“Aku tidak pintar, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya anak pintar yang bisa sekolah?” Membaca kalimat-kalimat ini dari seorang anak pemulung yang ingin sekolah di sebuah berita waktu itu, mataku basah. Aku pernah merasakan hal yang sama dengannya, ketika aku sedang mencari-cari sekolah, ingin melanjutkan studiku. Tentu saja, nasib anak itu lebih parah, ia hanya ingin melanjutkan studi ke sekolah menengah, sementara aku sudah melewati semua itu, bahkan S1.
Awalnya
Semua berawal di tahun duaribu tujuh, tiga tahun lalu, ketika keinginan sekolah itu begitu menggebu. Hampir usai studi suamiku, sementara aku sudah butuh suasana baru. Anak-anakku beranjak besar, mereka tak lagi terlalu butuh perhatian. Aku rindu masa-masa itu. Masa-masa ketika otakku berjibaku dengan buku-buku. Rasanya, aku kembali memerlukan itu, karena sel-sel otakku seolah mulai kaku-kaku. Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat dan berilmu. Bukankah Allah meninggikan derajat orang yang berilmu? Tapi, aku harus menunggu. Tak mungkin aku sekolah di saat suamiku juga sekolah, anak-anak tetap harus menjadi perhatian nomor satu.
Sejak itu, mulai kugunakan waktuku untuk mencari informasi seputar studiku. Hampir setiap hari, selama berjam-jam aku ‘kelilingi’ situs-situs universitas di berbagai negara, terutama negara berbahasa Inggris. Amerika, Canada, Australia, Inggris, Singapura, semua tak luput dari pencarianku. Saat itu kami berencana, setelah sekolah selesai, suamiku akan mencoba bekerja di luar Belanda dan aku bisa melanjutkan studiku. Satu persatu aku baca persyaratannya. Sayangnya untuk dunia kedokteran, jalan begitu berliku. Selain mahal, jurusan yang aku mau, memberikan syarat macam-macam, sementara nilai-nilaiku pas-pasan. Saat itulah aku merasakan hal yang sama dengan anak pemulung itu, ‘Aku tidak pintar, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya anak pintar yang bisa sekolah?”
Eeh tunggu, ini ada sekolah di Inggris dengan jurusan yang aku mau dan tidak terlalu mensyaratkakn nilai-nilai, tapi bayarnya? Ampuun! Mahalnya ga kira-kira. Lagipula Inggris sekarang sangat mempersulit pendatang, termasuk pekerja yang melamar dari luar, suamiku tampak ogah-ogahan. “Ya sudah, gimana kalau di Belanda aja, siapa tahu lebih gampang karena kita sudah tinggal di sini cukup lama,” kata suamiku. Oke deh.
Kulupakan keinginan untuk bersekolah di luar Belanda, aku jelajahi satu persatu situs universitas di setiap kota di Belanda. Dan sialnya, kali ini umur yang jadi kendala. IB group, tempat yang mengurus soal pendidikan dan keringanan biaya, hanya memberikan bantuan biaya pendidikan dengan beragam syarat, salah satunya, usia tidak boleh lebih dari tiga puluh empat. Sementara ketika sekolah suamiku usai, usiaku sudah lewat tiga empat. Ggrh…aku betul-betul kesal. Hai dunia! Tak tahu kah kalian, bahwa umurku menjadi tua, karena aku punya tanggung jawab mengurus dua amanah dari Tuhan! Mereka masih sangat membutuhkan aku. Mengapa tak boleh aku berhenti sejenak lalu kembali? Hiks. Aku hanya bisa bergumam tergugu.“Aku tak lagi muda, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya yang berusia muda yang bisa sekolah?”
Tahun berlalu, dan aku masih mencari dan terus mencari tanpa hasil. Kalau begitu sekarang coba lewat program beasiswa. Sayangnya posisiku yang sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda menyulitkan aku. Kebanyakan program beasiswa seperti Stuned, Ford Fondation, Dikti dan lain-lainnya mensyaratkan aku harus menjadi penduduk Indonesia dan harus terikat kerja dengan sebuah lembaga. Lagi-lagi aku lemas. Bahkan untuk mendaftar beasiswa saja, jalanku tak lapang. Pintu meraih mimpi itu belum juga terbuka, padahal keinginanku untuk sekolah tetap menyala-nyala.
Hmm..kalau begitu coba sekarang lebarkan jurusan, supaya lebih banyak peluang. Okelah aku mencoba berdamai dengan keinginan. Kucari jurusan-jurusan lain yang kira-kira aku suka. Kujelajahi lagi internet berhari-hari, namun setelah menemukan jurusan, aku semakin kesal, karena ternyata, bagi pendatang yang bukan berasal dari Eropa, untuk sekolah di universitas Belanda biayanya berkali-kali lebih mahal daripada orang Eropa. Kalau orang Eropa hanya membayar 15 juta per tahun, orang non Eropa harus membayar seratus juta lebih pertahun. “Gilaaa! Uang darimana? Uang beasiswa suamiku pas-passan, pajak gaji suamiku juga tingginya ga karuan, gimana mau bisa nabung untuk bayar uang sebesar itu?” Kesalku.
Kadang aku jatuh dan putus harapan. Tapi kemudian ada saja kejadian-kejadian yang membuat semangatku kembali berkobar. Aku bukan percaya pada ramalan, tapi sebuah ramalan sempat menyemangati aku ketika itu. Suatu hari, ketika sedang bekerja di rumah seorang nyonya Belanda, saat sedang istirahat minum the, tiba-tiba si Nyonya meraih tanganku.”Aku pernah belajar ilmu melihat garis tangan,” katanya. Aku hanya tersenyum menganggap semua itu bualan. Diperhatikannya garis-garis tanganku lamat-lamat. Kadang matanya menyipit, kadang bibirnya tersenyum-senyum. Lalu dia menyebutkan hasil ramalannya. Salah satunya dia bilang,”Kamu nanti akan sekolah dan sukses dengannya.” Deg! Aku kaget setengah mati. Aku tak pernah mengatakan apapun padanya soal sekolah, dari mana dia tau bahwa aku akan sekolah. Tapi sampai di rumah aku hanya tertawa menceritakan ramalan itu pada suamiku meskipun sejujurnya, kadang ucapannya itu menyemangati aku.
Pelan-pelan aku bangkit dan lalu mencari lagi. Akhirnya aku mendapat kabar bahwa di Swedia, biaya sekolah gratis, bahasanya pun bahasa Inggris. Disana pun ada jurusan yang aku suka. “Sip, oke deh, aku coba melamar kerja disana,” kata suamiku. Beberapa bulan sebelum thesisnya selesai, suamiku lalu mencoba mengirim beberapa surat lamaran ke Swedia. Aku menunggu dan menunggu, berharap ada secercah harapan, hasilnya? Tidak diterima!
Hatiku seperti tertimpa batu. Pintu menuju mimpiku rasanya semakin terkunci rapat. ”Aku tidak kaya, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya orang kaya yang bisa sekolah?!” hiks hiks aku menangisi kejadian itu.”Kalau begitu bagaimana jika setelah selesai kita pulang dan Mama sekolah di Indonesia,” kata suamiku. Namun, suatu hal yang tak disangka-sangka tiba-tiba terjadi, kondisi itu membuat kami tak mungkin segera pulang. Untuk pulang sendirian, tetap saja tak mungkin karena biaya sekolah di Indonesia juga mahal, apalagi untuk orang seumur aku. Sementara, setelah lulus, suamiku harus mulai dari awal, mengeluarkan uang puluhan dan ratusan juta untuk sekolah hanyalah sebuah angan-angan.
Lagi-lagi aku terpaku. Menangisi nasibku, meringis pilu melihat dunia di sekitarku. Dalam kondisi seperti itu, aku hanya bisa merapal kekesalan.”Dunia tak adil! Aku yang ingin sekolah tak diberi kesempatan, sementara orang lain di luar sana, yang tak ingin sekolah malah bisa sekolah, yang berlimpah harta, dengan seenak-enaknya malah menghamburkan uang! Tuhan, dimana keadilan!” amarahku ketika itu. “Aku tidak pintar, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya anak pintar yang bisa sekolah?“ Aku tak lagi muda, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya yang berusia muda yang bisa sekolah? Aku tidak kaya, tapi aku ingin sekolah. Mengapa hanya orang kaya yang bisa sekolah?” Kalimat-kalimat itu kembali bertalu-talu mengitari aku. Pintu menuju mimpi itu rasanya sudah tak akan pernah terbuka bagiku. Setitik cahaya pun tak kutemukan. Melanjutkan sekolah bagiku menjadi seperti menatap langit tak berujung. Aku seperti pungguk yang sangat rindu pada bulan!
Secercah Harapan
Suamiku, padanyalah kulabuhkan segala hormat dan kekagumanku. Tak pernah sedetikpun ia melemahkan aku. Meski ia tahu batu besar sedang menghadang-hadang, selalu didukungnya aku, selalu disemangatinya aku. Ketika aku jatuh dalam keputus asaan, hanya bisa termangu seperti sang pungguk memandang rembulan, suamiku mencoba membangkitkan semangatku lalu bilang,”Siapkan saja semuanya, mendaftarlah ke sekolah yang Mama suka, semahal apapun biayanya, Ayah akan carikan, insya Allah pasti ada jalan.” What? Ada jalan? Cukup sulit bagiku untuk menerima perkataan itu. “Jalan apaan? Jalan dari mana? Semua jalan sudah kucoba dan semua buntu. Lagian uang sebanyak itu mau Ayah dapat darimana. Hidup di Belanda mana bisa kaya, nabung aja ga bisa, duit habis buat bayar pajak, asuransi, tagihan itu, tagihan ini, belum lagi bayar rumah yang mahalnya ampun-ampunan. Mau cari rumah murah, siap-siap aja nunggu tahun-tahunan. Kalau pun kita bisa jalan-jalan itu karena memang ambil jatah uang liburan, dan ga mungkin uang jalan itu kita simpan kan? Ngumpulin uang jalan-jalan juga tetep ga cukup buat bayar sekolah, lagian apa jadinya kalau aku harus mendekam di rumah terus-terusan setelah hidup dalam dunia abu-abu sepanjang tahun yang membosankan. Gggrh!” Emosiku menjadi-jadi, seperti desingan peluru berhamburan.
Tapi pelan-pelan suamiku meyakinkan,”Kita memang tak punya uang, tapi kita punya keyakinan, kita punya iman! Yakinlah, bahwa kalau dorongan semangat dalam diri itu berasal dari Tuhan, pasti Ia akan kasih jalan.” Lama-lama aku termakan. Kumohon petunjuk sepenuh hati agar dituntunNya aku pada niatan yang benar. Kuluruskan niat dalam diri, bahwa semua yang kukejar seharusnya hanyalah merupakan perpanjangan tangan Tuhan. Buat apa aku mengejar sesuatu yang cuma berasal dari nafsu setan, dan bukan dari Tuhan, bukankah itu sebuah kesia-siaan?
Akhirnya, aku bangkit lagi, kali ini dengan sebuah keyakinan, bahwa bila benar dorongan hati untuk sekolah ini jalan yang harus kutempuh menurut Tuhan, maka Ia akan membuka jalan dan memudahkan.
Aku pun mempersiapkan diri dan mendaftar, ke Royal Tropical Institute (KIT) di Amsterdam yang memiliki jurusan yang aku inginkan. Karena biaya sendiri, syaratnya tak rumit. Aku hanya perlu mengirimkan nama-nama orang yang merekomendasikan aku (tak perlu surat!), ijasah, transkip nilai, motivation letter , bahkan test Toefl pun bisa belakangan. Hasilnya, aku langsung diterima untuk mulai masuk di bulan Maret 2010. Aku senang, meskipun kalau mengingat uang yang harus dibayarkan, hatiku ketar ketir tak karuan. Bayangkan, aku harus membayar kurang lebih 9500 euro untuk awal modul dan selanjutnya 7000 euro untuk advance modul, belum lagi ongkos dan biaya hidup di dua negara luar Belanda selama masing-masing 3 dan 6 bulan yang semuanya harus dibayar dari kocek sendiri. Kalau aku total-total jumlahnya bisa mencapai lebih dari 20.000 euro alias 250 jutaan! Gila kan!
Uang darimana? Bahkan untuk biaya hidup saja pas-pasan. Tapi aku sudah kadung mendaftar dan diterima. “Uang dari mana Yah?” tanyaku lagi. “Udah gampang, nanti bisa pinjem bank,” jawab suamiku ringan. “Hmm oke pinjem bank, tapi gimana bayarnya? Apa kita mau tinggal disini sampe tua supaya bisa mencicil hutang-hutang?” Aagrh sakit kepala aku memikirkannya! “Udahlah ga usah dipikir sekarang, lagian siapa tahu usaha Ayah sukses dan kita bisa langsung bayar hutang itu nantinya,” katanya meyakinkan. Padahal aku tahu, usaha yang dirintisnya baru merangkak pelan-pelan, bagaimana bisa menghasilkan kalau berjalan saja belum, baru merangkak! Tapi yang membuatku bertahan adalah keyakinannya yang begitu besar, keyakinan yang selalu ditiup-tiupkannya padaku bahwa ‘Tuhan pasti akan memberi jalan’.
Hingga akhirnya, detik-detik untuk mengirimkan financial statement bahwa aku mampu membayar dan akan membayar uang sekolah sebulan sebelum hari H, tiba. Aku gelisah tapi tak mampu berbuat apa-apa, sampai suatu ketika, tiba-tiba saja aku berkunjung lagi ke situs troped erasmus, yang memberikan program beasiswa untuk program yang sama dengan yang kuambil di KIT Amsterdam. Sudah sedari dulu aku tahu program beasiswa itu, dan aku sangat ingin mendaftarkan diri. Tapi sayangnya, ada satu persyaratan yang membuatku mendaftar pun tak bisa. Beasiswa itu hanya diberikan pada orang-orang Eropa, atau non Eropa yang belum pernah tinggal lebih dari satu tahun di Eropa. Tentu saja aku tak bisa mendaftar karena aku sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda. Sebuah syarat yang sungguh menyakitkan hati, membuatku merasa gugur sebelum berperang.
Namun, di hari menjelang detik-detik penentuan pembayaran itu, aku kembali membuka situs itu. Iseng-iseng, aku baca lagi persyaratan untuk bisa mendaftar beasiswa Erasmus mundus. Deg! Jantungku seketika berdetak lebih cepat, mulutku ternganga-nganga saking tak percaya. Ya Allah, ya Robb, mereka merubah peraturan! Aku kucek-kucek mataku untuk meyakinkan bahwa aku tak salah membaca, ternyata betul, mereka merubah peraturan! “Ayaaah! Mereka merubah peraturan!” Segera ku telpon suamiku. Aku gembira bukan kepalang. Aku seperti mendapat secercah harapan dan tentu saja aku kegeeran. Koq bisa-bisanya di hari menjelang detik-detik penentuan pembayaran, tiba-tiba mereka merubah peraturan sesuai dengan kondisi aku. Mereka yang dulu tidak memperbolehkan orang non Eropa yang sudah pernah tinggal di Eropa lebih dari satu tahun untuk mendaftar, kini memperbolehkannya dan menyamakan statusnya dengan orang Eropa. Subhanallah! Aku seperti melihat Tuhan sedang tersenyum padaku dan mengangguk-angguk mengatakan bahwa perubahan ini spesial diberikanNya untukku! Ah..aku sungguh kegeeran!