Mau Pipisin Bunda

Gambar bikinan Malik
Gambar bikinan Malik

Gambar Aik sedang nangis karena berbuat salah kepada Bunda. Aik sayang bunda. Bunda sayang Aik.

“Aik mau pipisin Bunda!” kata Aik sambil betul-betul mengeluarkan kemaluannya di depanku. Aku terhenyak. “Aik!” Sentakku. Ya Allah, kenapa anakku sangat tidak sopan begini. Apakah aku telah gagal menjadi seorang ibu yang baik? Sesak merayapi dadaku. Dan api mulai menyala di hatiku. Mendadak kisah Malin kundang pun berkelebat dalam kepalaku. Panas api itu semakin membakar rasanya. Kucoba untuk menahan diri. Tak kukeluarkan sepatah kata pun. Aku tak ingin menodai keberhasilanku. Aku sudah cukup sukses menghadapi Lala. Setelah kesadaran baru dari mbak Neno, seingatku aku tak pernah lagi memarahi Lala. Haruskah kini aku mendapatkan ‘mangsa’ baru?

Tidak! Please tolong aku Tuhan! Apakah kini aku harus menjadikan puasaku sebagai kambing hitam? Aku sedang membayar hutang puasaku. Orang yang sedang berpuasa memang lebih gampang terpancing emosi, wajar kan. Tapi, bukankah menahan diri memang ujian buat orang yang sedang berpuasa. ” Huaaa…karena bunda nggak mau cari peluitnya Aik, Aik mau pipisin bunda! hu..hu..hu,” sambung Aik lagi.

Ggrh! Aku tak sanggup lagi menahan. “Aik! Denger ya, bunda marah sekali sama Aik! Itu nggak sopan, tau nggak Aik! Aik sayang sama bunda? Kenapa Aik mau pipisin bunda? Anak bunda, anak yang tahu aturan. Anak bunda bukan seperti Malin kundang, ngerti nggak Aik!”

Oh, batal! Puasaku batal! Ya Allah…ya Allah…ajari aku ya Allah, mampukan aku! Kenapa aku tak juga mampu? Aku lelah, sangat lelah. Dan putraku berulah. Sedari siang tadi dia rewel dan rewel saja. Tak bolehkah aku marah Tuhan? Sedikit saja. Aku sudah berusaha untuk menekan suaraku serendah mungkin tadi. Boleh ya Tuhan?

Uh, pertanyaan konyol! Aku tahu aku sedang mencari-cari pembenaran dari kesalahanku. Tapi sudahlah, tak apa marah sedikit. Proses, semua butuh proses! “Hargai keberhasilan walaupun sedikit,” kuingat-ingat pesan suamiku. Yang penting sekarang cari solusinya. Malik harus belajar sesuatu dari kejadian ini.

Malik yang sedari tadi mengganduli kakiku, mendadak berlari ke kamar mandi. Cuuurr…keluarlah air mancur dari kemaluannya. Oh, rupanya ide untuk pipisin bunda itu muncul karena dia memang ingin pipis. Hmm…berarti ini memang kecelakaan. Malik tidak bermaksud untuk kurang ajar tentunya. Kenapa aku berpikir terlalu jauh? Menghubungkannya dengan cerita Malin kundang. Ah, kejauhan! Malik hanya seorang anak lelaki berumur 4 tahun yang belum lewat masa ‘terrible two’ nya. Apalagi sore hari begini memang waktunya Aik mengantuk dan lapar. Uh, jadi malu. Begini lah kalau orangtua tidak mau masuk ke dunia anak, tak mau menyelami perasaan anak-anak, jaka sembung jadinya. Tapi bagaimanapun aku harus mengajarinya sopan santun. Aik harus tahu kesalahan apa yang telah dibuatnya.

“Aik,bunda masih marah sama Aik. Aik juga marah sama bunda. Kita hilangin marah kita dulu ya, habis itu baru kita bicara.” Aku mencoba merubah suasana. “Hu..hu..hu… tapi Aik mau ngomong apa-apa. Aik mau bunda cari peluitnya Aik hu hu hu,” Aik masih tak berhenti menangis. “Iya, bunda akan bicara sama Aik setelah Aik berhenti nangis dan bicara yang baik,” jawabku masih menyimpan kesal.

Tak lama, aku mendengar suara Malik berubah manis,”Maaf bunda, tolong cariin peluitnya Aik,” katanya sambil menahan isak tangis. Aku langsung menghampirinya dan bersikap manis pula,” Oh, Aik pinter sekali, marahnya udah ilang ya.” Tapi, Malik betul-betul capek rupanya. Kata-kata manisku tak mempan. Tangisnya pecah lagi.

“Aik mau peluit! huaa…Aik udah ngomong baik, Bunda nggak tahu apa-apa..huaaa!”

Hmh…kesal ku pun datang lagi. Daripada aku mengeluarkan kata-kata yang tak enak lagi, aku pun keluar kamar. Aik masih tetap menangis. Dan aku berusaha menata hatiku di dapur.

Tiba-tiba kemarahan Aik memuncak, teriakannya menggema dari kamar,”BUNDA! BUNDA HARUS CARI PELUITNYA AIK! Huaaa…”

“Ugh! Kenapa sih ini anak jadi sulit begini,”kesahku. Hilang! Hilang sudah kesabaran itu. Aku diam seribu basa. Api itu membesar lagi. Tapi aku memilih diam. Aku biarkan Aik menjerit-jerit. Lala yang ketakutan melihat ‘perseteruan’ ku dengan Aik mendekati aku dengan sangat manis. “Maaf Bunda, tolong ambilin piringnya. Mbak Lala baik kan Bun. Mbak Lala tau aturan kan Bun,” katanya takut-takut. Duh gadisku yang sangat taat pada aturan, bunda senang sekali Lala sudah jauh lebih baik sekarang Nak.”Iya sayang, mbak Lala pinter banget,” kuberikan sebuah senyum untuk Lala. Oh, semoga tak tampak sebagai senyum yang dibuat-buat dimatanya.

Lalu kuhampiri Aik, kukatakan padanya,”Aik, bunda marah sama Aik karena Aik mau pipisin bunda dan Aik teriak keras sekali. Bunda akan diemin Aik sampe Aik berhenti nangis,” kataku datar.

Untungnya sebuah teori parenting masih mau muncul di kepalaku. Aku ingat pesan seorang temanku yang psikolog. Membiarkan anak menangis kelojotan kadang perlu. Anak bisa belajar mengatasi emosinya sendiri dan merenungi kesalahan apa yang telah diperbuatnya.

Aik meraung, menangis jejeritan, bibirnya tak berhenti mengomel. Dan aku diam saja. Aku meladeni Lala yang sudah kelaparan. Kemudian, karena aku tahu Aik juga lapar, iseng-iseng aku melongok ke kamar dan berkata pada Malik,”Kalau Aik laper, sini makan sama mbak Lala.”

Aik masih menangis. Tapi ia keluar dari kamar sambil menangis sesenggukan. Aku angkat dan aku dudukkan dia di kursi. Tangisnya mulai reda. Aku suapkan sesendok nasi sambil membaca doa mau makan ke mulutnya. Tiba-tiba tangisnya pecah lagi,”Huaaa…maafin Aik…Huaa….”

Yes! Ini dia yang kutunggu-tunggu, akhirnya keluar juga permintaan maaf itu dari mulutnya. Aku langsung memeluknya erat.” Aik pinter Aik mau minta maaf. Maafin Bunda juga ya Sayang…”

Suapan selanjutnya tak lagi diiringi tangis. Aku tatap Aik dan aku katakan padanya,”Aik, Bunda sayaang sekali sama Aik. Bunda ingin Aik jadi anak sholeh.” Huaaa….Huaaa… tangis Aik pecah lagi.

“Oh Sayang, Aik merasa apa sekarang?”

“Huaa…Aik nangis karena Bunda bilang Bunda sayang Aik..hu hu hu..”

“Oh, Aik terharu ya, anak sholeh.Aik pinter. Aik tahu kenapa tadi Bunda marah?” Kesempatan ini tak kusia-siakan untuk menyimpulkan permasalahan. Pesan dari pelatihan emosi yang pernah kuikuti dulu berkata, “Kendalikan dulu emosinya, nasehat belakangan.”

“Hu hu hu…karena Aik teriak keras. Karena Aik mau pipisin bunda..hu hu hu…”

“Terus lain kali gimana?”

“Lain kali Aik nggak mau pipisin Bunda lagi,nggak teriak keras lagi.” Wajah Aik masih penuh air mata, tapi tangisnya sudah berubah menjadi senyuman.

Pfhuih…lega. Mudah-mudahan pelajaran ini berharga buat Aik. Namun tiba-tiba Aik beranjak pergi. Diambilnya tembok berlin souvenir dari Berlin. Ia juga mengambil kertas dan pinsil. Setelah selesai corat-coret, tangannya terulur menyerahkan kertas itu kepadaku.

“Bunda, ini buat Bunda.”

“Oh bagusnya, gambar tembok berlin ya, kenapa Aik kasih ini buat Bunda?”

“Karena Aik maafin Bunda.” (Aik masih kebalik-balik pengertian minta maafnya)

“Oh Aik minta maaf maksudnya ya, Aik menyesal?”

“Iiiyaa…huaaa…” angguk Aik sambil kembali menangis.

Setelah itu ia berlari lagi. Diambilnya kertas lagi, menggambar lagi.

“Bunda, ini Aik sama Bunda, Aik sayang sama Bunda. Bunda lagi cium Aik. Aik lagi nangis. Ini air matanya (Aik menunjuk gambar air mata yang panjang menjuntai hingga ujung kertas). Ini juga buat Bunda Bun.”

Aik berlari lagi dan menggambar lagi. Berlembar-lembar gambar Aik kuterima dengan penuh suka. Gambar sebagai bukti permintaan maafnya dan penyesalannya. Oh, anakku, terimakasih Nak. Kini, bunda tak lagi merasa gagal sebagai ibu. Bunda harus terus belajar kan Nak. Semoga bunda semakin bisa menapaki proses ini. Proses panjang menjadi ibu yang mampu menata hatinya baik-baik. Ibu yang bisa meredam emosi agar anak-anaknya kelak mampu bersikap bijak dalam perasan dan tingkah laku. Bukan hal mudah, sungguh. Apalagi di negeri orang begini.Tapi semoga Allah memudahkan.

3 Replies to “Mau Pipisin Bunda”

  1. posting yang sangat mengharukan mbak…
    semoga saat aku uda nikah dan punya anak nanti aku bisa jadi ibu yang baik kayak mbak…

    hehehehe,,,,,

  2. ibu benar-benar bunda yang baik yah..
    sungguh luar biasa bijaksananya..
    semoga aku juga bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku kelak
    aminn..
    ;D

Comments are closed.