Kecemasan Mama

Dimuat di : Ranesi

Ini cerpen pertamaku.Kedua sih sebetulnya, tapi cerpen yang pertama betul-betul nggak masuk hitungan,bikinnya asal banget dan nggak masuk kriteria cerpen lah pokoknya hehe. Jadi anggap saja ini cerpen pertama :-) Niatku membuat cerpen ini buruk, betul-betul karena ngiler sama bayarannya yang 100 euro, soalnya lagi nggak punya duit. Tunggu punya tunggu ini cerpen nggak dimuat juga sama Ranesi. Padahal katanya batas pemberitahuannya sebulan. Yah hopeless lah aku.Mutung. Aku jadi merasa nggak bisa nulis fiksi dan merasa niatku yang ternoda dengan uang itu lah penyebab cerpenku nggak dimuat. Akhirnya aku betul-betul melupakan cerpenku ini. Asli mutung, melirik pun tak mau lagi hehe. Sampai akhirnya barusan aku dapat kabar dari Mbak Desy, cerpenku dimuat!

Alhamdulillah…Makasih ya mbak Des atas pemberitahuannya :-). Tapi walaupun dimuat bukan berarti cerpen ini bermutu loh, kayaknya cuma karena Allah nggak mau liat aku mutung kali ya hihi ge-er. Jadi kalau ada yang mau kasih kritik dan saran, duh mau banget. Biar aku nggak kapok nulis fiksi lagi. Tapi sebetulnya, kalo dapat 100 euro lagi sih nggak akan kapok nulis fiksi lah ya, haha dasar! Cewek matre…cewek matre kelaut ajeh! Eh tapi 100 euro belum dipotong pajak 39 % loh, but masih lumayan laah buat ngisi dompet yang kosong hehe…

Ini dia si cerpen yang sempet bikin mutung :-) :

“Eh, kamu harus kasih selamat sama Ben!”kata seorang perempuan paruh baya mengagetkanku. Nyonya Elske Holander, perempuan tetangga sebelah rumahku tiba-tiba datang menghampiri. Aku baru saja mengambil barang belanjaan dan memarkir sepeda di halaman depan. Ia muncul bersama anak lelakinya yang berumur tanggung, mungkin sekitar 13 tahun.

“Oh, kamu ulang tahun, selamat ya Ben.” Segera kuulurkan tangan padanya sambil memberikan senyum termanis yang kupunya.
“Ha ha, bukan…bukan ulangtahun,” tawa perempuan Belanda itu renyah.
“Mm…, bukan? Jadi, selamat untuk apa?” aku bingung.
“Psst…tadi malam, dia baru saja jadi lelaki!” bisik perempuan itu di telingaku.

“Maksudnya?” keningku berkerut. Aku memang baru enam bulan tinggal di negeri tulip ini. Selama itu pula aku mengenal si nyonya Belanda, nyonya ramah yang pandai berbahasa Inggris. Aku tak mungkin salah dengar. Jadi lelaki, apa artinya?
“Ayolah, masa kamu tidak mengerti, itu lho…melepaskan keperjakaannya pertama kali. Semalam Ben melakukannya sama pacarnya!” jawab nyonya Elske ringan.

“Oh ya?!” Hampir saja mataku terbelalak. Ssh…Nesya…Nesya…Ini Belanda sayang, batinku mengingatkan.
“Eh…ee…selamat Ben…selamat….”Aku tergeragap. Mudah-mudahan saja si nyonya tak memperhatikan perubahan mimik dan suaraku.
“Untung sewaktu grup delapan di Sekolah Dasar (SD), dia dapat pelajaran pendidikan seks. Dan saya juga di rumah sering mewanti-wanti dia untuk pakai kontrasepsi sebelum ‘bermain’. Dia sudah tahu apa akibatnya kalau tidak pakai kontrasepsi. Bahaya kan, bisa kena penyakit AIDS. Belum lagi resiko pasangannya hamil. Jadi dia pun semalam pakai ‘sarung’.”

“Ooo…begitu ya Elske,” jawabku lirih, masih tak percaya dengan apa yang kudengar. Bahwa negara ini adalah penganut seks bebas dan kumpul-kebo sudah tak aneh, dan sudah lama aku ketahui. Tapi, anak 13 tahun melakukan hubungan suami-istri pertama kali dengan pacar, direstui ibunya pula? Anak bau kencur gitu lho! Bahkan si ibu tampak bangga sehingga aku harus memberikan selamat?! Dan semua ini menjadi sebuah kewajaran?! Oh… sungguh, membayangkan pun aku tak pernah. Apakah aku yang terlalu lugu? Kuper(kurang pergaulan)? Hmm…entahlah, tiba-tiba saja kepalaku berdenyut-denyut!

***

Kuhempaskan tubuhku ke sofa empuk di ruang tengah. Kuhirup nafas sedalam yang kumampu. Ah, Rangga, putra semata wayangku. Seketika wajah tampan dan senyum simpatiknya melintasi benakku. Kulahirkan engkau dengan penantian yang panjang Nak.

Lima tahun aku dan ayahmu harus menunggu. Menimangmu, membelaimu, membesarkanmu, merupakan anugrah terindah bagiku. Hmm…bau wangi khas bayi dari mulut mungilmu masih tercium rasanya. Ah, bagaimana mungkin? Seminggu lalu baru saja aku menyiapkan kue-kue ringan untuk dibagikan kepada teman-temanmu di kelas. Baru saja teman-temanmu memberikan ucapan selamat ulang tahun bukan? Ulang tahun ke-sepuluh. Uh, kenapa waktu seakan berlari. Tak bolehkah aku menikmati masa indah denganmu sedikit lebih lama?

Tak lama lagi engkau akan sebesar Ben. Tak lama lagi, hormon kelelakianmu akan bekerja. Bagaimana nanti kalau kau punya pacar? Apakah engkau akan seperti Ben? Apakah aku, ibumu, harus merelakan engkau melepaskan keperjakaanmu tanpa nikah di usiamu yang ke-13?! Bahkan aku pun harus memberikan petatah-petitih lengkap sebelumnya kepadamu?! Aah… tidaaak! Tidak anakku, aku tak rela!!

Bermukim di negeri ini sama sekali bukan sebuah pembenaran untuk menghilangkan adat ketimuran. Aku harus berbuat sesuatu untuk mencegahnya. Aku tak boleh membiarkan engkau terpengaruh teman-temanmu. Tapi apa? Bagaimana? Menjelaskan tentang mimpi basah kepadamu saja aku tak mampu, lidahku kelu. Padahal, tak lama lagi engkau pasti akan mengalaminya. Oh Tuhan, tolong aku…!! Ugh…memikirkannya dadaku malah sesak, kepalaku semakin berdenyut kuat rasanya.

“KRIIIIING…..!” Dering telepon seketika menghentikan kecamuk ombak di hatiku.“Aku pulang telat ya sayang. Aku harus lembur. Pekerjaan betul-betul menumpuk. Nanti biar aku pulang sekalian jemput Rangga. Dia main di rumah Robert kan?” Suara Mas Pram, lelaki yang telah belasan tahun menikahiku sedikit mengurangi sesak di dadaku.

“Iya mas, tapi…”
“Ada apa sayang? Sesuatu mengganggumu?”
“Ya…mm…iya Mas.”
“Aku hapal betul suaramu. Kamu mau ceritakan sedikit sekarang? Siapa tahu bisa melegakanmu.”
Ah, mas Pram, betapa beruntungnya aku. Belasan tahun biduk rumah tangga ini berjalan, tapi kau tak pernah berubah, selalu mengerti aku.
“Mm…sudahlah Mas, nanti mengganggu pekerjaan Mas. Setelah Mas pulang saja.”
***

Ditemani bulan yang menyembul malu-malu, malam itu kurebahkan kepalaku didada mas Pram. Kupeluk ia erat-erat. Kutumpahkan segala kegundahanku hari ini padanya.
Mas Pram tahu betul, kepindahannya ke Amsterdam bersama keluarganya bukan tak membawa resiko. Bekerja di perusahaan minyak asing tentu saja membuat perekonomian kami semakin meningkat. Memang alasan karir dan perekonomian lah yang membuat mas Pram tak menyia-nyiakan tawaran pekerjaan ini. Namun semua tentu membawa akibat.

Bagiku, mau tak mau aku harus melepaskan pekerjaan yang kucintai di Indonesia. Di Indonesia dulu, aku tak perlu memikirkan belanja, mencuci, menyetrika dan beragam pekerjaan rumah lainnya. Mbok Yam pembantu setia kami, dengan sigap selalu menyelesaikan semua perkerjaan rumah. Tak mudah menjadi ibu rumah tangga yang berdiam diri di rumah saja setelah belasan tahun terbiasa bekerja. Berbulan-bulan aku harus bergulat dengan batinku sendiri agar bisa mencintai kegiatan baruku, menjadi ibu rumah tangga.

Bagi Rangga? Menjelang usia remajanya, usia pencarian jati diri, ia harus melewatinya dalam lingkungan yang jauh berbeda dengan dunianya di Indonesia. Di negeri ini, alkohol bebas, marijuana tak dilarang, kumpul kebo biasa, bahkan perkawinan antar sesama jenis pun dihalalkan. Dan kini dengan mata kepalaku sendiri, aku bahkan memberikan selamat atas hilangnya keperjakaan seorang anak lelaki.

“Aduh Mas…Mas…ibu mana yang tak khawatir jadinya Mas?”
“Kita kuatkan pemahaman agama pada Rangga Ma. Itu kan nasehat yang diberikan para ustad di Indonesia sebelum kita pergi kemari.” Mas Pram mencoba menenangkan aku.
“Di Indonesia lebih mudah Mas, kita bisa pilih sekolah sesuai dengan keyakinan yang kita punya. Kita bisa panggil Ustad agar Rangga belajar agama. Suasana keluarga dan tetangga kita pun mendukung norma yang kita anut.” Aku bangkit melepaskan pelukanku. Kutatap suamiku lekat-lekat.

“Tapi disini Mas? Mas Pram sibuk. Aku? Hmh…aku bahkan masih kesulitan menghadapi duniaku yang baru disini. Yaa…demi Rangga, aku akan berusaha untuk selalu menanamkan nilai-nilai itu Mas. Tapi menurut mbak Via sahabatku, masa remaja adalah masa sulit Mas, masanya mereka lebih mendengar apa kata teman-temannya. Mbak Via kan guru SMP Mas, masa sih dia salah. Aku semakin khawatir karena Rangga anak yang pendiam dan tertutup. Mas tahu sendiri kan, sulit sekali menyuruh Rangga menceritakan apa saja yang dialaminya bersama teman-temannya di sekolah. Jawabannya pasti, ‘lupa Ma,’ atau ‘begitu aja Ma kayak biasanya.’ Nanti kalau dia punya pacar, apa dia mau cerita sama kita apa saja yang dilakukannya? Kalau enggak gimana? Bingung kan Mas.” Segala kegalauan meluncur deras dari mulutku.

“Sayang, aku juga mengkhawatirkan Rangga, dan aku ingin kita bersama-sama berusaha mencari jalan keluarnya. Kalau tanya lagi ke mbak Via gimana?” Pram menatapku, menunggu jawaban.
“Bisa aja sih Mas, tapi dia tidak biasa berkirim surat elektronik. Dia jarang bersentuhan dengan komputer, sibuk dengan pekerjaannya di Indonesia. Tapi aku akan coba menghubunginya lewat telepon.”

“Oh iya, Mama kan baru bergabung dengan kelompok diskusi di dunia maya. Itu lho, yang Mama bilang anggotanya ibu-ibu Indonesia semua. Katanya mereka pintar-pintar, dan sebagian dari mereka juga tinggal di luar negeri kan, malah tersebar di berbagai negara. Selama ini kan Mama cuma jadi pengamat, coba deh mulai giat bertanya, gimana Ma?” tanya Pram bersemangat.
***

Beberapa hari berselang, aku mencoba usul suamiku. Aku membagi pengalamanku dalam kelompok diskusi itu dan meminta saran mereka. “Tapi yang kamu ceritakan itu orang Belanda kan? Tak heran, memang budaya mereka begitu koq,” tulis seorang ibu yang tinggal di Amerika menanggapi. “Aku malah pernah menemukan cerita seperti itu dari temanku orang Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika. Anak gadisnya sering gonta-ganti pasangan, bahkan jelas-jelas tidur bersama pacarnya di rumah mereka. Ayah ibunya tak kuasa untuk menasehati lagi. Mereka malah bilang, daripada main belakang? Daripada saya tidak tahu apa yang dilakukan anak gadis saya? Lebih baik saya mengijinkan anak saya tidur dengan pacarnya di rumah, begitu kata mereka.”

Oh, membacanya hatiku kembali gundah. Haruskah aku mengorbankan norma agama dan adat ketimuran pada anakku, demi karir suamiku serta kehidupan perekonomian yang lebih baik? Ternyata begitu sulit membesarkan anak remaja di luar negeri. “Ah, sama aja kok, nggak di Indonesia, nggak di luar negeri, membesarkan anak remaja jaman sekarang memang nggak gampang. Buktinya saat ini, berapa banyak gadis-gadis remaja di Indonesia yang sudah hamil di luar nikah, bahkan menjual diri. Padahal orangtuanya berkecukupan,” tulis seorang ibu lainnya. “Dimana pun kita tinggal, semua akhirnya berpulang pada kita orangtuanya kan. Di Amerika sini banyak sekali orang India. Mereka bisa koq mendidik anak-anak mereka sambil tetap memegang teguh adat-istiadat, budaya dan agamanya. Teman saya menikah bahkan dijodohkan. Padahal mereka dari lahir sampai dewasa hingga beranak-pinak juga tinggal di Amerika.”

Hmm…betul juga. Asalkan mau berusaha pasti ada jalan, buktinya orang-orang India itu berhasil.Bagaimana ya caranya agar anakku bisa tetap memegang norma-norma yang kami anut? “Bangunlah komunikasi dua arah, jadilah teman buat anak, dan cari lingkungan yang sama-sama memegang norma-norma tersebut. Kenapa? Supaya saat semangat kita jatuh, masih ada kawan yang mendorong dan mengingatkan,” pesan ibu-ibu di dunia maya itu.

Hmm…cara komunikasi dengan anak ternyata sangat penting. Duh, bisakah aku merubah cara berkomunikasiku dengan Rangga. Dia anak yang tertutup. Belum lagi, kata mereka aku harus mulai mencicil pendidikan seks yang benar sejak dini pada anak.
Aku mengingat betul jawaban seorang ibu yang juga seorang psikolog dalam kelompok diskusi itu, “Lebih baik anak-anak tahu dari orangtuanya sendiri tentang seks, daripada mengetahui dari sumber lain. Dengan begitu anak menjadi percaya penuh pada orangtuanya. Kalau mereka bingung mereka akan bertanya pada orangtua. Alhasil, mereka akan terbuka dan bercerita apa saja pada kita orangtuanya. Keuntungannya, kita jadi tahu apa yang mereka pikirkan dan lakukan. Kita juga bisa memberikan pendidikan seks yang benar, bukan yang malah merusak. Yang paling utama lagi, kita tetap bisa memasukkan norma-norma yang kita anut. Tapi jangan dogmatis ya, mereka malah lari nanti,” katanya panjang lebar.

Uh, mulutku rasanya sudah tak tahan ingin segera menceritakan hasil diskusi itu pada mas Pram. Tapi, baru minggu depan dia kembali dari Prancis. Mas Pram…mas Pram…kau memang suami dan ayah yang hebat. Bagiku nyaris sempurna. Satu hal cacatmu yang sering menggangguku kini, kau tak lagi punya cukup waktu untukku! Dulu, sebelum tidur adalah saat istimewa bagi kita. Saatnya untuk saling bercerita, mengikat makna-makna yang tercecer dari perjalanan hari-hari kita. Kini, pekerjaan membuatmu jarang berada di rumah.

Ya, itulah pilihan yang telah kita ambil bukan? Andai kau tahu Mas, ketika kau tak ada, bebanku semakin menggunung rasanya. Membesarkan Rangga di negeri ini, dan membuatnya tetap memegang norma, sungguh tak mudah kan Mas? Namun, hidupku adalah engkau. Aku mencintaimu Mas, juga Rangga. Aku akan coba melakukan hal terbaik yang kubisa. Demi Rangga, buah cinta kita…
***

“Mama, aku boleh ikut acara perpisahan bersama teman-teman di sekolah kan?” tanya Rangga sambil memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Deg! Jantungku seketika berdegup lebih cepat. Opor ayam yang masih tersisa dipiringku tak lagi menggiurkan untuk kusantap. Apa yang salah dengan pertanyaan Rangga? Hasil tes ujian sudah diumumkan. Rangga akan meninggalkan sekolah dasar. Ah, hanya sekedar acara perpisahan anak SD, kenapa tidak boleh? Apa kata teman-temannya nanti kalau ia tidak datang ke acara perpisahan itu? Ia butuh pengakuan dari teman-temannya kan? Anak seusia itu kerap mendapatkan tekanan dari teman-teman sebaya bila tampak nyeleneh.

Ya…ya…kalau ini Indonesia, aku tak akan berubah panik seperti ini. Dua tahun telah berlalu sejak kegelisahan itu. Kegelisahan membesarkan Rangga di negeri orang. Dua tahun pula aku mencoba memperbaiki cara berkomunikasiku dengan Rangga. Memberanikan diri sedikit demi sedikit membuka tabir tentang apa itu seks. Dan aku pun berupaya menanamkan nilai-nilai adat ketimuran serta agama yang kuanut. Perlahan tapi pasti aku bisa berdiskusi dengannya tentang mimpi basah dan menjelaskan mengapa seorang perempuan bisa hamil. Aku mencari buku-buku yang bisa menjelaskan soal seks secara sederhana sesuai dengan usianya.

Pembicaraan seputar seks ini kian gencar aku lakukan setelah aku terkaget-kaget melihat Rangga mendapatkan penggemar wanita pertama kali. Laura, penggemar pertamanya adalah teman satu kelasnya sendiri. Sepulang sekolah, tiba-tiba saja Rangga mengeluarkan setangkai bunga mawar merah dari dalam tasnya. Aku pikir Rangga akan memberikannya padaku sebagai kejutan. Ternyata, ia malah membuangnya ke tempat sampah.”Kenapa kau buang bunga itu Rangga?” tanyaku waktu itu. “Laura bilang dia suka sama aku, sambil memberikan bunga ini. Hmh…aku nggak suka sama dia Ma. Lebih baik aku buang saja bunga ini. Aku kan masih kecil, belum mau pacaran.” Jawabnya polos.

Phfuih…mendengar jawaban Rangga, keterkejutanku berubah menjadi kelegaan. O…O…Jagoanku mulai digemari wanita rupanya. Hmm…Bangga? Tentu saja. Tapi rasa was-was malah semakin menggunung. Ini artinya, hormon remaja Rangga dan teman-teman sebayanya mulai bekerja. Bisa gawat kalau aku tak sering-sering berdiskusi soal ini dengan Rangga. Sejak itu, aku mulai memberikan wacana, apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan dengan lawan jenisnya beserta alasannya. Apalagi setelah ia mendapatkan pelajaran tentang seks di grup delapan, aku tak lagi kaku berbicara tentang pendidikan seks pada Rangga. ”Ada saatnya Rangga, ketika kamu dewasa nanti. Ketika kamu jatuh cinta dan sudah menikah, ketika hubungan dengan lawan jenis sudah dihalalkan, semua akan lebih indah dan membahagiakan,” kataku waktu itu.

Kini, Rangga sangat ingin menghadiri acara perpisahan bersama teman-teman di sekolahnya. Kenapa begitu sulit untuk mengijinkan? Bukankah nilai-nilai moral dan agama sudah cukup tertanam dibenak Rangga? Bukankah aku sudah cukup berhasil membina komunikasi dan berbicara seks dengan Rangga? Semua telah berjalan sesuai keinginanku dua tahun yang lalu. Apalagi yang aku cemaskan? Inilah saat ujian sesungguhnya. Aku tak mungkin menjadikan Rangga manusia yang ‘bersih dari kuman’ dan hanya mengurungnya di rumah saja kan? Rangga juga harus terpapar ‘kuman’. Teori dan pemahamannya selama ini harus dibenturkan agar ia mampu mengambil sikap. Ketahanan seseorang akan teruji setelah ia bertempur di medan laga bukan?

“Gimana Ma? Mama koq lama banget mikirnya. Boleh nggak? Robert sudah bertanya terus, memaksaku untuk ikut. Boleh ya Ma?” Rangga merajuk.
Hening. Aku hanya mengelus rambutnya, tak mampu berkata-kata.
“Hmm…pasti mama khawatir ya? Tenang aja Ma, aku tahu koq Ma apa yang tidak boleh aku lakukan. Aku tidak boleh minum alkohol, alkohol tidak baik bagi kesehatanku. Aku tidak boleh mendekati zina. Aku tidak boleh melakukan hubungan suami istri dengan teman wanitaku sebelum aku menikah. Aku belum siap, aku ingin sekolah tinggi, aku belum dewasa. Aku tidak akan bahagia kalau semua kulakukan sekarang. Bukan begitu Ma?”

“Iya sayang, Mama tahu kamu bisa menjaga diri. Tapi boleh Mama menunda jawabannya? Kita bicarakan apa yang terbaik buatmu nanti ya.”
Oh…mas Pram…mas Pram, kenapa lagi-lagi disaat genting seperti ini kau sedang dinas ke luar negeri. Bicara lewat telepon lagi? Hmh…Semoga saja Rangga masih sabar menunggu aku menelponmu. Aku tidak akan sepusing ini kalau saja aku tak tahu apa yang biasa terjadi di acara perpisahan anak SD di Belanda. Pemerintah Belanda membolehkan seorang anak berhubungan badan pada usia 12 tahun. Dan di negeri ini, sudah tak aneh bila kondom disediakan sebagai peralatan standar dalam acara perpisahan anak-anak SD.

“Mas, aku bingung sekali. Menurut Mas gimana? Apa kita membolehkan Rangga pergi? Kalau dia terpengaruh teman-temannya gimana?” segera kuhubungi mas Pram lewat telepon genggamnya.
“Memang ini pilihan yang sulit Nesya. Tapi inilah saatnya ujian itu kan. Bekal selama ini rasanya sudah cukup untuk mengijinkan dia pergi ke acara perpisahan itu.”
“Betulkah begitu Mas? Aku selalu khawatir. Bagaimana kalau dia tergoda ajakan temannya dan melupakan nilai-nilai yang telah kita berikan.”
“Percayalah padanya Sayang. Rangga anak yang baik. Bicarakan kecemasan-kecemasan kita padanya. Bicarakan pula tindakan apa yang akan dia ambil kalau teman-temannya merayunya.”

***

Sambil melingkarkan tangannya di pundakku dan mencium pipiku, Rangga pamit,“Ma, aku pergi. Mama percaya sama aku ya Ma. Aku akan baik-baik aja Ma.”
Dag-dig-dug di hatiku masih saja sama. Namun, akhirnya meluncur juga kata-kata itu dari mulutku, “Pergilah Sayang, Mama percaya sama kamu.”
Tuhan, lindungi anakku… Aku rela didera rasa cemas ini, demi sebuah ujian kehidupan bagi anakku. Inilah ujian sesungguhnya bagi remaja seusianya. Benturan-benturan seperti inilah yang akan menempanya menjadi manusia sejati bukan? Ya, bila ia lulus. Tapi bila tidak? Oh, tanganku mendadak dingin, nadiku pun berdenyut semakin kencang.

(Groningen-Maret 2006)

4 Replies to “Kecemasan Mama”

  1. Hehehe…selamat ya Bun. Aku lg nyari resep rempeyeknya Pak Ismail nih…mau coba. Eh, ternyata baca blognya Agnes yg sekarang udah jadi pakar bikin tart!

  2. Makasih ya mbak Des, untung banget deh mbak Des rajin baca ranesi, kalo nggak tau dimuat, aku bakal mutung forever ga bikin2 fiksi lagi kali mbak hihi. Monggo mbak silahkan dicoba peyeknya uenak deh pokoknya. Kalo tart walah nggak pakar lah mbak, masih berantakan gitu lo hehe.

Comments are closed.