Missing December in Diemen

Lima bulan berlalu, sejak Diemen ditinggalkan
Dan, ini Desember Kawan.
Kami duduk di sebuah fast food restaurant sambil bilang:
Dulu, jika sedang weekend, kita sering membeli ini di Amsterdam Arena.
Yaa dan rasanya lebih enak. Ini nggak enak, timpal si Sulung.

Dan …dan aku…aku rindu suasana Desember di kota itu, tambahnya.
Aku rindu kerlap kerlip lampu yang menemani dinginnya malam.
Aku rindu memakai jaket tebal
Aku rindu jalan-jalan di Kavelstraat sambil melihat orang-orang lain yang sama-sama bersepatu boot dan berjaket tebal menikmati dingin dan lampu-lampu itu.
Itu cozy banget! Aku rindu semua itu huhuhu….
Continue reading “Missing December in Diemen”

Welcome Home

Sepuluh tahun Kawan, bukan waktu yang sebentar.
Tak mudah untuk bilang selamat tinggal.
Terlalu banyak kenangan indah yang tak bisa dilupakan.
Terlalu banyak hal yang dia ajarkan : tentang kemandirian, tentang kerasnya hidup di negeri orang yang mendewasakan, tentang toleransi, tentang kejujuran, tentang peradaban, tentang kemanusiaan, tentang ciptaan Tuhan yang begitu beragam.

Banyak orang bilang, ngapain pulang? Bukankah ia adalah kenyamanan?
Memutuskan pulang itu seperti kau meninggalkan istana yang sudah setengah mati kau bangun lalu kau tinggalkan untuk maju ke medan perang.
Hidupmu kembali bergelombang, bahkan riaknya kadang menyeretmu ke pusaran paling dalam, hingga membuatmu tak mampu lagi berkata-kata selain: Tuhan, hanya Engkau sebaik-baik penolong, tolong aku Tuhan.
Continue reading “Welcome Home”

Jatuh

Sepandai-pandai tupai melompat, sekali-kali pasti jatuh juga. Sehati-hati apapun kita melangkah, sesekali pasti pernah kepeleset juga. Sesuatu yang wajar bukan?

Iya memang. Sekali-kali berbuat salah, oke lah, the err is human.
Tapi apa jadinya kalau kesalahan itu terjadi berkali-kali, Kawan? Kesalahan yang tak pernah kau sengaja dan tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Meski bukan kesalahan yang sama.
Continue reading “Jatuh”

Membatu

Kawan, pernahkah kau rasakan
Ketika hatimu sudah seperti batu
Sengaja kau buat ia begitu, mengeras dan membatu
Karena habis sudah air matamu

Agar kau bisa bertahan
Agar tak lagi kau rasa yang namanya rindu
Kau tutup rapat-rapat telingamu
Saat mendengar apa yang terjadi pada buah hatimu
Agar kau bisa menelan hari-harimu tanpa pahit dan ngilu
Continue reading “Membatu”