Being ‘Alien’

Aku tak pernah menyangka bila akhirnya perjalanan hidup membuatku harus mencicipi rasanya keterasingan, menjadi orang asing, menjadi sosok aneh yang tak lazim. Kadang, mereka memandangku sebelah mata, mentatap lama-lama, dan menganggapku sebagai manusia penebar murka. Meski memang tak semua, namun awalnya berat juga. Aku bahkan sempat menitikkan air mata.

Suatu kali ketika aku sedang berbelanja di pasar tradisional ala Eropa, aku telah menunggu dengan lama dan berusaha bertanya. Namun sang penjual tak mau menyapaku juga. Meski akhirnya aku dilayaninya, namun dipandangnya aku dengan mata tak suka. Kali lain, ketika aku dekat dengan anak-anak balita Belanda lantaran kerap menjaga mereka saat jam istirahat sekolah, orangtua-orangtua mereka sering menghunjamkan matanya padaku lama-lama. Pernah, anak bule ganteng berumur 5 tahun bernama Boaz, ketika papanya menjemput, dipamerkannya aku pada papanya dan disapanya aku dengan mesra. Ayahnya yang semula menatapku sekilas lalu segera membalikkan badannya. Dipandanginya aku dari ujung kaki sampai ujung kepala, hingga kemudian ia berlalu bersama anaknya. Sreet! Hatiku tergores seketika. Betapa hina aku dimatanya, hingga ia harus memelototi aku sedemikian rupa. Ah, sudahlah biarkan saja, tak kenal maka tak sayang begitu kan kata orang, hiburku mencoba menghapus goresan luka.

Lama-lama aku mulai terbiasa. Tak kupedulikan lagi tatapan-tatapan mata dan gerak gerik yang memandangku curiga. Pede aja lagi, emang gue pikirin, kataku membatin. Seorang anak perempuan ABG, berkulit pekat asal Curasau, pernah pula menatapku dengan mata bertanya-tanya,”Apa yang kamu pakai di kepalamu itu? Kenapa kamu memakainya?” tanyanya sambil menjulurkan kepalanya mendekatiku, meneliti wajah dan kerudungku lamat-lamat. Aku tersenyum dan menjelaskan sebisaku. Keheranannya saat menelitiku membuatku geli. Melihatku, ia betul-betul seperti melihat alien, belum pernah seumur hidupnya dilihatnya seorang wanita menutupi kepalanya dengan kerudung, karena ia baru saja datang dari Curasau, sebuah negeri mantan jajahan Belanda di dekat Amerika sana. Aku maklum, sangat maklum dengan keluguannya.

Namun, aku tak lagi bisa maklum ketika seorang wanita paruh baya menghinaku nyata-nyata.”Perempuan berkerudung itu bodoh, kuno! Enak saja kalian harus berkerudung sementara suami-suami kalian, para lelaki itu tak perlu menutup kepalanya. Aku sering takut melihat berita di TV tentang kaum kalian, teroris.” Meski aku sudah menjelaskan bahwa di negeriku, kaumku tidak seperti itu, aku bukan teroris, ia tetap ngeyel. Pertemuan berikutnya dengan wanita itu membuat aku kesal luar biasa. “Bukan karena kamu muslim, karena kamu pake jilbab, tapi kamu memang nggak bisa kerja!” Tuduhnya semena-mena. “Buat apa aku bayar kamu kalau kerjamu lama sekali, ini bukan karena kamu muslim!” Lagi-lagi diungkit-ungkitnya soal agama dan kerudung. Darahku mendidih. Aku tak sanggup lagi. Aku betul-betul terhina. ”Oke mevrouw, tak perlu kau bayar aku! Aku tak butuh uangmu!” Tanpa babibu, segera kukemasi barang-barangku dan pergi dari rumah nyonya besar itu. Dengan dada sesak menahan amarah, kukayuh sepedaku perlahan, meski kemudian aku tak kuasa melanjutkan. Sepedaku harus segera kuhentikan karena air mataku bercucuran, tumpah tak tertahan.

Tapi kejadian itu menguatkan aku. Kepahitan itu menempa hatiku. Sejak itu, apapun kata orang dan pandangan orang tentangku, hatiku bergeming, tak ada lagi goresan atau sesak di dadaku. Aku sadar, bagi mereka, aku memang asing. Namun aku tak ingin keterasingan itu meluluhlantakkan hatiku. Apa gunanya? Toh, Tuhan memang menciptakan manusia berbeda, aku yang harus paham.

Aku kemudian terbiasa menjadi ‘alien’ dalam kelas-kelas yang aku ambil. Kelas bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan olahraga. Aku selalu berbeda, sendirian. Tatapan-tatapan mata aneh, obrolan tak bersahabat di awal pertemuan, kerap kualami. Ah, tapi siapa yang peduli, hatiku pun sudah tak pernah tergores lagi. Aku sudah kebal!

Kini, aku nyaman-nyaman saja bertemu dengan siapapun dan ditatap seperti apapun. Ketika harus menemani suamiku makan malam di sebuah restaurant Italia terkenal bersama rekan kerjanya di Amsterdam, aku satu-satunya yang berkerudung. Diantara puluhan manusia beramput pirang, aku pede saja duduk dan mengobrol bersama mereka. Mungkin karena sekarang aku tinggal di Amsterdam, banyak orang sudah paham. Melihat kerudungku, tanpa diminta, petugas restaurant malah memberi tahu aku,”Makanan yang ini vegetaris, yang ini ayam dan yang ini sapi, tidak ada babi,” katanya. Tanpa diminta, istri bos suamiku pun tiba-tiba bercerita tentang adiknya yang masuk Islam.”Awalnya bagi kami berat, tapi ya mau bagaimana lagi. Sekarang kami sudah terbiasa,” tuturnya ramah.

Begitu juga ketika aku menghadiri pernikahan seorang kawan, di sebuah gereja. Diantara puluhan pria bule berjas dan berdasi serta wanitanya yang bergaun anggun, aku lagi-lagi menjadi ‘the only one’. Bukannya aku kegeeran, tapi aku sadar, hampir semua mata menatapku ketika aku memasuki ruang gereja itu. Tapi lagi-lagi aku melenggang dengan tenang, menebar senyuman.

Being ‘alien’, tak pernah kusesali, karena ia telah mengajari aku untuk berhati lapang dan mengasahku untuk tidak menangis dengan gampang. Aku tidak bisa memaksa orang lain untuk memahami aku, tapi aku yang harus sadar bahwa perilaku mereka sangat wajar lantaran perbedaan latar belakang. Karena itulah ketika kemudian tatapan-tatapan aneh itu muncul lagi, aku tetap bisa melenggang dengan riang.