Sudah lebih dari 5 tahun aku tinggal di Belanda, tapi baru kali ini ada kesempatan diundang menghadiri pernikahan ala orang Belanda. B, teman sekantor suamiku, menikah dengan kekasihnya, E, yang juga orang Belanda. Kebetulan, pernikahan mereka digelar di gereja dekat rumah kami, hanya 5 menit jalan kaki. Sebetulnya, undangannya dua kali, yang pertama ceremonialnya jam dua hingga lima sore. Lalu party nya jam 9 malam hingga tengah malam.
Sejak jauh hari aku sudah bilang ke E,”Aku akan datang di acara yang siangnya aja ya, sebab, partynya terlalu malam buat anak-anakku.” Dan jam setengah satu siang hari, aku jemput anak-anak dari sekolah. Paginya, suamiku sudah minta ijin ke guru mereka di sekolah agar mereka diijinkan bersekolah setengah hari. Lalu menjelang jam dua siang, kami bergegas berjalan kaki menuju tempat acara.
Semua tamu sudah berkumpul di depan pintu masuk bangunan sebelah gereja, mungkin gereja juga tapi bukan gereja utama. Para tamu laki-laki hampir semua berjas dan berdasi, sedangkan tamu perempuan, memakai baju pesta resmi, gaun sampai lutut, stocking, sepatu hak tinggi, dan beberapa wanita memakai jepit rambut bunga mawar besar, yang warnanya lumayan genjreng, merah, biru, tapi tetep aja pantes dipakai para bule itu. Overall, baju mereka warnanya kebanyakan hitam dan ga segenjreng baju orang Indonesia kalau pesta.
Dari sejak dijemput pulang sekolah, Malik sudah Tanya,”Disana ada anak-anak ga Bun? Echt ada? Ayah udah Tanya? Mereka ga sekolah? ” Dia khawatir sekali kalau hanya dia yang bolos sekolah. Aku jawab,”Pasti ada anak-anak Ik, family nya Om B.” Dan untungnya benar. Sejak membuka jacket dan masuk ke ruang utama, aku melihat beberapa bayi, anak balita berjalan tertatih-tatih dengan lucunya dan dua gadis mungil bergaun pesta warna putih dengan pita biru. Pasti ini anak-anak pengantar pengantin.
Ketika kami masuk, suasana dalam gedung sudah ramai, di lantai dua pun penuh, kami tak kebagian tempat duduk. Kami segera menyalami teman-teman suamiku, Ruben, Sanders, Raymond, David dan para kekasihnya yang sudah kukenal sebelumnya. Lalu kami memilih mengambil tempat diatas. Ada adegan menarik ketika kami sampai di lantai atas. Petugas ambulance datang dengan sebuah tempat tidur. Di atasnya, seorang wanita paruh baya yang sangat mirip dengan E duduk berselonjor sambil tersenyum. Rupanya, ibu pengantin wanita ini dua hari sebelumnya mendadak harus masuk rumah sakit dan dioperasi. Untung, kondisinya membaik dan bisa diupayakan datang ke tempat acara meski tempat tidur pun harus diboyong.
Lalu, acara segera dimulai. Musik mengalun, pintu dibuka. Pengantin laki-laki dengan jas abu-abu dan bunga yang menempel di jas kirinya, melangkah satu-satu masuk ke dalam ruangan. Setelah sampai di meja depan, yang mirip altar, gantian pengantin perempuan melangkah masuk. Para tamu pun riuh bertepuk tangan. Pengantin perempuan mengenakan gaun putih anggun yang memperlihatkan kedua bahunya. Rok belakangnya menjuntai panjang ke belakang. Ia berjalan digandeng oleh ayahnya. Di belakangnya, dua gadis mungil berjalan pelan sambil menebarkan potongan kertas bulat warna putih dan biru, menggemaskan sekali.
Sepanjang jalan, sang mempelai tampak terharu, mengusap air mata yang jatuh perlahan di matanya. Kemudian, ketika kedua mempelai bertemu, mereka berciuman. Seorang bapak tua berjubah seperti hakim berjalan ke arah mimbar. Aku pikir dia pastur dan akan mensyahkan perkawinan, eeh rupanya dia petugas pemerintah (gementee) yang tugasnya seperti KUA mensyahkan perkawinan. Jadi yang tadinya aku pikir aku akan melihat acara peresmian pernikahan di gereja seperti yang kulihat di TV, tidak terjadi.
Acara pertama dimulai dengan B yang memberikan sambutan. Lalu beredar dua lembar kertas, yang satu gambar B sejak kecil dan satu lagi gambar E sejak kecil hingga dewasa. Para tamu mendapat gambar itu, lalu ibu-ibu mereka menceritakan foto-foto itu. “Ini E waktu masih bayi, ini waktu dia umur 10 tahun main klarinet, dan seterusnya.” Aku langsung berbisik pada suamiku,”Wah acara menikahnya ga sacral blas ya Yah.” Hmm..memang, gimana mau sacral lha wong mereka sebelumnya sudah hidup bersama beberapa tahun. Pernikahan Cuma formalitas aja dan alasan lainnya karena mereka mau mengadopsi anak katanya.
Setelah kedua ibu tua itu menceritakan tentang anak-anaknya, gantian bapak dari Gementee yang membacakan kisah perjalanan kedua anak manusia itu hingga akhirnya menikah. Kapan mereka bertemu, dinner asyik di Italia, Brazil, gitu-gitu deh, aku ga bisa menangkap semua karena bahasa Belandaku sangat jelek. Tak lama, adik-adik mempelai wanita, bernyanyi menyumbangkan lagu ciptaan mereka tentang kakaknya, yang membuat sang kakak meneteskan air mata.
Barulah selanjutnya, bapak dari Gementee membacakan aturan konsekwensi dari pernikahan, soal pajak, insurance dan lain-lain yang memberatkan hehe ( ini nih yang katanya bikin orang Belanda males nikah). Lalu pak Gementee Tanya,”Apakah kamu bersedia menikah dengan pasanganmu?” Dan kedua mempelai bergantian menjawab,”Ya!” Pak utusan Gementee pun mengetuk palu dan mengucapkan, “Dengan ini kalian resmi jadi suami istri, ” disambut tepukan meriah dari pengunjung. Layaknya perkawinan ala Indonesia, para mempelai dan saksi kemudian menandatangani surat pernikahan. Pembawa acara kemudian mengingatkan bahwa setelah itu akan dibagikan gelas wine dan semua tamu bisa tos bareng. Untung selain wine ada juga jus orange, jadi kami masih bisa ikutan mengangkat gelas bareng-bareng.
Sejak palu diketuk dan pak petugas Gementee turun dari mimbar, kulihat petugas restaurant langsung bergerak cepat menggulung karpet, mengangkut kursi-kursi dan meja. Rupanya, ruangan itu kemudian dirubah menjadi tempat makan. Tak lama, kue pengantin datang, ada 7 kue bentuk bulat bernuansa biru-putih dengan hiasan bunga mawar di atasnya, berjejer melingkar seperti tangga. Kue tart yang didorong dengan meja itu langsung menjadi pusat perhatian pengunjung. Kedua mempelai lalu memotong kuenya, dilanjut dengan chef yang dengan cepat memotong kue dan membagikannya pada pengunjung. Para chef ini kerjanya sat sit sat sit, gesit sekali. Lalu setelah semua kebagian tart, suguhan lain datang. Jangan harap suguhannya macam-macam, melihatnya aku langsung ingat acara kondangan di Indonesia, sangat berbeda!
Menu acara pernikahan ini ternyata hanya potongan tart tadi, ditambah disediakan potongan batang seledri, wortel, radish, olive dan timun di setiap meja. Sayuran itu ditaruh di wadah panjang dengan mayones ditengahnya. Jadi para tamu bisa ngemil batang seledri sambil mencocol mayones sambil ngobrol. Wah aku gedek-gedek melihat menunya, ya ampuuun…irit banget! Dan rasanya? Aduhai mana tahan. Meski batang selederi ternyata lumayan segar, radish rasanya seperti bengkuang tapi agak pahit, sementara olive, wadaw! Aku hanya mencoba satu dan tak ingin mencobanya lagi, rasanya asin, pahit ga puguh deh!
Selain potongan sayuran tadi, ada juga cemilan lain, potongan crackers, kacang dan chips! Ya ampuuun, chips sebungkus-sebungkus kecil, mungkin maksudnya buat anak-anak kali ya. Untungnya ada satu makanan yang hangat dan rada ‘mewah’ Para chef membagikannya satu persatu pada tamu, yaitu potongan roti kecil yang diatasnya ditaburi jamur panggang berbumbu, rasanya lumayan. Itulah makanan paling mewah di pesta itu karena selanjutnya tak tampak ada makanan lain lagi, hehe kasian deh. Untung, aku sudah menyuruh anak-anakku makan siang dulu. Tapi tetap saja aku terbengong-bengong dengan menu yang disediakan, koq ya kebangeten ya menu pestanya wong Londo hehe.
Sambil makan, kami ngobrol sana-sini. Para bule yang jangkungnya minta ampun itu lebih senang ngobrol sambil berdiri. Kursi-kursi tak laku. Kedua mempelai menghampiri para tamu satu persatu, bersalaman dan berpelukan sambil memberikan cendera mata kalungan bunga plastik warna biru pada para tamu. Yup, bunga plastik saudara-saudara, bukan souvenir mahal lucu-lucu seperti di Indonesia. Jadi rupanya tradisi disini, bukan tamu yang datang ke pengantin, tapi pengantin yang mendatangi para tamu sambil membagikan souvenir.
Yang berbeda lagi adalah soal foto. Aku sempat bergumam pada suamiku,”Kalo di Indonesia, ini udah dipanggil satu-satu nih, keluarga Ismail harap ke panggung untuk berfoto bersama kedua mempelai hehe.” Tapi itu tentu saja tak terjadi dalam acara kawinan ala Belanda. Memang ada fotografer yang ngider kesana kemari, motret pengantin dan tamu, tapi semua diambil dengan natural, tidak ada yang dipanggil satu-satu. Untuk urusan foto, kebiasaan narsis orang Indonesia memang agak-agak memalukan kali ye hehe.Dan pukul lima sore, kami pun pamit pulang. Sebetulnya masih akan ada acara party jam 9 malam, tapi jangan bayangkan ada makanan, jam 9 malam gitu loh. Yang jelas, acaranya pasti tidak jauh dari acara dugem, dansa dansi, minum-minum bir, cola dan sejenisnya lalu ngobrol diiringi musik keras yang memekakkan telinga. Hmm..pengalaman petama dan mungkin yang terakhir menyaksikan acara pernikahan orang Belanda ini, membuatku semakin menyadari betapa budaya dan culture Indonesia itu sebetulnya begitu kaya, indah, dan sakral sekali.