“TAK ADA TAMBANG GORDEN PUN JADI”

( Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama kali di kota Groningen, Belanda)

“Satu..dua..tiga..mulai!” teriakan seorang panitia lomba menggema di lapangan berumput hijau Hanzeborg Zernike complex, ketika mengawali pertandingan tarik tambang pria. Tarik-menarik tali dengan jumlah peserta lima lawan lima orang ini berlangsung cukup alot selama beberapa detik. Namun tiba-tiba…”tass….!” tali itu putus dan tubuh-tubuh kekar berjumpalitan jatuh ke tanah. Salah seorang peserta meringis kesakitan akibat terkena lecutan tali yang putus. Peserta lain tesenyum-senyum sambil menahan nyeri akibat jatuh. Walaupun demikian baik peserta, panitia dan pengunjung yang hadir malah merasa terhibur dan tertawa-tawa menyaksikan adegan yang cukup seru dan lucu ini. Tali putus? kok bisa? Tentu saja, karena tali yang dipergunakan untuk perlombaan tarik tambang itu ternyata adalah… kain gorden!Tak ada rotan akar pun jadi, demikian kata pepatah. Pepatah ini betul-betul digunakan oleh panitia penyelenggara perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-59 di kota Groningen. Mengingat sempitnya persiapan waktu, pencarian lokasi, serta dana yang terbatas, pihak panitia harus menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin. Karena harga tambang cukup mahal di kota ini, akhirnya panitia memutuskan untuk menggunakan kain gorden rumah yang sudah tidak terpakai untuk dijadikan tali tambang. Kain gorden dipotong memanjang, kemudian dijalin dan diikat sedemikian rupa sehingga dianggap cukup kuat untuk dijadikan tali yang menyerupai tambang.

Sehari sebelum acara, 4 orang mahasiswa yang sedang mengambil program PhD di Universitas Groningen, 1 orang mahasiswa Master fisika teoretis, 1 orang mahasiswa S1 ekonomi bisnis, dan 1 orang profesional pengeboran lepas pantai, mendesain dan ‘menyulap’ kain gorden menjadi tali tambang. Saat dilakukan uji coba, tali dianggap dapat berfungsi dengan baik sehingga panitia optimis perlombaan tarik tambang tetap dapat dilaksanakan. “Tak ada tambang, gorden pun jadi” ujar panitia dengan penuh keyakinan.

Sebelum perlombaan tarik tambang pria, tali ini sempat digunakan oleh peserta wanita dan berjalan lancar walaupun satu dari tiga kain yang dijalin sempat putus. Setelah panitia memperbaikinya, perlombaan dilanjutkan dengan kaum pria yang notabene memang jauh lebih kuat. Ternyata sang tali tak sanggup bertahan melawan tarikan para pria dan benar-benar putus. Namun, saran jitu dari seorang panitia yang di kota ini sedang mengambil program Phd bidang biokimia, telah membuat pertandingan tetap berjalan. Tambang yang putus pun menyatu kembali dan pertandingan tetap berlangsung dengan seru walaupun harus mengurangi jumlah peserta.
Itulah gambaran sekilas tentang perlombaan tarik tambang di kota Groningen Belanda oleh masyarakat Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI ke-59. Peringatan dilaksanakan pada hari minggu tanggal 15 Agustus 2004. Tanggal tersebut dipilih semata-mata karena acara tidak mungkin dilaksanakan pada hari kerja. Perayaan hari kemerdekaan RI di kota ini baru pertama kali dilaksanakan. Mengorganisir suatu acara memang bukan perkara mudah. Terlebih lagi dengan kesibukan dan jadwal kegiatan yang padat dari tiap warga Indonesia. Barangkali itulah yang menjadi alasan mengapa kegiatan seperti ini tidak pernah diselenggarakan di tahun-tahun sebelumnya.

Biasanya warga Indonesia di Groningen yang berminat merayakan hari kemerdekaan akan bergabung ke kota lain. Delft maupun Den Haag yang berpenduduk Indonesia lebih banyak dan telah rutin mengadakan acara perayaan hari kemerdekaan setiap tahunnya, sering menjadi pillihan bagi warga Indonesia di Groningen. Namun, kendala jarak dan biaya menyebabkan tidak semua warga Indonesia dapat menyempatkan diri pergi ke kota tersebut. Karena itulah panitia berusaha merealisasikan perayaan hari kemerdekaan di kota ini.

Walaupun acara dilaksanakan dengan segala keterbatasan, perayaan berlangsung cukup meriah dan dihadiri oleh sekira 70 orang masyarakat Indonesia yang tinggal di propinsi paling Utara Belanda ini. Ismail Fahmi, selaku ketua panitia acara sekaligus ketua deGromiest (perkumpulan warga muslim asal Indonesia di kota Groningen), yang sedang mengambil program Phd bidang Computational Linguistic mengatakan, “Perayaan ini bertujuan untuk mempererat persaudaraan di antara warga Indonesia serta yang berjiwa Indonesia di Groningen. Acara ini juga diharapkan dapat mengobati kerinduan masyarakat Indonesia yang sudah lama berada disini, agar tidak lupa akan Indonesia dan tetap cinta pada negerinya.” Ujar Ismail.

“Ide awal acara sebetulnya dimulai dari diskusi anggota deGromiest. Jauh lebih baik mengadakan acara perayaan sendiri ketimbang harus pergi ke kota lain. Mengingat cukup banyak warga Indonesia yang tinggal di Groningen, dan sama sekali belum pernah diadakan acara peringatan hari kemerdekaan setiap tahunnya, maka deGromiest merasa perlu mengadakan acara semacam ini. DeGromiest memutuskan untuk menjadi pioneer, dan mengkoordinasi serta mendanai acara kali ini. Sebetulnya ini termasuk proyek nekat, mengingat waktu untuk mempersiapkan hanya seminggu, pencarian lokasi yang cukup merepotkan dan dana yang terbatas. Tetapi alhamdulillah acara dapat berjalan lancar disertai cuaca yang juga sangat mendukung. Padahal biasanya cuaca sering diwarnai hujan karena musim panas tahun ini memang agak berbeda dari sebelumnya.” Demikian keterangan Ismail.

Dalam peringatan kali ini, deGromiest mengajak berbagai kalangan yang bersedia untuk menjadi panitia. Sebagian besar panitia terdiri dari mahasiswa, baik muslim maupun non muslim, serta beberapa warga Indonesia yang sudah lama menetap dan bekerja di Groningen. Peserta yang datang adalah masyarakat Indonesia maupun yang berjiwa Indonesia. Terbukti ketika acara berlangsung tampak hadir beberapa warga belanda yang beristrikan atau bersuamikan warga Indonesia, bahkan juga warga Belanda yang merasa memiliki keterikatan dengan Indonesia, dan sangat peduli terhadap warga Indonesia.

Salah satunya adalah Pak Bein (Profesor Beintema), yang merupakan pakar dalam bidang biokimia. Pak Bein cukup fasih berbahasa Indonesia dan mempunyai keterikatan batin yang kuat dengan Indonesia. Pada tahun 1966-1967 beliau pernah tinggal di Indonesia dan menjadi dosen di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Sejak saat itu hingga kini, beliau sering pulang-pergi Groningen-Indonesia untuk mengadakan kerjasama dalam proyek-proyek di Indonesia, dan membantu pengiriman mahasiswa serta staf-staf peneliti Indonesia yang ingin melanjutkan studi di Universitas Groningen. Beliau juga merupakan salah satu pendiri jurusan kimia di Fakultas MIPA Unpad Bandung. Saat ini beliau sudah pensiun tetapi tetap aktif menjadi pembimbing bagi peneliti-peneliti di bidang biokimia.

Selain pak Bein, hadir pula seorang nenek warga Belanda bernama Ans, yang tetap semangat dan energik mengikuti lomba balap kelereng serta tarik tambang. Perlombaan yang diselenggarakan memang terbuka bagi segala usia, mulai dari 2,5 tahun sampai 64 tahun seperti Ans. Bukan saja tarik tambang serta balap kelereng, acara ini juga diwarnai perlombaan lain seperti lomba makan kerupuk, lomba memasukan pensil ke dalam botol, lomba sepak bola dengan kostum sarung dan mata ditutup kain hitam ala bajak laut.

Acara puncak yang sekiranya diisi dengan lomba sepak bola ala bajak laut ternyata tidak menjadi puncak. Pengunjung merasa lebih puas dengan acara lomba tarik tambang yang putus. Selain itu karena siang telah menjelang, beberapa pengunjung sudah tampak gelisah tak bisa ‘kompromi’ dengan perut mereka. Akhirnya, panitia segera menghidangkan makan siang dengan menu ala Indonesia seperti bakmie goreng dan kerupuk. Panasnya mentari musim panas pun segera hilang begitu melihat panitia menyediakan semangka merah menggiurkan yang membuat air liur menetes. Beberapa warga juga ada yang berbaik hati membawakan kolak, wajit serta kue lumpur khas Indonesia yang langsung laris-manis ‘diserbu’ pengunjung.

Setelah perut tak lagi ‘bernyanyi’, acara dilanjutkan dengan pembagian hadiah bagi pemenang lomba. Pemenang diminta naik ke atas podium sederhana yang disusun dari kayu dan kursi bekas pungutan berwarna merah. Kontainer sampah yang kebetulan berwarna merah putih menjadi latar belakang podium dan cukup mengesankan bahwa podium tersebut memang sengaja dibuat dengan latar belakang merah putih.

Setelah pembagian hadiah selesai, semua warga berkumpul mengelilingi podium dan bernyanyi bersama menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Indonesia serta lagu-lagu kenangan. Diiringi petikan gitar, lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan cukup syahdu dan memunculkan getar-getar kerinduan akan tanah kelahiran. Rasanya masih ingin bernyanyi dan mengingat kembali kenangan indah tentang Indonesia. Namun, waktu jua lah yang memisahkan. Acara diakhiri dengan foto bersama dan teriakan merdeka !.

Walaupun di negeri orang dengan acara yang sederhana, bahkan tali tambang pun terbuat dari kain gorden, namun peringatan kali ini menyimpan banyak kenangan dan makna. Tambang gorden telah menyatukan segenap insan, tanpa mengenal batas usia, perbedaan warna kulit, kewarganegaraan dan agama. Semua bersatu dalam gelak tawa dan kesyahduan, mengobati kerinduan akan kampung halaman, serta menambah kecintaan pada Indonesia.

Selamat ulang tahun Indonesia. Meskipun jauh di negeri orang ‘engkau’ tak akan kami lupakan dan tetap kami banggakan. Tanah airku, tidak kulupakan. Kan terkenang selama hidupku. Biarpun saya pergi jauh. Tidak kan hilang dari kalbu. Tanah ku yang kucintai,….engkau kuhargai. Walaupun banyak negri kujalani, yang mashyur permai dikata orang. Tetapi kampung dan rumahku, disanalah ku rasa senang. Tanah, ku tak kulupakan….engkau kubanggakan…

2 Replies to ““TAK ADA TAMBANG GORDEN PUN JADI””

Comments are closed.