“Wah ternyata Ibu Stephen King suka membeli karya-karya King kecil dengan sejumlah uang! Bagus nih, pasti ibunya ingin King punya jiwa enterpreneur (wirausaha).†Suamiku menceritakan secuil hasil bacaannya dari buku ‘Stephen King on Writing’. Ah ya, cocok dengan kata-kata Aa Gym yang aku baca dari sebuah artikel di koran Pikiran Rakyat (3 April 2005). “Didiklah anak-anak agar memiliki jiwa wirausaha. Kalau perlu, gaji lah mereka untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Orangtua juga perlu terus membangun kemampuan berhemat anak serta kemampuan untuk tidak meremehkan jerih payah orang lain. Kalau anak-anak sudah tahu kepahitan cari uang, maka mereka akan menjadi pejuang yang tangguh dalam hidup ini.”
“Ah anak-anak kecil diajarin cari uang, ntar matre lo!†Begitu kata seorang kawan. Tapi di koran itu juga dikatakan bahwa tanggungjawab, kreativitas dan mampu mengambil keputusan adalah sifat yang akan muncul pada anak jika jiwa wirausaha ditumbuhkan sejak dini. Sifat tersebut juga merupakan modal bagi keberhasilan hidup anak saat ia dewasa. Hmm…iya juga ya. Matre atau tidak tergantung cara hidup orangtuanya kan. Aku lihat, di sekolah Lala juga ada program membangun jiwa wirausaha murid-muridnya. Setahun sekali kerap diadakan ‘Hari Buku’ disana. Biasanya pada hari itu anak-anak diminta untuk menjual buku-buku bekas. Harganya betul-betul murah, mulai dari 10 cent Euro hingga 1 Euro. Lalu apa yang bisa kulakukan untuk anak-anakku ya?
Ah ya, Koningen Dag (hari Ratu)! Mengapa tidak berjualan pada hari ini saja? Asyiknya, pada hari Ratu ini ada acara VrijeMarkt alias pasar bebas. Jadi masyarakat boleh bebas berjualan apa saja barang-barang bekas dengan harga miring tanpa harus membayar pajak. Setiap hari Ratu yang jatuh pada tanggal 30 April, atau 29 April (jika tanggal 30 April jatuh pada hari Minggu) negeri Belanda pasti dipenuhi warna orange. Rakyat berpesta memenuhi jalan dengan pernak-pernik baju, topi, bahkan mencat wajah, rambut dan tubuhnya dengan orange.
Sewaktu ratu Juliana masih hidup dan berkuasa dulu, tanggal itu selalu diperingati untuk merayakan hari ulangtahunnya. Nah, setelah ratu Juliana meninggal dan digantikan oleh ratu Beatrix, ratu Beatrix meminta supaya hari Ratu tetap jatuh pada tanggal 30 April saja. Sebab, ulangtahun ratu Beatrix tanggal 31 Januari, dan pada tanggal itu katanya pamali kalau diadakan pesta. Entah apa alasannya, masih dingin kali ye hehe.
Tapi sayangnya di Groningen kota tempatku tinggal, makanan tidak boleh dijual bebas. Padahal di Amsterdam, makanan homemade pun boleh dijual. Kenapa ya? Katanya sih khawatir dengan kebersihan dan keamanan. Tapi temanku yang lain mengatakan di Groningen juga boleh menjual makanan. Entahlah beritanya simpang siur. Padahal aku sudah bertekad mau berjualan siomay dan rempeyek.â€Jadi apa enggak sih jualannya, boleh apa enggak sih? Mau belanja nih…†Aku bingung. Lalu temanku bertanya langsung pada gemeente, eh ternyata di jawab,†Tidak boleh!†Hu hu hu padahal aku sudah bersemangat baja. Eh, tapi tiba-tiba datang lagi laporan dari temanku. “Cuek aja jualan, wong setiap tahun temennya temenku itu jualan makanan dan asyik asyik aja koq nggak pernah ada yang negur.â€
Duh, daripada tak yakin akhirnya sehari sebelum hari H aku betul-betul mewanti-wanti suamiku,†Telepon gementee ya Yah, jangan lupa!†Dan hasilnya: Dilarang berjualan Homemade Food! Sama sekali tidak boleh! Waks…gimana nih, padahal semangat sudah menggelora. “Ah udah nekat aja, kalo diusir ya udah makanannya bawa pulang lagi dimakan sendiri,†kata temanku lagi. Oke deh kalau gitu demi melatih anak-anak berjualan, dan demi sesuap Euro hehe, apapun yang terjadi positif jualan!
Hup! Jam 6.30 pagi suamiku langsung siap-siap berangkat. Kalau kesiangan, bisa-bisa jualan batal karena tak kebagian tempat untuk jualan. Walaupun mataku masih ingin terpejam dan badan masih pegal-pegal, tapi aku pun harus segera bersiap-siap menyusul. Semalaman aku sibuk membuat siomay dan suamiku sibuk membuat rempeyek. Alhasil kami tidur cukup larut. Tapi, anak-anak sangat bersemangat lho! Mereka kami suruh memilih mainan yang akan dijual. Apa ya? “Wayang aja deh, wayang ini kan nggak pernah dipake.â€
Wah hujan lebat disertai hagel(es) pula! Bisa-bisa acara jualan batal nih. Tapi, alhamdulillah, si hujan datang hanya setengah jam saja . Akhirnya aku dan anak-anak segera menyusul ke tempat tujuan. Wow, pinggir-pinggir jalan betul-betul dipenuhi orang berjualan! Gemeente merelakan jalan sepanjang Ubbo Emmius Singelstraat dipenuhi lapak-lapak barang dagangan masyarakat. Mainan, puzzle, perabot rumah, buku, sepatu, baju dan perkakas rumah tangga lainnya berjejer rapi di atas selembar alas plastik atau karpet. Ada yang berjualan makanan tidak ya? Jangan-jangan aku betul-betul akan diusir karena hanya sendirian berjualan makanan. Eh, ternyata ada! Tuh kan, untung saja kami nekat hehe.
Aku pun segera mengeluarkan barang daganganku, siomay dan rempeyek. Teman ku, mbak Indah, menjual lumpia. Dan kami pun menjual sedikit mainan anak-anak titipan seorang kawan. Dan tentu saja si wayang tak ketinggalan kami pajang di lapak kami. “Anak-anak, ayo duduk disini ya. Nanti kalau ada orang yang mau beli, ditawarin ya.†Aku mulai memberikan instruksi pada anak-anak. “Mainan yang besar 1 Euro, yang kecil 50 cent, dan wayang 1 Euro yaa..†Lala, Malik dan Novi,anak mbak Indah, cuma mengangguk.
Saat seorang wanita datang melihat-lihat lapak kami, segera aku suruh mereka beraksi. Ealah, mereka ternyata malah nyengir malu-malu. “Ayo, bilangin ke tantenya harga mainan-mainan itu. Tanya, tantenya mau yang mana,â€dorongku lagi. Aik sambil memperlihatkan gigi-giginya bersuara, “Een euro…†Suaranya nyaris tak terdengar, grogi rupanya hehe. Lala hanya bolak-balik jalan kesana kemari, tak mau mengeluarkan suaranya. Walah…gimana bisa laku dagangannya hehe.
Khawatir hujan datang lagi, suamiku memasang tenda di seberang lapak kami. Langsung saja anak-anak berhamburan ke tenda meninggalkan barang dagangannya. Beruntung kami mendapat tempat cukup strategis. Ada taman berumput untuk memasang tenda kami dan juga kursi. Pembeli makanan kami bisa langsung makan di kursi itu. Uh…ge-er! Adakah orang yang mau membeli makanan yang kami jual? Hu hu hu…tunggu punya tunggu, ternyata sampai pukul 11.00 makanan kami tak terjamah. Sabar dong…sabar…Tuh, ada Meneer memelototi harga makanan kami tuh! “Berapa harganya?†Si meneer menatapku sambil memegang satu bungkus rempeyek.â€Twee Euro (dua Euro),â€jawabku. Wah, dia ambil 2 lho! “Rempeyek Ayah laku nih yee.†Mesam-mesem aku goda suamiku.
Sayangnya suamiku hanya membuat 6 bungkus rempeyek.â€Segini aja ah! Nggorengnya capek, dapetnya nggak seberapa,†katanya semalam. Yo wis, aku sih manut saja. Wong niatnya memang hanya untuk memberi pengalaman berjualan pada anak. Tak lama, seorang nyonya Belanda datang menghampiri lapak kami. Apa yang dibelinya? Rempeyek lagi! Beberapa menit berlalu, seorang wanita Indonesia kemudian datang bersama suami Bulai nya. Dia mengambil satu bungkus rempeyek, segera membayar dan pergi. Sedetik..dua detik…Eh, balik lagi tuh si Nyonya! “Enak euy, saya ambil satu lagi ya!†Tersenyum lebar, diserahkannya koin 2 Euro padaku.
“Rempeyek Ayah laku ya Bun. Udah berapa orang yang beli Bun? Udah 3 orang ya Bun? Udah dapet berapa Euro Bun?†Itu rupanya yang menarik bagi Lala. Setiap datang ke lapak, pertanyaannya selalu sama. Berdiri dan menawarkan dagangan pada pembeli? Oh No! Sama sekali pekerjaan yang tidak menarik bagi Lala hehe.
Duh sedihnya jadi pedagang, berjam-jam menunggu, siomay ku tak satu pun ada yang membeli. “Dimakan sendiri aja ah, laper hehe.†Aku dan temanku sama-sama mengisi perut dengan dagangan kami. Suamiku pun memberikan sebungkus siomay pada tetangga lapak kami. Sudah jam satu siang, siomay dan lumpia masih utuh mejeng di atas meja. “Kemahalan kali ya, turunin aja deh harganya Yah.†Suamiku pun mengganti harga yang tertera di selembar kertas. Saat datang pengunjung asal Indonesia, aku pun segera menghampiri mereka.â€Harga spesial deh Mbak, udah diturunin nih, tadinya semangkok 3 Euro, sekarang 2 Euro nih kalau Mbak beli 3 mangkok.†Aku membujuk si Mbak. Horee! Si mbak mau beli! Akhirnya ada juga yang mau beli siomayku, meski harus menurunkan harga hiks.
Satu jam kemudian…â€Wah ada siomay! aku mau dong..aku mau satu dong…aku juga…aku juga….†Rombongan mahasiswa Indonesia datang dan memborong siomayku! “Enak Mbak…enak..!†Jawaban mereka membuatku senang. “Tapi… hu..hu..hu…nyesel! Tadi kenapa harganya diturunin ya Yah. Tau bakal banyak orang Indonesia dateng, mau sabar nunggu deh, ada yang nggak kebagian juga tuh padahal,†keluhku pada suamiku. Ealah..koq nggak bersyukur. Padahal pemesan lewat mulut ke mulut juga kan sudah ada. Astagfirullah, Ah! dasar manusia, dikasih hati minta rempelo hehe.
Laris manis! Siomay dan rempeyek habis terjual. Duh senangnya, kerja capek semalaman berbuah Euro hehe. Aku berkeliling sebentar melihat dagangan orang lain. Wah ada puzzle magnet, bisa buat Malik nih. Harganya 50 cent Euro saja, alias limaribu perak, lumayan banget! Masih bagus dan lengkap pula. Temanku malah mendapat puzzle 1000 keping dalam keadaan utuh dan masih sangat bagus dengan harga yang sama. Senang memang belanja di vrijemarkt ini. Lala juga mendapat boneka beruang besar gratis. Tetangga lapak yang aku beri siomay tadi memberikan boneka beruang itu untuk Lala . Balas saja kali yee hehe.
Pukul 2 siang, kami memberesi lapak kami. Capek. Tapi aku jelas tidak kapok, dapat Euro je hehe. Tahun depan aku berniat akan berjualan lagi. Mungkin anak-anak bisa aku minta untuk membuat jus buah dan menjualnya di pasar rakyat ini. Aku lihat banyak anak-anak Belanda melakukannya tadi. Ide bagus. Mudah-mudahan kalau mereka membuat sendiri, ceritanya akan lain. Siapa tahu mereka mau menunggui dan menawarkan dagangannya tanpa malu-malu lagi.
Ah tapi apapun respon mereka tak jadi soal. Yang penting hari ini mereka sudah melihat sendiri dan mencoba sendiri bagaimana rasanya jadi pedagang. Mereka juga tahu bagaimana repotnya ayah dan bundanya mempersiapkan rempeyek dan siomay. Dan hasilnya, puluhan Euro masuk ke celengan Bunda. “Wah Bunda dapet uang banyak.â€Lala membelalakkan matanya saat melihat uang yang kumasukkan ke dalam celengan ku.
Bekerja keras dan menghargai hasil jerih payah orang lain, itu yang aku ingin tunjukkan pada mereka. Bener nih nggak khawatir kalau anak-anakku jadi matre? Aku pernah katakan pada Lala,â€Kita boleh punya banyak uang La, tapi uang bukan segala-galanya. Uang hanya jadi pembantu kita. Kita nggak boleh tergantung sama uang ya La.†Kalimat-kalimat ini yang mungkin harus sering-sering aku tekankan pada mereka. Tapi tentu saja kalimat-kalimat itu akan sia-sia kalau dalam keseharianku aku tetap memuja uang. Ah uang, kau memang menggiurkan. Namun tak akan pernah kubiarkan engkau menjadi raja dalam kamus hidupku!
Prev: “Mau Pipisin Bunda!”
blognya bagus, n ada pesan yang bisa di petik ma pembacanya. :)
Makasih ya mbak Pungky, alhamdulillah kalo ada yang bisa memetik pesannya. Ngingetin aku juga nih, supaya selalu menjalankan apa yang kutulis. Tx sudah mau mampir mbak :-)