“Lala mau pilih gips warna apa, merah, biru, atau ungu?” tanya perawat di rumah sakit itu ramah. “Even denken (Pikir dulu yaa),” jawab Lala sambil senyum senang. “Ik will Rood (Aku mau yang merah),” kata Lala akhirnya. Hmm…enak betul ya, warna gips bisa milih hehe. Sebetulnya, kaki Lala tidak perlu di gips berat lagi. Gips kali ini hanya gips ringan, dan yang berwarna merah itu adalah plester untuk membalut kaki Lala. Tapi mengetahui gips barunya menjadi berwarna merah, Lala tentu saja senang. Itulah yang terjadi saat Lala kontrol memeriksakan kakinya di rumah sakit. Bukan hanya itu, setelah semua selesai, ‘kaki baru’ Lala diberi sepatu sandal juga. Warnanya hitam, kata perawatnya untuk memudahkan Lala saat berjalan, jadi Lala tak perlu pakai kruk lagi. Eh, masih ada lagi, Lala juga dapat diploma gips! Waah senyum Lala langsung mengembang lagi. Bangga betul lo Lala dikasih diploma gips :-)
Kejadian kaki Lala masuk jeruji sepeda kali ini bukan hanya memberikan pengalaman berharga bagi Lala, tapi juga bagiku. Dari bolak-balik mengantarkan Lala ke rumah sakit, aku jadi melihat sendiri betapa pelayanan di rumah sakit disini sangat menyenangkan bagi anak-anak. Digips bagi seorang anak tentu menakutkan dan sangat tidak nyaman, tapi dengan diperlakukan ramah, diajak bicara, diberi hadiah dan juga diploma, Lala malah enjoy dan jadi tidak trauma ke rumah sakit.
Saat gips lamanya harus dibuka dengan gunting besar, Lala masih bisa senyum, walaupun sedikit takut. Malah Malik yang menutup mukanya karena takut. Bagian yang paling nyeri adalah ketika perawat harus membuka perban persis di bagian luka Lala. Perban itu menempel sangat kuat. Lalu perawat pun menyiramkan cairan berisi lidocain di sekitar perban tersebut. Selain supaya perban lebih mudah terbuka, juga agar Lala tak merasakan nyeri. Lala cuma meringis-ringis waktu perbannya pelan-pelan dibuka. Dan akhirnya…taraaa! Wah alhamdulillah, luka di kaki Lala sudah hitam mengering. Bengkak di ankle kaki kiri Lala juga berkurang.
Setelah kaki Lala di lap dan bersih, dokter bedah datang memeriksa. Seperti biasa standar perlakuan dokter dan perawat disini, dokter itu memperkenalkan diri dan menyalami kami satu persatu. Kemudian dokter menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Lala. Katanya bila terjadi fraktur, kaki Lala akan bertambah nyeri dan bengkaknya tak akan berkurang. Jadi, karena kaki Lala menunjukkan perbaikan nyata, artinya tidak ada fraktur. “Barangkali hanya ligamennya saja yang tertarik,” begitu kata dokter. Tapi dokter juga tak berani membiarkan Lala pulang tanpa gips, khawatirnya malah memperlama proses penyembuhan. Karena itu, kaki Lala harus digips lagi, tapi gips ringan dan memungkinkan Lala untuk jalan.
Akhirnya, dipasanglah gips baru itu. Pertama-tama, luka dan bengkak di ankle Lala di perban lagi, lalu dipakaikan semacam kaos kaki. Baru kemudian dibalut dengan kain kaku putih, setelah itu baru dengan plester berwarna merah . Setelah plester merah ini dibelit-belitkan, perawat membalut lagi kaki Lala dengan plester putih, tapi hanya sementara saja, supaya plester merahnya merekat kuat. Selanjutnya tinggal menggunting dan merapihkan kaos kaki di ujung jari Lala. Selesai.
“Ini diploma untukmu,” kata perawat perempuan itu kepada Lala. Mata Lala langsung melebar begitu pula senyumnya. “Ha ha ha, liat Ik, ada gambar mummy nya…,” katanya senang. “Dua jam setelah ini Lala boleh belajar jalan, tapi biarkan dia sendiri yang memutuskan kapan dia mau jalan. Nggak perlu disuruh-suruh. Sepuluh hari lagi, kontrol yaa,” lanjut perawat itu lagi.
Horee! Lala bisa jalan! Setelah 2 jam di rumah, Lala sudah tak sabar belajar jalan, dan ternyata Lala sudah bisa berjalan patah-patah. Alhamdulillah, selamat tinggal kruk merah…. Insya Allah kontrol berikutnya, kaki Lala sudah bebas gips yaa….
waduh asyik banget ya pake diploma segala :)…sekarang sudah sembuh kan sayang?