dihadapkan pada dilema ekonomi keluarga, dimana penghasilan dari satu sumber “suami” sering tidak mencukupi. Semoga ibu-ibu yang bekerja tidak merasa “kehabisan tenaga” jika pulang kerja masih harus direpotkan dengan rengekan anaknya yang minta perhatian, karena sesungguhnya bermain dengan anak adalah obat capek yang paling mujarab.
Dear Parents,
Hope you and your little one are in a great condition. We would like to invite you to join as My Tootsie bear’s family member. So far, our member numbers have been increasing, and it would be a pleasure of you and your child can be part of it. So far, we have 7 members. Our youngest member is 3 months now, and others are ranging from 1 to 4 years old. We have special offering for your child to be the first 10th members. Should you are one of Kulcard holder, you also will get special discount from us. Please contact me or Ms Flora for further info.
Thanks.
Regards, Resa
http://www.mytootsiebear.com
Terimakasih, membaca tulisan ini semakin memantapkan niat saya untuk undur diri dari pekerjaan saya sekarang (Pembantu direktur I Bidang Akademik. Karena saya semakin sering merasakan “perasaan bersalah” karena kurang waktu untuk anak-anak, anak saya 3 perempuan sulung mau masuk SMP taun ini, kedua kelas 2 SD tapi sudah 2 kali pindah sekolah karena ada masalah psikologis dengan lingkungan sekolah, sikecil taun ini masuk Playgroup. saya akan tetap kerja paruh waktu, mengajar & membimbing mahasiswa. Saya ingin punya banyak waktu dengan anak-anak saya dan saya tetap bisa mengaktualisasikan kemampuan saya. Sekali lagi terimakasih….saya ingin baca tulisan-tulisan anda yang lain. Teruslah menulis Ibu…