Sistem kesehatan di Belanda terkenal sangat rasional. Bagus memang dan patut dicontoh, tapi bagi yang belum terbiasa, pasti ngomel-ngomel, seakan-akan dokter sini cuek bebek banget, pasien udah dying ga dikasih obat, gitu deh kasarnya. Soal Rasional Use of Medicine (RUM) di Belanda, ceritanya panjang, kapan-kapan aku pengen nulis khusus untuk itu. Kali ini, aku mau tulis tentang pengalaman temanku saat melahirkan yang cukup unik. Aku pas denger sampe bengong hehe.
Jadi ceritanya si temenku itu, sebut aja si X, mau melahirkan anak kedua. Selama hamil dia tidak pernah punya masalah dengan kehamilannya, jadi direncanakan lah persalinan di rumah oleh bidan. Yup, di Belanda, persalinan dianjurkan senormal mungkin oleh bidan pula. Jadi kalau kehamilan dan persalinan normal ya jangan harap lah bisa melahirkan sama SpOG. Misal pasien ingin melahirkan di rumah sakit, bisa juga, tapi tetep aja pertama-tama ditolong bidan dulu, kalo ada masalah, baru dirujuk ke SpOG.
Jika pasien memilih persalinan normal di rumah, biasanya dia akan mendapatkan satu paket peralatan persalinan di rumah ( kraam packet) dari asuransi isinya antara lain perlak utk ibu, alkohol, klem placenta, sabun cuci tangan, pembalut,kasa steril, tas, dan lain-lain tergantung jenis asuransinya. Setelah usia kehamilan 8 bulan, ibu diperbolehkan meminjam bedverhoging (alat untuk meninggikan tempat tidur), pispot, tempat tidur khusus kain untuk melahirkan, alat-alat persalinannya dan sejenisnya dari thuiszorg. Semua tentu saja gratis karena sudah dicover oleh asuransi.
Nah ceritanya hari H tiba, si ibu X mulesnya sudah tak karuan, bidan pun datang. Tunggu punya tunggu, alhamdulillah, bayinya akhirnya brojol! Bayi yang lucu dan menggemaskan. Tapi..O..O..tunggu punya tunggu lagi, si placenta bayi ga mau lepas-lepas juga. Si bidan sudah berusaha ‘ngobok-ngobok’ dan si ibu sudah disuntik oksitosin juga kalo ga salah, tapi si placenta ga mau keluar juga, padahal si ibu sudah sangat lemah dan pucat, suaminya pun sudah panik karena darah keluar banyak sekali. Semua panik.Ini kondisi gawat darurat!
Si bidan langsung memanggil ambulance. Tapi bukan hanya ambulance yang datang, berhubung si X tinggal di lantai 3, pemadam kebakaran pun datang! Yup! Pemadam kebakaran saudara-saudara! Untuk apakah gerangan? Ya untuk mengangkut si ibu dari lantai 3 rumahnya ke dalam ambulance yang sudah menunggu di tepi jalan.
“Wuah heboh Mba, tapi aku sudah antara sadar dan ga sadar. Pokoknya yang aku tahu aku diturunin ke ambulance pake bantuan petugas dan perangkat pemadam kebakaran,” tutur ibu X. Untungnya sesampainya di rumah sakit, placenta berhasil dikeluarkan dan si ibu selamat, alhamdulillah. Herannya lagi, meski si ibu sangat anemis, Hb Cuma 3, si dokter tidak memaksa transfusi, tapi memberikan keputusannya pada ibu. Ibu mau transfusi atau engga, kalo transfusi resikonya bla bla bla (yang kata si ibu cenderung menakutkan). Akhirnya si ibu memilih untuk tidak ditransfusi. Glek! Gilee Hb 3 ga ditransfusi, tapi pasti ada dasarnya kali ya, Cuma aku belum sempet googling. Mungkin si dokter yakin si ibu ga ada kelainan pada jantungnya jadi nyantai aja memulangkan si ibu tanpa transfusi. Untungnya si ibu akhirnya pulih meski dalam 2 bulan.