“Jangan kebanyakan jadi ‘ibu sebagai’!†Kata-kata itu begitu mengusik hati dan tak mau lepas dari ingatanku. “Sudah banyak Ibu lihat contoh, ibu-ibu yang sukses di luaran tapi anak-anaknya nggak beres di dalam. Banyak pula nama-nama Kyai dan ustad-ustadzah, yang nggak perlu lah Ibu sebut namanya, mereka sukses diluaran, tapi keluarganya hancur di dalam,†lanjut Ibu Elly Risman saat memberikan pesan terakhir untuk panitia workshop Salamaa tanggal 3 Juni 2007 lalu.
“‘Ibu sebagai’? Maksudnya?†Pikirku dalam hati. Oh maksudnya itu lho..misalnya ibu Anu yang menjabat sebagai ketua A, sebagai B, sebagai C, sebagai D dan sederet ‘sebagai’ lainnya, alias ibu yang banyak memegang tanggungjawab selain jadi ibu dan istri. “Jadi ibu dan istri saja sudah capek, apalagi kalau harus bekerja, capeknya luar biasa lho! Anak dititip ke pesantren? Diasuh orang lain? Lalu mau anak-anak seperti apa yang dihasilkan? Karena itu ibu selalu menganjurkan keluarga ibu, kalau anak belum 7 tahun, lebih baik dirumah dulu deh. Ibu juga dulu sering ditawari jadi ini jadi itu. Tapi lalu ibu berpikir, apa sih yang kita cari di dunia ini?†Begitu kira-kira ucapan ibu Elly selanjutnya.
Kami, panitia workshop yang sebagian duduk dan sebagian berdiri mengelilingi ibu Elly mendengarkan nasehat beliau dengan seksama. Acara Workshop Salamaa tanggal 1-3 Juni lalu berjalan sukses. Kebanyakan peserta merasa puas, bahkan menyatakan berharap ibu Elly bisa datang lagi ke Belanda. Kami, sebagai panitia tentu juga puas dan senang dengan suksesnya acara ini. Tapi kemudian di perjalanan pulang aku merenung. “Telah sukses jugakah aku membangun keluargaku? Jangan-jangan selama ini aku telah kebanyakan jadi ‘ibu sebagai’. Jangan-jangan tanpa sengaja selama ini aku terlalu sibuk ‘diluar’ dan melupakan tanggungjawabku sebagai ibu. Jangan-jangan selama ini fisik ku di rumah, tapi hatiku tidak bersama anak-anak dan suamiku. Kebanyakan depan kompi, kebanyakan ngenet. Duh ditambah lagi, bukankah selama ini aku sering bilang bahwa aku bukan orang yang bisa ‘duduk manis’ saja di rumah?â€
Oh Tuhan! Mengapa tidak Kau buat saja aku menjadi orang yang suka ‘duduk manis’ di rumah? Bukankah semua itu bukan keinginanku? Andai aku bisa merubahnya aku mauu!. Tapi selalu saja aku kesulitan. Memang betul sekali, selama ini aku merasa lebih enjoy melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tak berurusan dengan rumah. Urusan pekerjaan di luar sana bisa aku sikapi dengan profesional, tapi mengasuh anak dan keluarga? Apakah aku sudah bersungguh-sungguh? Padahal ibu Elly selalu berpesan, mengasuh anak itu harus dengan 3 B, Bersungguh-sungguh, Berencana dan Bersengaja! Beliau bahkan selalu membuat goal dan objektif per tiga bulan, per- enam bulan atau per tahun, dalam mengasuh anak-anaknya. Karena urusan pengasuhan anak bukan main-main!
Hmm…bukankah pertumbuhan dan perkembangan anak-anakku kadang berlalu begitu saja ditelan waktu. Bukankah ‘peer-peer’ ku dalam pengasuhan yang masih menggunung kadang kubiarkan lewat begitu saja. Boro-boro bersungguh-sungguh, berencana dan bersengaja, kesibukan demi kesibukan malah kerap melewatkan waktu-waktu emas anakku yang tak akan pernah kembali itu. Duh! Mengalir dan mengalir saja seperti air, terbawa arus yang entah mengarah kemana. Sejujurnya sejak dulu, tarikan-tarikan di luar sana bagiku memang selalu lebih indah daripada pekerjaan menjadi ibu.
Kenapa ya? “Karena pekerjaan pengasuhan melelahkan jiwa,†kata suamiku. “Siapa sih yang suka mendengar rengekan, tangisan dan lain-lain dari anak-anak, capek hati kan. Dan itu nggak pernah aku temui kalau aku mengerjakan thesis. Karena itu aku bisa ngelembur berhari-hari demi thesis. Aku bisa enjoy sekali dengan pekerjaanku,†lanjut suamiku lagi. Ya mungkin suamiku benar, pekerjaan pengasuhan memang melelahkan bukan hanya fisik tapi juga jiwa. Namun aku sungguh penasaran. Kenapa ya? Kenapa aku dan kebanyakan orang pada umumnya lebih suka pada pekerjaan di luar sana dibandingkan mengasuh anak? Apalagi mengasuh dengan 3 B. Ah aku yakin orangtua yang ber 3 B dalam mengasuh anaknya dijaman sekarang ini sungguh langka. Bukankah kita umumnya hanya berkejar-kejaran dengan pekerjaan, jabatan, masa depan, harta dan entah apa?
Anak-anak kita biarkan diasuh oleh media, harta, tetangga, atau siapapun dia. Yang jelas bukan oleh kita. Waktu untuk anak-anak kita? Twenty minutes parents! begitu kata penelitian di USA. Menurut penelitian tersebut kebanyakan orangtua hanya menyediakan waktu dua puluh menit dalam sehari untuk anak-anaknya. Kita memang ada di pagi hari bersama anak kita. Pulang sekolah, makan malam, menjelang tidur, mungkin kita juga ada. Tapii hati kita tidak bersama mereka! Wajah mengkerut, ingatan pekerjaan di kepala, bentak sana bentak sini, dan selalu dengan tergesa berkata,â€Ayo cepat, nanti terlambat. Makannya lama amat! Ayo tidur! Ayo sholat! Ayo beresin mainan!†dan pecutan kata-kata lainnya. Dan kalau anak-anak ingin bermain bersama kita,â€Mama capek!†Itu yang kerap kita ucapkan bukan?
Oh..oh..oh…aku harus berhenti sejenak! Merenung lagi, mengingat lagi tugas-tugas pengasuhan ini. Mereka amanahku! Akankah kutinggalkan mereka tanpa bekal yang berharga? Tapi mengapa begitu sulit untuk mau ber-3 B? Aku sungguh masih penasaran. Kenapa? Kenapa pekerjaan di luar sana selalu berwarna lebih indah?
“Karena orangtua kita tidak pernah mempersiapkan kita menjadi ibu dan ayah!†Itu jawabnya! Ibu Elly menjawab pertanyaanku itu saat aku bersamanya seminggu. “Dari dulu, kita tidak pernah disiapkan untuk menjadi orangtua. Akademik..akademik dan akademik, itu saja yang selalu jadi tujuan. Jadi insinyur, dokter, pengacara..dan lain-lain pekerjaan bergengsi lainnya. Itu lah yang dimau kebanyakan orangtua kita dulu. Apakah pernah kita belajar bagaimana menjadi ibu? Apakah pernah ditanamkan dalam diri-diri kita bahwa suatu saat nanti kita harus menjadi ibu dan ayah? Apakah pernah kita diberi bekal untuk menjadi ibu dan ayah? Tidak bukan? Padahal menjadi orangtua itu tidak mudah. Padahal keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan sangat penting. Padahal ayah dan ibu harus menjadi partnership dalam pengasuhan. Apakah kita tahu semua itu? Saya dengan Neno (Neno Warisman-red) bahkan berjanji, bahwa kami akan berusaha semampu kami hingga mati untuk membangun anak-anak laki-laki generasi kini, agar mereka siap menjadi seorang ayah!†Begitu kira-kira penuturan ibu Elly dalam obrolan-obrolan kami selanjutnya.
Ya! Itulah jawaban yang aku cari. Pantas saja aku tak pernah tergerak untuk bersungguh-sungguh, berencana dan bersengaja membangun keluargaku, mengasuh anak-anakku, karena orientasiku dulu memang hanya jadi dokter..ambil spesialis..karir dan karir. Begitu juga dengan suamiku. Belakangan kurubah niatku menjadi ibu, tapi itu pun karena kondisi. Itupun disambi jadi penulis, jadi tukang kue, dan jadi jadi lainnya. Tetap saja prioritas menjadi ibu ini kemudian tenggelam.
Hmm…lalu apakah artinya aku tak boleh bekerja dan beraktivitas di luar sana? Oh tidak, bukan begitu maksudnya. “Silahkan saja, tapi kalau sudah siap mengambil tanggungjawab lain, bagaimanapun, anak tetap amanah kita. Pengasuhan anak tetap jadi prioritas dan artinya kita tidak boleh mengeluh capek! Siapa suruh punya anak?†begitu kira-kira pesan bu Elly lagi. Di sela-sela obrolannya dengan suamiku, bu Elly malah bilang,†Di rumah saya, haram hukumnya bilang capek! Karena anak saya sudah besar-besar, sekarang, ada anak saudara yang saya asuh. Tanpa ganti baju sepulang kerja, saya bahkan mendahulukan mereka. Ngobrol dengan mereka, atau menemani mereka bikin Pe-er.†Bayangkan, bukan anak sendiri saja betul-betul diasuh dengan 3 B oleh bu Elly. Sedangkan aku? Hmm…
Jadi untuk orangtua yang bekerja, bagaimana tipsnya agar anak tetap dalam ‘kendali’ kita? “Quality time yang benar bukan menyediakan 20 menit sehari untuk anak, tapi terpotong-potong. Kalaupun memilih bekerja, minimal sekali, sediakan dua puluh menit sehari tapi full betul-betul untuk anak. Itu lah yang disebut quality time,†kata bu Elly memberikan tipsnya. “Pulang kerja, muka jangan kenceng. Lakukan sesuatu bukan ‘bersama-sama’ tapi ‘bersama’ anak (jangan melakukan yang lain). Nggak bisa kita bilang,â€Mama capek!†saat anak sedang membutuhkan kita. Ketika bersama anak, kosongkan pikiran, buang semua timbunan pekerjaan yang masih menggelayut di kepala, dan lakukan sesuatu dengan anak dengan sepenuh hati.â€
Tapii… Tidak boleh mengeluh capek? Wadaw! Bagaimana mungkin? Huhuhu padahal sekalipun aku dirumah tapi pekerjaan rumah dan pekerjaan lain-lain itu lah yang membuatku capek. Si capek yang selalu bikin gara-gara, sehingga aku melewatkan saja momen-momen berharga dalam hidup anakku. Si capek yang kerap membuat amarahku tak tertahan dan kesabaranku hilang. Tapi kalau dipikir lagi, iya ya, setiap pilihan mengandung resiko bukan? Kalau mau mengambil tanggungjawab lain (bukan hanya sebagai ibu dan istri), tentu harus siap dengan akibatnya dong ya? Jadi, memang sudah sewajarnya kalau kita tak boleh mengeluh capek bukan? “Geser paradigma!†kuingat lagi pesan bu Elly. Ya barangkali itu kuncinya agar kita tak lagi mengeluh capek.
Ngeles? Mau lari dari tanggungjawab? Boleh-boleh saja, karena hidup adalah pilihan. Tapi bukankah setiap pilihan harus dipertanggungjawabkan? Sekarang tinggal pilih, mau generasi yang lebih baik, tetap jalan ditempat atau berlari mundur kebelakang?â€Apa nggak malu, paspor negara kita selalu dipandang sebelah mata oleh negara lain? Ya karena Cuma sebegini lah kualitas manusia-manusia Indonesia yang ada sekarang!†Ucapan Bu Elly itu kerap kudengar untuk menyentil kami. Namun yang terpenting lagi, ketika nanti Allah bertanya,â€amanahKu, telah kau asuh seperti apa amanahKu?†Mampukah aku dengan lancar menjawabnya? Ataukah mulutku hanya bisa terbata-bata, kelu bahkan terkunci kaku? Kalau menjadi ibu dan istri saja sesungguhnya aku belum mampu, lalu sanggupkah aku menjadi ‘ibu sebagai’ lainnya? Argh… rasanya harus kutata ulang lagi hidupku kini!
Pertemuan dengan ibu Elly sungguh seperti sebuah paket spesial dari Tuhan untukku. Ketika aku sedang asik dengan kegiatan baruku dan terlena, lagi-lagi Allah mengirimkan utusannya untuk mengingatkan aku, menegurku dan meluruskan kembali jalan pengasuhanku. Terimakasih ibu, pesan-pesan dan semangat yang kau bawa dalam cerita-ceritamu sungguh membuatku haru. Terimakasih Tuhan, untuk kiriman paket spesial itu.Gerakkan kaki, tangan, hati dan pikiranku, agar tak lagi melalaikan amanahMu.
Agneeesss……*hughugkisskiss*….nuhuuuuunn sharingnaa….sampe tercekat euy tenggorokanku bacanya…..nyesel juga ga bisa dengerin Bu Elly…:-( Betapa beruntungnya dirimu say sempat bukan cuman mendengarkan ceramah beliau tapi juga ngobrol langsung dengannya, nuhun pisan udah mau berbagi ‘bu Elly’ lewat tulisan ini. Salam sono dari Boise.
Hwaaa tetehkuu…hug n kiss juga teh, meuni sono oge teh ka teteh, tapi udah terobati denk dah maen ke MP teteh :-). Haduuh iya teh memang daku beruntung bisa menemaninya seminggu, seruu ngobrol2 n malah mijitin blio juga hehe
teteh…lamun maca curhatan teteh tentang barudak…ita osok langsung reuwas, aduh…ita oge sigana ibu sebagai tea…..nyurucud si panon weh. Jadi sieun oge, Namun Alhamdulillah mutiara terindahna…jadi mau menata lagi, mau lebih baik lagi, mau berjuang lebih keras lagi….Semoga Allah selalu melindungi anak anak di rumah pas ita tinggal begini. Hatur nuhun teh….oleh oleh na. Salam sayang kanggo teteh
Teteh…. nembe teurang ih, naha pesan pesan ita siganapada hilang. Ternyata ita sok gura giru, barusan pas ngesi pesan ternyata aya tulisan di luhurna cenah unvalid, begitu di baikin baru weh bisa…Gusti nu Agung meni teu pinter pinter wae nya….he..he.. maklum teh…
Amiin…sama Ta, biar kata dirumah ge, diriku pun kebanyakan jadi ibu sebagai nih. Ga di rumah, ga di luar rumah, gogoda mah pasti aya wae nya.Kita sama-sama berdoa ya Ita dear. Lam sayang oge kanggo ita :-)