Yang Tak Hilang dari Perjalanan

Ber3-di-metro.jpg
Di dalam metro

Kami baru turun dari metro di Noisy Champ ketika tiba-tiba seorang anak lelaki negro tersandung dan terjatuh di depan kereta dorong Malik. Kejadian itu begitu cepat dan tentu saja anak-anakku menyaksikan semuanya. Bapak anak berkulit legam itu tiba-tiba datang. Tanpa ba bi bu ia langsung menampar dan menyeret anak itu. Tarikannya teramat kasar diikuti dengan teriakan marah pula. Aku terkesiap. Ada yang tergores di dada ini melihat wajah kesakitan anak itu. Kemarahannya seperti si anak habis mencuri saja, padahal semua tak sengaja. Malik dan Lala hanya bisa melongo, begitu juga aku. Tapi aku tak bisa membiarkan kejadian ini terekam begitu saja di kepala anak-anakku.

“Menurut Lala dan Aik, gimana ya perasaan kakak tadi dipukul sama ayahnya seperti itu?” tanyaku berjongkok di depan mereka.

“Sedih” Aik langsung menimpali.

“Sakit nggak?”

“Iya” jawab mereka dengan wajah bingung

“Ayah dan bunda pernah kayak begitu?” Mereka pun menggeleng

“Alhamdulillah ya, Aik dan Lala nggak punya ayah yang seperti itu”

Anak-anakku hanya diam. Barangkali masih bingung, atau mudah-mudahan sedang mencerna ucapanku. Semoga saja ini menjadi pelajaran berharga buat mereka.

Esok harinya, kejadian itu terulang lagi, tak separah kemarin memang. Di dalam metro, seorang ibu, lagi-lagi berkulit gelap, duduk di hadapan kami dengan ke tiga orang anaknya. Anak lelaki kecilnya tak bisa diam, ya namanya juga anak. Namun, si ibu memarahinya dengan berteriak galak. Matanya pun melotot sambil tangannya menarik-narik si kecil untuk duduk diam. Anak-anakku hanya bisa melongo lagi. Aku hanya bertanya-tanya dalam hati, mengapa berkulit gelap lagi? Pesan yang sama tak lupa kusisipkan pada anak-anakku.

Masih di hari serupa, di dalam metro pula, lagi-lagi seorang lelaki berkulit legam berulah. Dengan jas necisnya ia berdiri di hadapan kami, karena metro sedang penuh waktu itu. Diambilnya sebuah permen dari saku jasnya. Permen pun masuk ke mulutnya. Tapi…O…O…si bungkus permen? Dengan cueknya dia buang begitu saja ke lantai kereta. Tentu saja anak-anakku melihatnya. Dan tentu pula hatiku bertanya lagi, negro lagi?

“Harusnya sampahnya dibuang kemana ya?” Pertanyaan itu kulontarkan pada kedua buah hatiku. Pertanyaan yang tak butuh jawaban, karena aku hanya sekedar mengingatkan.

menunggu-kereta-datang.jpg
Menunggu Kereta Datang

Di hari lainnya, tempat duduk di ruang tunggu kereta subway sedang penuh. Anak-anakku duduk di kereta dorongnya, dan kami berdiri menemani. Aku tersentak kaget dan baru tersadar, sepasang muda-mudi duduk di hadapan kami. Masya Allah, Malik terbengong-bengong menyaksikan pasangan yang sedang ‘berasyik masyuk’ itu. Hebohnya luar biasa pula. Tak cukup sekedar Frenchkiss yang terkenal saja, tapi merajalela ke sekitarnya.

Di kota ini, pemandangan seperti itu memang sering sekali kami lihat. Parahnya, lebih liar daripada di kota kami. Frenchkiss yang terkenal itu betul-betul dilakukan dimana-mana, tak hanya satu-dua pula. Hmm…untung aku tadi melihatnya. Langsung saja mulutku berkata : “Malik sayang, berciuman itu hanya boleh untuk yang sudah menikah ya, seperti ayah bunda” Jagoan kecilku cuma diam. Pasti bingung lagi. Tapi semoga omonganku direkamnya.

Eiffel-kasih-makan-burung.jpg

Anak-anakku memang sering melongo melihat kejadian-kejadian seperti itu. Tapi mereka pun banyak tertawa. Seperti sewaktu mereka kegirangan memberi makan burung-burung di dekat menara Eiffel, juga di museum Louvre. “Lala bosan ayah bunda foto-foto terus” rengeknya kala kami sedang berada di dekat menara Eiffel. Beruntung ayah tak kehabisan akal. Diambilnya roti bekal yang tak termakan. Burung-burung pun berdatangan dan mematuki potongan-potongan roti itu. Anak-anakku tertawa riang. Dan mereka pun berkejar-kejaran dengan para burung. Burung-burung itu pasti bilang “Terimakasih Lala, terimakasih Aik karena sudah memberi makan kami. Allah pasti tambah sayang sama kalian” kata ayah menirukan suara hati burung.

Lala-dan-badut.jpg

Tawa yang ini lain lagi. Tawa takjub dan heran, juga kegirangan. Awalnya mereka ketakutan melihat badut di pinggir jalan. Badut itu berjualan balon-balon berbentuk lucu, yang dibuatnya setelah anak-anak bersalaman dan mengucapkan salam. “What is your name?” sapanya ramah. Sambil bersalaman, diberinya Lala sebuah permen. Lala langsung saja ingin mengambilnya. Tapi…eit…permennya malah lari ke atas. Tangan Lala segera menjumput permen ke atas. Eit…koq permennya lari lagi. Tangan Lala berkelak-kelok kesana kemari bagaikan ular, berusaha mengambil permen yang dipermainkan oleh sang badut. Tawanya riang sekali. Badut itu memang lucu dan pintar. Belit sana, belit sini, balon berbentuk bunga pun segera siap dipersembahkan, buat Lala seorang.

Aik-badut-permen.jpg

Ha…ha…ha…tawanya senang. Tawa itu terdengar saat Malik berhasil mengambil permen dari sang badut. Matanya berbinar heran, melihat sang badut membuat balon berbentuk binatang. Dipeluknya balon macan itu dengan sayang. “Ik houd van je. Je ben myn beste friendin (aku sayang kamu, kamu teman baikku)” katanya riang. Tapi esoknya tangisnya tak kunjung hilang, saat balon macan itu kempes dan dibuang. “Hu…hu…hu…Je ben myn beste friendin hu…hu…hu…”

Aik-badut-macan.jpg

Wajah mereka juga senang sekaligus ketakutan, saat melihat anjing dan kucing tidur akur berduaan. Anjing dan kucing itu menjadi tontonan bagi turis-turis yang berseliweran. Dengan iringan musik yang riang, anjing dan kucing tetap akur, tak peduli pada sekitar. Pemiliknya berkaca mata hitam, berdiri mematung sambil menunggu sumbangan. Anak-anakku mencoba mendekatinya perlahan. Tawanya terdengar, tapi tetap saja ketakutan.

Lala-dan-anjing-kucing.jpg

Buah hatiku tersayang, betapa lugu dan lucu kalian. Perjalanan ini memang cukup mahal, apalagi bagi kami yang cuma pelajar. Tak cuma uang, kaki dan tanganpun pegal-pegal tak karuan. Tapi semahal apapun ongkos yang telah keluar, semua tak tergantikan melihat keriangan kalian. Semua tak terbayar melihat mata-mata polos kalian. Mata-mata takjub dan heran. Mata-mata penuh keingintahuan. Semoga semua yang terlihat tetap tercerna indah. Semoga segala yang terekam tak kan pernah hilang dan akan berbuah kebajikan.

42 Replies to “Yang Tak Hilang dari Perjalanan”

  1. Assalamualaikum Mba Agnes & keluarga,
    Wueleh…cantik banget webnya,,aku seneng banget deh bacanya. Creatif banget. Pokoke top abis. Ajarin dong gimana bisa semanis ini webnya? (hehehe monya nyontek en niru aja neh — becanda loh) AKu mo tanya sebenarnya, aku add web nya mba agnes bole ya di webku ( yang masih belajar- punya)Kalau boleh makasih banget deh, kalo nggak nanti ku hapus..hehehe.
    Thanks loh b4.
    Wassalam,
    arti

  2. Wa’alaikumsalam…

    Boleh banget Arti, seneng malah bisa nambah temen. Aku jg mau dong alamat web nya Arti. Aku juga simpen alamat2 web temen2ku buat silaturahmi sesekali, tp memang nggak dipublish. Btw, bukan aku lho yg bikin web ini, aku mah gaptek abis, tinggal ngisi hehe, sapa lagi yg bikin kalo bukan suamiku tercayang :-)

    Thanks lho udah nyasar n kasih komen di web aku. Aku tunggu alamatnya yaa…

  3. wow asyiknya ketemu “rumahnya”mba Agnes. mba atau teh? rumahnya rame, penuh cinta. salam kenal untuk mba Agnes. salam juga un pangeran dan putri cantikmu. seneng bisa mengunjungi rumah mba.
    baarakallahu fykum, , , , ,

Comments are closed.