Aku tiba di kota ini pukul 7 malam hari. Seperti sebelumnya, lagi-lagi kereta Thalys yang aku tumpangi dari Amsterdam-Paris delayed, kali ini 1 jam 10 menit. Alhasil aku tak berhasil mengikuti kereta berikutnya ke Bordeaux sesuai jadwal. Tapi karena sebelumnya sudah pengalaman, untuk mengantisipasi keterlambatan ini aku pergi dari Amsterdam jam 9 pagi, biarpun telat aku masih punya banyak pilihan untuk naik kereta berikutnya.
Sampai Gare St-Jean, berhubung sudah malam, aku segera membeli sandwich untuk makan malam, dan duh sakit hati, aku harus membayar 6 euro untuk salad dan sandwich. I miss Berlin huhuhu batinku mengingat Berlin, ibu kota dengan biaya hidup termurah di Eropa.
Berhubung, kos-kosanku sedikit di luar Bordeaux, hanya 4 km sebetulnya, tapi bukan lagi termasuk Bordeaux, nama daerahnya Talence, dan bawaanku pun 2 koper, satu besar dan kecil, aku memutuskan untuk naik taksi. Abang supirnya baik banget, meskipun bahasa Inggrisnya minim. Tapi dia ngajak aku ngobrol tanya asalku dari mana, apa ibu kota Indonesia, dan ketika aku balik tanya, dia ga bisa jawab karena bahasa Inggrisnya yang terbatas. Meski asli Prancis tapi rambutnya coklat, matanya juga coklat lebih mirip orang Maroko, tapi katanya dia asli dari Prancis, aku lupa nama kotanya.
Akhirnya dalam 15 menit sampailah kami di Rue Frederic Sevene, Talence. Tempatnya sepii seperti di Diemen. Aku sudah terbiasa jadi no problem. Aku segera turun, membayar 20 Euro untuk taksi dan memencet bel rumah tua berpagar pendek. Aku hanya berdoa semoga landlordku baik, membukakan pinttu dan mengijinkan aku masuk dan menunjukkan kamarku.
Benar saja, tak lama seorang pria tua sedikit gemuk dan berkacamata keluar membukakan pintu. Rambutnya sudah putih semua, agak botak di bagian depan.’ Monsier Reymand, I am Agnes who wants to rent your room.” Aku jabat tangannya sambil tersenyum dan bicara dalam bahasa Inggris, tapi dia ga ngerti cuma bilang ‘Bonjour’. Tapi karena sebelumnya kami sudah janjian (via temanku Marisa orang Spain yang pintar berbahasa Prancis) bahwa aku akan datang sekira jam 7 atau 8 malam, dia pun langsung mengerti dan menunjukkan kamarku. Orangnya baik tapi asli ga bisa bahasa Inggris. Aku ga mudeng blas apa yang dia omongin, alhasil kami ngomong pake bahasa tarsan.
Memasuki kamarku, aku rada feeling ga enak, karena tiba-tiba dingin begitu menyergapku. Yup kamarku dingin setengah mati. Melihat barang-barang dan bau kamarnya, rasanya umurnya sudah ratusan tahun melebihi umur si Monsier. Lantai kamar ini mengingatkan aku pada lantai kamar mandi, ubin bermotif kotak-kotak kecil warna warni. Aku lebih suka lantai kayu. Tapi it’s okay. Kamarku cukup luas, ada bed untuk 1 orang, meja cukup besar dan kursinya, beberapa lemari tua, dan 1 lemari baru. Aku juga punya wastafel di dalam kamar. Kamar mandi, WC dan dapur yang semua mungil ada di luar kamarku dan kami memakainya bertiga bersama 3 orang penghuni kos lain.
Tempat tidurku berseprai berwarna orange, dan Monsier Reymand sudah menyiapkan selimut sesuai pesananku, tapi bau tua juga tercium dari selimut itu. Bersih dan sudah dicusi sih tampaknya, cuma seperti disimpan dalam lemari bertahun-tahun. Tapi tak apalah aku cukup okay dengan kamar ini, bisa merasakan tinggal di rumah orang asli Prancis yang betul-betul tua. Tapi masalahnya aku sungguh ga tahan dengan dinginnya kamar ini. Aku menggigil dan sulit tidur meski sudah memakai baju dobel dan selimut dobel.
Aku segera sms Marisa, minta tolong supaya dia bilang ke si Monsier untuk menyalakan heater karena heaternya ga anget dan rupanya dimatiin setelah jam 11 malam. Aku juga minta supaya segera ada koneksi internet. Aku sempat ingin pindah dari tempat itu karena 2 hari aku ga bisa tidur saking dinginnya. Untungnya Marisa sangat menolongku, di kirimnya email dengan sangat sopan dan malam ketiga kamarku sudah mulai menghangat. Si Monsier pun meletakkan selimut tambahan di depan kamarku, yang lagi-lagi bau lemari tua. Tapi dia baik hati, lagipula dia setua ayahku. Aku jadi tak tega untuk komplain atau pindah.
Masalah kedinginan solved, tinggal internet. Marisa dan Deborah secretaris programku sampai bela-belain datang ke rumah si Monsier kemarin untuk mencari security code internet dan juga menyelesaikan masalah administrasi. Deborah juga berusaha bilang bahwa ada perubahan rencana, aku hanya akan menyewa kamar ini sampai akhir April karena aku harus ke Indonsia untuk penelitian. Rencana awal setelah dari Indonesia aku akan balik lagi kemari sampai thesisku selesai, tapi mengingat kamar yang buatku ga terlalu nyaman ini plus apa-apa di Bordeaux mahal, aku memutuskan untuk mengerjakan thesisku di Amsterdam dan balik sekali-kali ke Bordeaux kalau aku perlu ketemu supervisorku. Awalnya si bapak tua kecewa, tapi akhirnya bisa menerima. Alhamdulillah semua problem solved. Tinggal masalah laundry karena rupanya ga ada mesin cuci untuk anak kos, kami harus pergi ke laundry yang lumayan jauh, karena supermarket juga rada jauh 15 menit jalan. Sebetulnya kalau ada sepeda semua jadi gampang banget, jadi no problem juga. Aku tinggal perlu hunting beli sepeda.
Begitulah kondisi kamar kos ku, milik bapak tua yang hanya tinggal sendiri bersama kucingnya. Transportasi ke Bordeaux ga ada masalah, halte bus ‘Lafontaine’ ke arah Bordeaux de la Victoire Cuma 100 meter dari rumah. Tapi kalau ke kampusku jalannya rada muter-muter dengan angkutan umum, padahal hanya 10 menit kalau naik sepeda. Jadi aku betul-betul memerlukan sepeda. Bordeaux adalah kota kecil yang datar, kemana-mana bisa naik sepeda. Aku sudah tidak sabar untuk bisa explore Bordeaux memakai sepeda, apalagi sebentar lagi spring. Hmm…aku sungguh exiting !