Bercelana pendek dan hanya berkaus singlet, diterpa sepoi angin musim panas, Aik berdiri di atas bangku kecil berwarna merah, kuning dan biru sore tadi. Dengan riangnya berkali-kali ia melempar sesuatu dari dinding teras lantai 2 flat rumah kami ke arah bawah. Kepuasan selalu tampak diwajahnya, saat melihat benda yang dilemparnya melayang di udara lalu mendarat di atas tanah. Lala, kakak perempuannya, tiba-tiba datang menghampiri, dan mereka pun asyik bercengkrama, tertawa bersama. Hingga akhirnya ayah mereka datang menghentikan sejenak keceriaan mereka.
“Siapa ya yang sudah mengeluarkan baju-baju kotor ini dan mengambil keranjangnya?” tanya ayah sambil menunjuk ke arah baju-baju kotor yang berserakan di lantai.
“Aik!” sahut Lala.
“Mbak Lala!” Aik tak mau kalah.
“Aik yah, betul-betul Aik” wajah Lala meyakinkan ayahnya.
“Ayo, ayah mau anak ayah jujur, kalo nggak ada yang ngaku begini kan ayah bingung. Yang sudah berbuat harus bertanggungjawab beresin lagi. Siapa tadi yang ngeluarin baju-baju kotor ini dari tempatnya?”
“Mbak Lala!”
“Aik!”
“Mbak Lala!”
“Aik!”
Suara mereka nyaring terdengar saling menyalahkan tak ada hentinya.
Ayah mereka segera bertindak. “Eh, Allah itu maha tau lho. Walaupun ayah tadi nggak lihat siapa yang melakukan, tapi Allah tau. Allah akan sangat sayang sama anak yang jujur. Ayo Aik, siapa tadi yang ngeluarin baju dari keranjang?”
“Mbak Lala!” kata Aik meyakinkan.
“Bukan mbak Lala! Aik yah, Aik itu bohong!” si kakak mulai meradang.
Dengan polosnya Aik berbohong. Aik memang cerdik. Dia sebenarnya sedang tidak mau mengembalikan baju-baju kotor itu. Pertanyaan ayahnya tampaknya dia pertimbangkan benar. Dia tahu, kalau dia bilang iya, artinya dia harus mengembalikan baju-baju itu ketempatnya. Karena dia sedang tidak mau, berbohonglah ia sebagai jalan yang paling mudah. Anak seumur itu memang lagi umurnya sa’enak-e dewe, masa sulit dan masanya untuk belajar yang seharusnya tentu.
“Aik, Aik boleh bilang gitu, tapi Allah itu maha tau lho,” kata ayah menatap Aik.
“Kenapa Allah maha tau yah?” si kakak mulai penasaran.
“Karena Allah yang menciptakan kita. Jadi Allah tau semuanya,” jawab ayahnya.
“Ik heb en idee! (aku dapat ide!)” kata si kakak tiba-tiba. “Karena Allah ada dalam hati, jadi Allah bisa dengerin kita yah.”
“Ha..ha..ha.. pinter Lala!” seru ayah. “Iya betul, Allah ada dalam hati kita jadi Dia tahu.” Ayah membatin kagum, “Hebat betul Lala, bisa memberi penjelasan yang lebih mudah dimengerti anak-anak!”
“Sekarang pejemin mata, baca bismillah, terus tanya sama Allah yang ada di dalam hati yah,” mata Lala berbinar-binar melanjutkan idenya.
“Ya, bagus sekali idenya La.” puji ayahnya. “Jadi siapa yang berantakin?”
“Mbak Lala!” jawab Aik.
“Betul mbak Lala?” tanya ayah.
“Iya, tadi Aik liat Allah bilang mbak Lala” kata Aik dengan tampang tak berdosa.
“Siapa mbak Lala?”Ayah nya ganti bertanya.
“Aik yah! Aik itu bohong! Allah bilang itu Aik” sahut si kakak yakin.
Ayah tahu, Aik memang sedang tak mau membereskan baju kotor. Jadi, dia tidak mau mengerjakannya sendiri. “Ayah cuma pingin tau koq siapa yang berantakin baju, nanti beresinnya dibantu sama ayah. Siapa Ik yang tadi ngambilin baju-baju kotor ini?”
“Aik.” Akhirnya keluar juga nama itu dari mulut mungilnya. Singkat, tapi tetap dengan wajah tak berdosa hehe.
“Wah ayah seneng sekali sama anak yang jujur. Sini, Aik dikasih hadiah peluk sama ayah.” Kata ayah sambil memeluk jagoan kecilnya.
Lalu mereka berdua membereskan baju yang berserakan itu. Tapi…O…O… Aik hanya mau mengembalikan baju bunda. “Karena Aik sayang bunda,” kata Aik memberi alasan. Sisanya tentu saja ayah yang harus mengerjakan. Hmm…Aik memang pintar cari alasan deh :-).
Kejujuran memang mahal. Tapi bagaimanapun, kejujuran adalah bekal berharga yang harus dimiliki anak-anak. Dengan kejujuran lah kelak mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Manusia berderajat tinggi di mata sesama dan juga Tuhannya.
Hehehe…sama nih pengalamannya sama si bungsu di sini. Dia ini suka banget main toilet paper…duh, kebayang kan, borosnya, mana mahal? Dibilangin Allah Maha Tahu juga nggak mempan Nes. Setelah dipikir-dipikir, mungkin kesalahan kami juga, kenapa dia jadi berkelit seperti itu. Kayaknya, pertanyaan kami terlalu ofensif, terlalu menghakimi gitu lho. Anak seumur gitu kan nggak suka ‘dituduh.’ Emang iya sih, kalau ditanya, Siapa nih yang main-main sama toilet paper? Not me…aja jawabnya, biarpun diceramahin soal kejujuran teteup wae keukeuh. Akhirnya diubah trick-nya, kami bilang, “Do you have a problem in getting the toilet paper? You’re supposed to let me know.” Ya, dia bilang. Nggak taunya dia kesulitan merobek toilet paper dgn satu tangan, sementara tangan yg lain pegangin celananya, gitu lho. Sejak saat itu, dia nggak pernah bohong lagi. Kayaknya kalau kita semakin ofensif, semakin defensiflah anak.
He… he… Jd inget pengalaman pribadi…. Tapi setelah aku introspeksi diri, memang benar, apa yg dilakukan anak itu meniru orang tuanya. Urusan “ngeles”, anakku jagonya… Rupanya hal itu merupakan akumulasi dr kemampuan “ngeles” papa-mamanya :p , seumuran dia ( hampir 4 thn) sudah bisa meniru gaya “ngeles” papa maupun mamanya. Kebayang kan, papanya aja kadang gak kuat ama gaya ngeles mamanya, gitu juga sebaliknya… lha ini, gabungan keduanya, bow…
Makanya sekarang aku ama mamanya saling mengingatkan, klo dah mulai ada tanda2 “ngeles”, cukup bilang “Ngajarin anak yee???”
Untuk ngadepin yg udah terlanjur ditiru ama anakku, metodenya ya mirip2 lah sama metode bu sofie. Jangan menyerang anak, anak2 itu kaya karet, makin kuat ditarik, makin sakit “njebret”-nya… :p
Iya mbak Sofie dan pak Waskita, setelah kami pikir2 ternyata krn memang dia merasa dihakimi ya makanya anak2 jd suka ngeles. Sekarang mau coba diganti nih kalimatnya hehe makasih masukannya yaa…