21 Hours French Course

Meskipun baru tiba malam hari, besoknya aku harus segera mengikuti jadwal French course yang sudah diarrange hanya untukku dan Nina (sebut saja namanya begitu), teman sesama Erasmus scholarship asal Bosnia. Kami sudah saling mengenal selama di Berlin. Dia sangat cerdas dan mendapatkan predikat gold, siswa dengan performance terbaik di kelas sewaktu core course di Berlin. Aku belajar banyak darinya. Cara bicaranya yang lugas dan sangat lancar berbahasa Inggris seperti native, humor-humornya yang cerdas, cara dia menjelaskan sebuah topik dengan sangat jelas dan sistematis, aku harus bersyukur bisa bertemu dengan orang seperti dia. Meskipun sewaktu di Berlin kami tak terlalu dekat karena di awal pertemuan aku belum terbiasa dengan gayanya yang blak-blakan. Tapi private French course hanya berdua dengannya membuatku makin mengenalnya lebih dekat dan semakin membuka mataku bahwa banyak hal baik yang bisa aku serap dari dia. Mungkin karena itulah Tuhan mempertemukan aku dengannya.

Nina sangat cinta pada HIV topik. Dia bekerja sebagai dokter MSF dan ditempatkan di Myanmar. Aku banyak mendengar cerita soal Myanmar dan pengalamannya selama di sana. Setelah lulus master ini, dia sudah diposisikan sebagai advisor HIV-AIDS untuk tingkat nasional, sebuah karir yang sangat menjanjikan. Tapi posisi itu sungguh layak baginya mengingat kecerdasannya dan kepiawaiannya dalam bidang HIV dan AIDS.

Selasa jam 11 pagi, aku janjian bertemu dengannya di La place de la Victoire Bordeaux sebelum memulai French course jam 13.30. Aku suka sekali tempat ini, tempat seperti alun-alun lapang, dengan monumen menjulang di tengah ditemani patung kura-kura besar di sebelahnya. Patung kura-kura ini merupakan simbol kota Bordeaux. Entah bagaimana ceritanya yang jelas si kura-kura ini membawa anggur, yang menunjukkan simbol Wine, Bordeaux sebagai salah satu kota Wine terkenal di dunia.

Kami pun lalu memesan minuman di sebuah cafe. Aku pesan susu coklat, karena aku yang penggemar air putih ini ga doyan kopi atau minuman lain. Paling-paling susu atau jus. Nina sungguh orang yang sangat suka bersosialisasi. Aku memerhatikan gimana cara dia ngobrol, membicarakan sebuah topik dan memuji orang lain atau pun secara langsung bilang kalau dia tidak suka. Dia ga bisa lama-lama tinggal sendiri, karena itu dia mengajak aku ngopi, makan siang bareng di sebuah Vietnam restaurant dan jalan bareng sepanjang pedestrian street Bordeuox yang memanjang mulai dari La Victoire, lalu St Cathrine sampai ujungnya 1,2 km. Pedestrian street ini tempat paling asyik untuk shopping. Kata wikitravel, Bordeaux itu sering dibilang ‘Litle Paris’ karena di pedestrian street yang panjang itu kita bisa menemukan segala macam toko mulai dari produk Cina sampai produk mahal Paris dan dunia yang terkenal dan produk spesial buatan lokal Bordeaux. Di tempat ini juga kita bisa temukan cafe-cafe dan restaurant yang menyajikan segala rupa makanan.

French Course

Menjelang setengah dua siang, kami segera memasuki gedung tua Universitas Bordeaux 2 yang tak jauh dari si patung kura-kura. Meskipun tua tapi gedung ini megah dan artistik. Aku suka bangunan ini dibandingkan bangunan modern tempat nanti aku kuliah advance modul di ISPED (Institute Public Health Bordeaux).

Ruang kelas kami cukup besar, meja-meja di susun melingkar. Tapi karena muridnya Cuma dua orang, dosen kami memajukan meja dosen persis di depan kami. ‘Professor Bruno’ demikian nama guru bahasa Prancis kami. Orang Prancis memanggil guru dengan sebutan Profesor meskipun dia belum menjadi profesor atau masih muda. Profesor kami ini masih cukup muda, umurnya 41tahun. Orangnya pendek, berambut coklat dengan sedikit uban, berkacamata dan bermata coklat.

Ketika kami datang, dia hanya bilang ‘Bonjour’ lalu memberikan selembar kertas pada kami, tanpa memperkenalkan diri. Lalu dia pun langsung memulai kelas tanpa menyuruh kami memperkenalkan diri.Tapi rupanya, di kertas itu sudah ada contoh bagaimana cara menyebut nama, asal dari mana, status menikah atau single dan lain-lain. Jadilah hari itu kami belajar basic bahasa Prancis. At least sekarang aku bisa sedikit ngomong bahasa Prancis. “Je m’appelle Agnes, Je suis indonésienne, Je suis mariée”, lalu juga belajar tentang sapa menyapa ça va ? (how are you) dan jawabannya ça va bien. Oui dan Non (ya dan tidak) dan belajar betapa susah dan bedanya cara pengucapan dan cara penulisan dalam bahasa Prancis.

Biasanya course bahasa Prancis ini meskipun jatahnya hanya 21 jam, tapi diberikan dalam waktu seminggu untuk Erasmus student. Tapi karena semua serba emergency, entah gimana kami Cuma dikasih waktu 3 hari. Jadi hari Selasa course mulai dari jam setengah dua siang sampai setengah delapan malam. Hari Rabu mulai jam 8 pagi sampai setengah delapan malam, dan hari terakhir mulai jam 8 pagi sampai jam 12 siang. So kebayang kan betapa didedetnya otak kami dengan pelajaran bahasa Prancis yang susah itu berjam-jam. Untungnya karena sudah terbiasa dapat intensive course selama di Berlin ga terlalu masalah bagi kami.

Aku hanya sempat kuatir tampak bodoh karena aku hanya berdua Nina yang begitu cemerlang. Untungnya aku bisa mengikuti temponya Nina, meskipun kalau lagi latihan soal, dia ngerjainnya cepet setengah mati. Aku pasti ketinggalan dan harus ditungguin. Tapi untungnya jawaban-jawaban aku sering benernya, ga memalukan lah. Malah di akhir course Bruno bilang, Tahun-tahun sebelumnya aku ga pernah ngajar sampai sejauh ini memperkenalkan kalian pada semua jenis makanan. Tapi kalian pinter-pinter, inget semua yang aku terangin jadi kita bisa cepet majunya. Wuah aku mesam mesem dong kesenengan karena bisa dianggap pinter kaya Nina, moga-moga aja pinternya dia beneran nular ke aku seterusnya hehe.

Intinya 3 hari itu kami belajar semacam survival kit gimana bisa hidup di French karena kebanyakan mereka ga bisa bahasa Inggris. Kami belajar tentang perkenalan, sapaan, makanan, gimana cara pesan makanan, transportasi, gimana cara tanya jalan, intinya bener-bener untuk survival kit. Yang paling ajaib, waktu belajar angka-angka. Untuk angka 17 misalnya mereka bilangnya 10-7, jadi dix-sept, pronouncenya dis-set. Untuk 81 misalnya, mereka bilangnya quatre-vingt-un (40-20-1), untuk 75 mereka bilangnya soixante-quinze (60-15), pronouncenya swason-kenz. Wuih pokoknya pabaliut lah, apalagi kalo Bruno udah minta dikte nombre. Dia ngomong cepet banget kita suruh catet nomernya, dengan logatnya yang kentel banget French itu, ya iya lah, susah nangkepnya kadang.

French Food

Yang paling seru buat kami adalah saat belajar tentang makanan. Kami diajari tentang jenis-jenis keju (formage), apa yang paling terkenal. Ada keju yang tipical saat akhir winter dan awal musim semi, ada keju tua, muda, ada keju lembek dan lain-lain yang harganya juga segala rupa. Aku hanya mencatat keju khas Bordeaux yaitu ‘Asoa Iraty

Bagaimana memilih wine, ada red wine ada white wine dan Bruno menganjurkan untuk beli white wine karena itu lebih khas Bordeaux. Rasanya pun ada dua, ada yang rasa buah ada yang rasa obat. Dan katanya kita musti mendidik lidah kita supaya bisa membedakan mana wine yang bagus dan enggak. Aku yang ga minum wine Cuma jadi pendengar setia, sementara Nina dengan antusias bertanya soal wine ini. Yang bikin kami surprise, ada wine yang harganya satu botol 160 euro alias 2 juta ! Karena wine ini umurnya tua banget dibuat tahun 1945, gilee !

Di hari terakhir Bruno bahkan mengajak kami ke pasar Capucin. ‘Ayo pake jacket kalian, katanya’. Awalnya kami bingung, tapi ternyata setelah sehari sebelumnya belajar tentang jenis-jenis makanan kami bener-bener diajak liat langsung ke pasar.

Aku exited banget sesampainya di pasar, aku tea penggemar pasar tradisional. Dengan noraknya aku langsung bilang ke Bruno ‘Aku boleh ambil foto ga’. Untungnya ga ada masalah. Aku dan Nina terheran-heran ngeliat segala macam binatang tersedia di pasar mulai dari babi, sapi, kambing, kelinci, burung, angsa, bebek, ayam, disajikan dengan berbagai macam. Ada kelinci (lapin) yang sudah dikuliti sebadan-badan tanpa kepala, ada ayam dikuliti beserta kepala, bahkan ada sosis bebek dan sosis kelinci! Waah baru kali ini aku nemu daging bebek dan daging kelinci dibuat sosis. “Orang Prancis itu kaya barbar, segala dimakan,” kata Bruno yang senyum-senyum ngeliat kami yang bengong.

Memang betul juga sih, selain binatang diatas, ada juga daging kodok, siput, dan segala macam seafood. Nah kalo seafood aku demen banget. Yang paling khas Bordeaux adalah ‘huitres’ (pronounce: witr). Biasanya di pasar-pasar tertentu banyak yang jual kerang ini dan ajaibnya ini kerang dimakan hidup-hidup ga pake dimakan.”Jadi, hati-hati makannya,” kata Bruno.”Baiknya dikunyah dulu, karena langsung ketelen, kita bisa sakit perut. Ga sakit amat sih, tapi ada yang gerak-gerak di perut kita.” Ya bayangin aja nelen makhluk hidup gitu loh hehe.

Seafood di Bordeaux relatif lebih murah daripada di Belanda. Mackarel sekilo bisa Cuma 3 euro, udang, cumi dan macem-macem jenis ikan juga murah-murah, slruuup jadi pengen masak pokoknya liatnya. Yang jelas aku dan Nina udah sepakat mau nyobain segala macam jenis seafood ini, mungkin tiap weekend, jadi aku udah siap-siap bangkrut untuk kuliner di Bordeaux he.

Kami juga terbengong-bengong liat segala macam jenis kue di toko kue. ‘Gateau’ atau cake udah biasa, tapi ini ada sepotong kue bentuknya kaya setengah bola atasnya gosong, sengaja dibuat gosong dan bawahnya warna cake kuning biasa. Harganya 2,8 euro. Nina segera membelinya karena penasaran, dan ternyata itu semacam kue keju tapi dengan rasa gosong, enak banget! Namanya aku lupa, nanti deh aku bikin tulisan special soal French culinaire. Soalnya macem-macem banget ada ‘bask’ dan ‘eclair’ yang special French juga, bentuknya juga lucu-lucu dan unik, bikin aku pengen explore makanan Bordeaux juga. Duile kapan belajarnya hehe.

Sesudah dari pasar, Bruno ngajarin kami soal arah, kanan kiri, gimana tanya jalan. Intinya 21 jam French course berguna banget, Cuma sayangnya aku dah lupa lagi haha. Sebab banyak banget yang kami dapat dalam 21 jam dan kalo ga dipake ya lupa. At least aku coba pake dikit-dikit lah. Waktu beli ticket bus pagi-pagi, aku bilang ke supirnya,”Je voudrais un ticket s’il vous plaît (aku mau beli ticket satu biji)’ Jiaah udah berasa tambah sexy aja udah bisa ngomong Prancis hehe, soalnya kata temenku bahasa Prancis itu sexy kalo bisa ngomong Prancis tambah sexy dah wkwkwk. Duh banyak banget pokoknya yang pengen ditulis soal Bordeaux, tapi bentrok sama tugas-tugas dan jalan-jalan. Sementara segini dulu deh, aku mau pergi ngafe sama temen-temen mala mini. Mereka mau cobain segala macam jenis wine. Aku cukup ngejus aja, yang penting tetep gaul dan siapa tau bisa belajar sesuatu dari mereka. À bientôt!