Bincang-bincang dengan Halla

“Bukan hanya laki-laki dengan perempuan yang boleh menikah Ma. Laki-laki boleh menikah dengan laki-laki dan perempuan juga boleh menikah dengan perempuan. Juf (ibu guru) ku bilang begitu.” Waks! Mendengarnya Haila terhenyak. Rangkaian kalimat itu keluar dari bibir mungil putranya yang berusia 5 tahun.

Haila berkunjung ke rumahku kemarin. Aladin dan Firash putranya adalah teman sekelas Lala dan Malik. Selepas sekolah, pukul 12.00 kami langsung berjalan bersama menuju rumahku. Haila tak bisa naik sepeda,”Ik ben bang (aku takut),” katanya. Karena itu lah, kami berjalan dari sekolah ke rumah. Kami berbicara banyak hal. Lumayan, sekalian memperlancar bahasa Belandaku. Haila tak bisa berbahasa Inggris. Jadi mau tak mau aku harus berbicara selalu dalam bahasa Belanda.

Beberapa kali ia bercerita tentang ulah anaknya, termasuk tentang cerita anaknya seputar pernikahan sesama jenis itu. Ia mengaku kaget. Ia juga sebenarnya takut membesarkan anak di negeri Belanda ini. “Allemal mag wel in hier(semua serba boleh disini),” katanya lagi. Tapi bagaimana lagi, suaminya bekerja disini, dan tak mungkin kembali ke Lybia tempat asal mereka.

Mereka memang berasal dari Lybia, Tripolli tepatnya. Haila sering merasa kesepian di Belanda ini. “Orang Belanda memang baik, tapi lebih baik orang-orang di negeriku. Kalau mau berkunjung ke rumah orang, nggak perlu pake afspraak (janjian). Dateng ya dateng aja, dikasih makan. Kalau disini kita bertamu tanpa janji, mereka biasanya marah. Dan kalau nekat juga berkunjung, di jam makan misalnya, ya dianggurin. Kita akan duduk manis saja tak ditawari apa-apa sementara mereka makan,” lanjut Haila mengeluarkan unek-uneknya.

Ya, itu lah salah satu budaya orang belanda, dimaklum saja. Tapi banyak juga koq nilai-nilai positif yang bisa diambil. Salah satunya tentang straff (hukuman). Menurut Haila, bila anak-anak Belanda melakukan kesalahan, mereka kerap dihukum. Tapi hukumannya bagus. Mereka disuruh duduk di tangga luar rumah selama 5 menit,”Pikirkan kesalahan apa yang telah kamu lakukan,” begitu pesan orangtua Belanda pada anak-anaknya. Lima menit saja, bagus juga, beberapa psikolog memang menyarankan punishment seperti ini kan. Asalkan telah sepakat dengan anak sebelumnya, hukuman seperti ini boleh-boleh saja.

Kami ngobrol hingga pukul 15.00. Dan tanpa sengaja ia melihat black forest cake bikinanku. “Ini kue pesenan. Aku menjualnya,” kataku. “Wah kalo gitu bisa juga ya buat ulang tahunnya Aladin bulan Mei nanti,” timpalnya. Hmm…asik, mau dapat pesanan kue lagi nih. Lumayan sambil bincang-bincang dapat pesanan hehe

37 Replies to “Bincang-bincang dengan Halla”

  1. Astagfirullah…seremmmm ya teh… membesarkan buah hati di negeri orang seperti ini… apalagi biasanya anak seusia gitu suka ngerasa apa kata bu guru atau kata temen lebih bener daripada kata bunda atau ortu nya di rumah. Wah… perlu makin mengasah kiat atau trik agar makin bisa menghadapi hal hal diluar dugaan seperti ini lebih arif dan bijak lagi. Soalnya kuncinya harus deket dan lebih percaya sama ortunya daripada omongan orang diluar. Nah..masalahnya mau akrab atau bersahabat sama anak ini emang jalannya berliku..perlu jatuh bangun dulu…..
    Semoga Allah selalu menjaga Aqidah anak-anak kita.
    Teteh hatur nuhun info sehat groupnya……membantu bangetttttttttttt…..
    salam sono ti ita

  2. Betul pisan Ta, kayaknya ga ke suami, ga ke anak, ga ke sesama, komunikasi memang konci ya. Soo…semoga kita bisa selalu memperbaiki cara komunikasi kita ya :-) Eh syukur atuh kalo bermanfaat, semoga anak-anak dah baekan yaa…

  3. waduh..agnes tabungan euronya jadi banyak deh abis jualannya laku :)..tips tips dong nes…

  4. Tips apaan In, tips jualan laku? Jualan makanan yang dikangenin sama mahasiswa Indonesia, dijamin laku deh hehe

Comments are closed.