Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Juni 2005
“Apa memang penyakit batuk-pilek anak saya memerlukan antibiotik, dok?” Seorang pasien yang kritis mencoba bertanya pada dokter yang ia kunjungi. Dengan entengnya sang dokter menjawab “Lho, yang dokter itu siapa, kamu atau saya? Sudah, tak usah banyak tanya deh, yang penting anakmu sembuh kan?”
Bila mengalami kejadian seperti itu, pasien yang tidak paham kadang malah ‘memaksa’ dokter untuk memberikan antibiotik. “Kenapa anak saya tak diberi antibiotik, dok? Nanti kalau nggak sembuh-sembuh bagaimana?” Akhirnya, lantaran khawatir ‘ditinggal’ pasien-pasiennya, sang dokter pun meresepkan antibiotik yang sebenarnya tidak perlu.
KENYATAAN tersebut masih kerap terjadi di negara kita. Hanya segelintir dokter yang telah menganut konsep partnership atau kemitraan dengan pasiennya. Masih banyak dokter yang pelit waktu, untuk memberikan pennjelasan kepada pasien, atau malah menganggap pasien tidak perlu tahu apa-apa. Alhasil, dokter bahkan tidak senang dengan pasien yang kritis dan ceriwis. Padahal konsumen kesehatan memiliki hak untuk memeroleh penjelasan yang benar dan objektif. Lagipula di zaman modern seperti sekarang ini, sudah saatnya konsumen kesehatan bersifat proaktif. Informasi tentang kesehatan yang benar pun sangat mudah diperoleh melalui berbagai media. Pasien yang kritis dan terpelajar, bisa saja datang dengan sebundel artikel yang diambilnya dari situs-situs kesehatan terpercaya di internet misalnya.
Di lain pihak, banyak pula dijumpai, pasien yang salah kaprah, atau pasien yang hanya manggut-manggut, segan bertanya dan pasrah saja dengan apa yang dikatakan dokter. Dokter Purnamawati S Pujiarto, SpAK, MMPed, dari FKUI, dalam salah satu uraiannya yang berjudul ‘Commons Problem in Pediatrics’ mengatakan, ketidaktahuan pasien kadang malah dibiarkan saja oleh kalangan medis. Padahal tugas seorang dokter sesungguhnya tidak hanya mengobati pasien saja (kuratif), tapi juga memberikan pengetahuan yang benar, misalnya melalui penyuluhan kesehatan (promotif), mengupayakan pencegahan penyakit (preventif) dan juga mencegah kecacatan (rehabilitatif).
Kondisi-kondisi itulah yang mempersulit penggunaan antibiotik secara rasional di dunia kesehatan. Keberhasilan pemakaian obat yang rasional bukan hanya bergantung kepada dokter, tapi juga kepada pasien sebagai konsumen kesehatan dan industri obat-obatan. Pasien yang aktif menangani masalah kesehatannya sesungguhnya akan sangat membantu kinerja dokter untuk tetap memegang prinsip pengobatan rasional.
Kasus yang sering terjadi, contohnya adalah penggunaan antibiotik untuk penyakit flu atau batuk-pilek biasa (common cold) pada bayi dan anak-anak. Penyakit ini 95 % disebabkan oleh virus, sehingga pemberian antibiotik tak ada gunanya. Antibiotik hanya diperlukan bagi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini sangat umum terjadi pada anak-anak. Bahkan menurut penelitian, dalam setahun seorang anak bisa menderita flu atau common colds sebanyak 8 hingga 12 kali. Dan itu merupakan hal yang normal. Tentu saja ada pengecualian, yaitu bagi bayi-bayi yang berusia di bawah 3 bulan. Pada bayi-bayi ini, gejala flu atau common cold malah bisa berkembang dengan cepat menjadi penyakit yang serius seperti bronchiolitis atau pneumonia. Karena itu, untuk bayi berusia di bawah 3 bulan, penyakit batuk pilek biasa tetap perlu mendapat perhatian khusus.
Penyakit ini biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Gejala yang menyertai flu atau common cold seperti demam, bersin, batuk, pilek yang tak henti-henti memang kadang tampak mengkhawatirkan. Apalagi bila anak mengalami batuk tak henti-hentinya disertai muntah. Tak heran bila akhirnya orang tua membawa anaknya ke dokter karena cemas. Ketidaktahuan orang tua bahwa penyakit batuk-pilek biasa ini disebabkan oleh virus, sering membuat orang tua panik dan segera membawa anaknya ke dokter. Penelitian di Amerika bahkan menyebutkan, setiap tahun terdapat 25 juta kunjungan ke dokter dan ke ruang gawat darurat karena common cold, yang sebetulnya tidak perlu. Parahnya, kecemasan tersebut kerap mengakibatkan orang tua meminta dokter memberikan antibiotik kepada anak-anaknya.
Bahaya Pemberian Antibiotik Irasional
Sebetulnya apa sih bahaya pemberian antibiotik yang tidak rasional ini? Bila antibiotik digunakan terus-menerus dengan tidak rasional dan berlebihan, ternyata bakteri resisten malah akan semakin berkembang. Alhasil, berbagai infeksi yang disebabkan bakteri-bakteri tersebut tak akan berespons lagi dengan obat sejenis. Penyakit-penyakit akan berlangsung lebih lama, risiko komplikasi bahkan kematian pun akan meningkat. Parahnya, bakteri bisa bermutasi sangat cepat melebihi kecepatan para peneliti yang berusaha menemukan antibiotik baru. Akibatnya, besar kemungkinan suatu hari nanti akan berkembang suatu jenis bakteri resisten yang sangat mematikan, namun tidak ada satupun obat yang dapat mematikannya. Sungguh menyeramkan bukan?
Dampak lainnya, lantaran penyakit berlangsung lebih lama, maka biaya yang dikeluarkan pun akan semakin meningkat. Menurut WHO (World Health Organization), peningkatan ini terutama dikeluarkan untuk ongkos tes laboratorium, biaya perawatan di rumah sakit, dan biaya kehilangan pendapatan akibat bolos kerja. Dan bila ternyata infeksi tidak lagi bisa diobati karena telah terjadi resistensi obat, maka dibutuhkan jenis antibiotik lain yang lebih paten. Antibiotik jenis ini biasanya harus dimasukkan lewat injeksi. Tentu saja harga antibiotik via injeksi lebih mahal ketimbang obat minum. Alhasil, biaya yang dikeluarkan pun kian membengkak.
Berkaitan dengan peyakit batuk pilek pada anak, Prof Iwan Darmansjah, ahli farmakologi dari FKUI, dalam salah satu tulisannya menyebutkan, selain mubazir, pemberian antibiotik kadang-kadang justru menimbulkan efek samping yang berbahaya. Kalau dikatakan akan mempercepat penyembuhan pun tidak, karena penyakit virus memang bakal sembuh dalam beberapa hari, dengan atau tanpa antibiotik. Hal ini telah dibuktikan dengan studi terkontrol-membandingkan dengan plasebo, alias obat bohong-berulang kali sejak ditemukannya antibiotik di tahun 1950-1960-an. Hasilnya selalu sama sehingga tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya malah menurun.
Pengobatan flu atau common cold di rumah
American Academy of Pediatrics (AAP) menegaskan, tidak ada obat untuk kasus ini. Antibiotik tidak boleh diberikan karena tidak akan berefek apapun. Perhatian dan kasih sayang dari orang tua lah yang merupakan obat terbaik. Sehingga AAP menganjurkan agar orang tua cukup menciptakan kondisi yang paling nyaman bagi anak. Hidung mampet yang biasanya diderita anak akan menyebabkan anak bernafas lewat mulut. Akibatnya mulut dan tenggorokan anak menjadi kering. Untuk itu anak perlu diberi banyak jus buah-buahan dan cairan, sedikit tak apa asalkan sering. Dalam keadaan sakit, umumnya anak akan kehilangan nafsu makan. Walaupun hanya sedikit makanan yang masuk, tapi yakinkan bahwa kebutuhan makan mereka tercukupi.
Air garam steril bisa diberikan sebagai tetes hidung, agar ingus menjadi encer dan tidak lagi menyumbat jalan napas. Air garam steril ini tidak akan menimbulkan efek samping. Menghirup uap air panas juga akan meringankan keluhan flu pada anak. Cara lainnya, bila anak tak dapat tidur di malam hari karena hidung tersumbat, orangtua dapat memberikan tetes hidung (breathy) untuk menghilangkan pembengkakan di dalam hidung. AC ruangan pun perlu dimatikan. Kalau perlu setelah anak tidur, letakkan satu ember berisi air mendidih untuk menjaga agar udara ruangan tidak kering.
Langkah terbaik untuk pencegah tertularnya penyakit ini adalah dengan mencuci tangan sesering mungkin, dan sebisa mungkin menghindari penderita flu. Namun bila demam anak tak kunjung turun setelah lebih dari 3 hari (72 jam), orangtua perlu mengunjungi dokter. Selain itu bila terdapat gejala sesak napas, kuku dan bibir tampak biru, anak menjadi luar biasa rewel atau sangat mengantuk hingga tak bisa dibangunkan, orang tua juga harus segera membawa anaknya ke dokter.
Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa flu atau common cold tak memerlukan pengobatan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang berlebihan atau tidak pada tempatnya memang menjadi salah satu kendala utama dalam penggunaan obat rasional di Indonesia. Permasalahan antibiotik ini sungguh runyam dan tak ada habisnya. Namun bila konsumen kesehatan menjadi proaktif, berusaha mencari informasi yang benar mengenai penyakit anaknya dan mulai banyak bertanya pada dokternya, mudah-mudahan akan membantu dokter agar tetap memegang prinsip pengobatan rasional.
Orang tua berhak mengajukan pertanyaan kepada dokter tentang penyakit yang diderita anak, apa penyebabnya, dan bagaimana tata laksananya. Pertanyaan seputar obat dan efek samping obat juga perlu diketahui agar anak tak jadi korban kesalahan pengobatan yang tidak rasional. Dokter yang informatif dan rela menyediakan waktu, demi memberikan pengetahuan yang benar kepada pasien pun sungguh diperlukan. Kerjasama antara pasien yang aktif dan dokter yang informatif semacam inilah yang setidaknya akan membantu keberhasilan pengobatan rasional di Indonesia. (Agnes Tri Harjaningrum, dr.)***
Ass. Bun..seperti biasa mau aku “culik” artikel ini ya…boleh ya…udah tak masukin di darft blog niy..(huwadoh maksa). Makasih Bun…Wass
Teteh Agnes, berkaitan dengan dokter seharusnya menjadi mitra bagi pasien ita setuju sekale. Dulu waktu anak pertama (kaka alief) usia 4 bulan pernah panas sampai 41c trus kejang, walhasil di rawat di RS balikpapan selama 2 minggu, menghabiskan 14 botol inpus dan berbagai jenis obat yang disuntikan. Untuk nyari informasi tentang penyakit kaka susah banget, informasi kebanyakan kita dapat dari suster yang kita bujuk, diagnosa penyakitpun simpang siur (dokterna oge rada bingung..) ada yang bilang ensapilitis/radang otak,panas biasa dll bahkan salah satu suster sampe tega bilang ntar kaka alief bisa idiot. aduh… sediih banget. kaka akhirnya keluar rs masih dalam keadaan panas (da disuruh pulang, malamnya demam masih 39 c, esok hari kita bawa ke tukang urut (ktnya masuk angin biasa) subhanallah.. Allah Maha Besar .. langsung dingin dan enggak demam lagi. Lima bulan terakhir, bila anak-anak demam.. sebelum dibawa ke dokter, biasanya ita kasih madu aja sehari 3x Alhamdulillah cocok, dan demam tidak berlanjut. Teh.. pls advise tentang madu ini dari sisi kedokteran.
thanks and sorry kepanjangan
ita
Ta, tentang madu, kalo dr sisi kedokteran, sebaiknya anak dibawah umur 1 thn nggak dikasih madu, krn biasanya banyak madu yg terkontaminasi bakteri, dan krn anak dibawah 1 thn daya thn tubuh msh rentan bahaya gitu lo. Trus kalo tetep mau coba ya sebaiknya bener2 cari madu yg teruji. Intinya sih begitu aja, kalo mau panjangnya artikelnya jg ada panjang hehe…
Teh Agnes met kenal…
Blognya seru dan lengkap bgt. Artikel di atas emang benar, Flu tidak dengan Antibiotika. Saya telah mencoba menerapkannya dengan anak saya Daffa, alhamdullilah teh BERHASIL.
Hai Dinny,
Salam kenal jg ya. Wah selamat deh kalo gitu, memang iya, aku sendiri malah berhasilnya telat hehe, dulu pas kecil anak2ku malah aku cekokin obat terus, gaya dokter Indo lah :-) Ternyata nggak pake obat hasilnya lebih oke, sekarang mereka jarang banget sakit. Kita populerin ini yuk ke orang2 terdekat kita :-)
Setuju Teh Agnes… Sering-sering kirim artikel Ke PR lage Teh, saya kliping lo…
Saya link ya websitenya teh Agnes, hatur nuhun.
Hello
Salam kenal Mbak Agnes.
Saya ngintip blog Anda, ketika saya browsing karya2 Mohammad Diponegoro, yang kebetulan Bapak saya sendiri… eh jadi ingin baca tulisan2 Anda yang lain.
Soal flu, sejak kecil Ibu saya jarang membawa anak-anaknya ke dokter, kalau sedang flu. Alhamdulillah kami berdelapan, sampai sekarang udah di atas 30 tahun semua, sehat wal afiat.
Saya punya pengalaman buruk dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit kita. Anak saya kena panas dan kejang, sampai semalaman, hanya ditangani dengan pemberian infus, lalu ditinggalin begitu saja di kamar opnamenya. Baru esok harinya ditengok lagi oleh dokter anak, yang menyatakan anak saya radang tenggorokan. Diberi resep antibiotik oral, padahal jelas2 anaknya dalam kondisi tidak sadar. Saya sudah protes, tapi suster bilang saya harus menunggu dokternya menengok lagi keesokan harinya.
Esok harinya, diagnosa berubah drastis, kata dokter anak saya kena encephalitis… Nasi sudah jadi bubur, anak saya baru sadar 3 hari kemudian, opname berlanjut sampai 21 hari. Sepulang dari rumah sakit, anak saya yang waktu itu berusia 2 tahun, sudah kehilangan semua kemampuannya. Dia kembali seperti bayi usia 1 bulan.
Sekarang anak saya mengikuti 3 terapi : fisio theraphy, terapi okupasi, dan speech theraphy.
teh agnes, thanks bgt buat artikelnya! bermanfaat bgt, terutama bg ndah yang masih dalam tahap pendidikan tuk jd dokter yg baik! teh, ndah mau nanya nich, td teteh da singgung masalah pasien/keluarganya yang suka memaksa dokter untuk melakukan ini dan itu supaya pasien cepat sembuh!padahal yg disuruhnya itu hanya akan memperparah keadaan pasien! jd menurut teteh gmana sich ngadepin pasien yang suka maksa?
Hai indah, tx sudah berkungjung :-)
Ngadepin pasien yang suka maksa, koncinya komunikasi say. Memang gampang diucapkan tp susah dipraktekkan. Apalagi untuk orang2 yang karakternya sulit, egonya menang sendiri. Aku akui di Indo memang jadi jauh lebih sulit. Tapi dengan empati, dan gaya komunikasi yang baik, mudah2an berhasil ya. Mestinya ada mata kuliah cara berkomunikasi ini dalam kurikulum. Klo ga salah katanya bakal ada untuk mahasiswa2 baru. Kalaupun ga ada, mungkin bisa belajar dari baca2 ya. Atau ikut training komunikasi dari yayasan kita dan buah hati, lho koq malah promo hehe. Maksud aku intinya dari training komunikasi itu bisa jg kita pake ke pasien dan ke orang lain. Pake cara mendengar aktif, akui perasaannya dulu, kontak mata, bahasa tubuh oke, dll. Lalu setelah emosi nya jadi positif, baru kita kasih ‘nasehat’, kenapa begini kenapa begitu. Teorinya begitu, moga2 aku pun ga sekedar berteori nih. Yuk sama2 kita coba.
Oke semoga sukses ya :-)
Dear Mba Agnes
apakah Mba Agnes bisa memberikan referensi obat untuk batuk pilek pada anak , anak sy umurnya 14 bulan??
hatur nuhun
Dear Pa Dudung, sebetulnya batuk pilek kebanyakan disebabkan virus, jadi ga perlu obat kecuali klo ada tanda2 infeksi bakteri, bisa dibaca lengkapnya di tulisan saya. Aplg klo anaknya masih petakilan wait n see aja, biasanya sembuh sendiri ko. Yang penting banyak minum. Lalu kalo hidungnya mampet paling dikasih Breathy. Lengkapnya sila baca artikelnya ya pak :-)
agnes
Satulagi kebiasaan jelek dokter anak kiat terutama jogja nih…kalau diliat mata(!) anak keliatan kurus dan ada keluahan batuk pilek terus, so disuruh rontgen. Bila hasil rontgen ada flek(tampilan putih di paru maka tervonislah si anak tersebut menderita flek paru kata dokter dokter itu…alias TBC paru kata bunda bunda yang cerdas. Kan nggak gitu ya…harus dgn tes mantoux kan? tlg saya pengen tahu banyak prosedur sebelum si anak bener kena TBC paru dan tes mantouxitu yang diambil apanya?jaringan atau darah atau apa??saya gemes karena banyak dokter yang semena2 kasih minum abat abc selama 6 bulan…bahkan setahun hanya dgn tes paru aja…please ada yang bisa jawab nggak untuk keingintahuan saya tentang tes tes mantoux dan TBC paru….terimakasih banyak. Ohya masa sekrang internet lebih bersahabat menemani kita bila ananda sakit daripada dokter anak, teruatam di jogja
salam kenal mbak agnes,
mau tanya nih, apa kasus tersebut hanya khusus bagi anak2 aja?
gimana kalau batuk-pilek biasa (common cold) yg menyerang orang dewasa, usia 20th ke atas, tp sama dokter tetap dikasih antibiotik juga, apakah antibiotik tsb tetap harus di minum? apakah harus dihentikan jika terlanjur sudah di minum?
mohon jawabannya ya mbak agnes, thanks..
sukses selalu bt mbak agnes