Aku hanya mengenalnya di dunia maya. Dan aku memang hanya sejenak bertegur sapa dengannya. Tapi ketika mendengar dia tiada, hatiku seperti terbelah dua. Tiba-tiba saja air mataku menggenang di pelupuk mata. Tak henti aku membaca kisah detik-detik terakhir hidupnya, dan tak henti pula aku menyusut bulir-bulir air di sudut mata. Dia perempuan biasa yang luar biasa. Kehadirannya menjadi inspirasi bagi para ibu-ibu muda. Karena dia, banyak ibu-ibu muda tiba-tiba sembuh dari sakitnya. Haa? Sakit apa rupanya? Sakit alergi, alergi masuk dapur! Termasuk aku salah satunya.
Bunda Inong, begitu ia biasa disapa. Aku mengenalnya tak sengaja pada tahun dua ribu lima. Saat itu aku sedang blog walking dan melihat-lihat blog nya. Foto dirinya dan keluarganya terpampang disana. Tiba-tiba saja suamiku yang berada di sebelahku berkata,â€Rasanya aku kenal dengan suaminya. Itu kan Haris, teman seangkatanku waktu di elektro sembilan dua.â€
Tak lama, aku pun meninggalkan ‘jejak’ dalam blog nya. Aku bertanya soal suaminya dan menitipkan salam dari suamiku kepada suaminya. Dalam blog milikku ketika itu, tercatat balasan darinya:
“Sunday 05 June – 2005&time=2:33:29 am:
Mbak Agnes, makasih ya udah mampir di blog kami, eh rupanya para ayah sudah saling kenal sejak lama, salam balik dari ayahnya anak2..â€
Sejak itu aku mulai tertarik mengamati sosoknya. Bagiku, banyak persamaan diantara kami rasanya. Usia kami hampir sama dan kami sama-sama punya suami alumni elektro angkatan sembilan dua. Selain itu, kami sama-sama menemani suami kami tinggal di luar Indonesia. Jumlah anak kami pun sama, malah sama-sama sepasang pula. Bedanya, dia begitu piawai mengelola dapurnya. Dia suka menjual kue-kue buatannya dan bahkan membuat komunitas memasak dalam milis ‘Dapur Bunda’. Sedangkan aku? Hmm…memasak untuk keluargaku saja, aku masih terbata-bata.
Melihat resep-resep masakan dalam blog nya aku menjadi tergoda. Kalau dia bisa, mengapa aku tak bisa? Dan aku pun lalu kerap masuk dalam blognya, untuk mencotek resep-resep masakannya dan berkonsultasi tentu saja. Dari tulisan-tulisannya, aku bisa menangkap sosoknya yang hangat dan ramah. Dia rajin bertegur sapa dengan sesama blogger. Dia pun pernah mengunjungi blog milikku dan meninggalkan dua buah pesan disana. Pesan pertama darinya tercatat dalam salah satu tulisanku yang berjudul ‘Resep Fuyunghai Nyontek.†Saat itu aku bercerita tentang resep fuyunghai yang aku contek dari penjual pujasera di Bandung. Dia mengomentari tulisanku dengan kocaknya.
“inong said,
Thu, 2005-09-22 14:49
wah jangan2 pujaseranya bangkrut karena banyak yang ikutan nyontek resep..ihihihihihihâ€
Pesan kedua ada dalam resep bakso yang aku buat. Duh..betapa tersanjungnya aku saat itu karena resepku ‘diintip’ sang pakar.
“inong said,
Thu, 2005-09-22 14:46
mbak Agnes, saya boleh pinjem resepnya ya, mo dicoba di rumah, kalau sukses ntar saya cerita2,…. boleh ya? makasih..
salam
inongâ€
Tak banyak memang pesan-pesan yang ia tinggalkan dalam blog milikku. Setelah itu aku pun jarang kontak-kontakan lagi dengannya, walaupun aku tetap menjadi pembaca dan pencontek setia blog resep-resepnya. Tapi herannya, kabar duka yang datang tiba-tiba saat itu membuat tidurku tak nyenyak dua malam. Kami memang tak pernah bertemu muka. Kami memang hanya bersapa sejenak saja. Namun kehilangan dia seperti kehilangan sahabat lama. Seorang sahabat, yang telah memberiku semangat untuk bisa memasak apa saja. Dari kisah-kisah dalam blog resep miliknya, satu pesan yang kutangkap disana. ‘ Memasak apa pun menjadi mudah, asalkan dibuat dengan penuh cinta.’
Karena itulah ketika dua tahun lalu ada tawaran menjadi volunteer dalam ‘proyek cinta untuk Bunda Inong’ untuk mengenang kepergiannya, aku langsung mendaftarkan diri. Lama tak kudengar kabar tentang proyek buku resep itu. Tak tahunya, akhir bulan Juli lalu, aku mendapat email seperti ini dari Wiwit:
“Dear mbak2 yang cantik, baik hati & pintar memasak,
Sebagian dari mbak2 mungkin sudah melihat pengumuman yang saya buat tentang volunteer terpilih dalam buku resep Bunda Inong disini
Bagi yang belum membaca, saya persilahkan untuk membaca jurnal tsb :)
Sekali lagi kami, selaku penyusun mengucapkan selamat kepada mbak-mbak yang terpilih dan terima kasih atas partisipasinya. “
Saat itu aku masih belum ‘ngeh’ karena dua tahun bukan waktu yang sebentar. Lalu aku pun meluncur ke taut yang diberikan oleh Wiwit. Ternyata..oh ternyata…betapa girangnya hatiku, aku terpilih jadi volunteer untuk buku ‘Cooking With Love’(CWL) – A tribute to Bunda Inong Almh! Wah..tentu saja aku senang karena ternyata dari sekian banyak volunteer yang mendaftar hanya terpilih 20 orang saja. Dan namaku akan masuk dalam sebuah buku resep, bareng dengan para koki beken, Pak Bondan Winarno ‘Mak Nyuss’ dan Bara Pattiradjawane! Wow…what a surprise! Hiii..norak ya! Cuma tertulis namanya aja seneng :-). Walau diembel-embeli norak sekalipun, yang jelas aku betul-betul bahagia karena bisa ikut berperan dalam buku resep ini. Buku yang dibuat dengan penuh cinta, untuk mewujudkan impian seorang bunda yang telah tiada.
Untuk Bunda Inong, untuk seorang sahabat yang telah memberiku semangat, semoga pesan cinta dalam buku ini dapat kuat terserap, sehingga bukan saja tercipta hidangan yang lezat tapi juga bisa menebarkan aura cinta dimana-mana!
From Groningen with love….
Agnes, yang menulis sambil menyusut air mata hiks…
Ps: Congrat and big thanks buat para penyusun buku ini (Mba Wanda Hazman, Mba Sofie Dewayani, Mba Eva Y. Nukman, Mba Mamiek Syamil dan Wiwit Wijayanti) kalian betul-betul tim yang hebat! Salut bangeet! Mmuah…:-)
Salam kenal ya, Mbak Agnes..
seminggu ini sy lagi rajin2nya browsing ttg kue ulang tahun (krn puteri sy mau ultah & sy yg gak biasa alias males banget bikin kue tapi pingin nyoba)
Gak sengaja nemu blog-nya Bunda Inong ini..ternyata beliau sudah gak ada..saya yg baru mengenal beliau jadi sedih/terharu/emosional..
Setuju banget dgn Mbak Agnes kalo Bunda Inong memberi inspirasi & semangat supaya gak alergi masuk dapur.