Kami tiba di Groningen saat musim panas baru saja menjelang. Musim ini adalah musim yang ditunggu-tunggu kebanyakan orang yang tinggal di negara empat musim. Saatnya berlibur, dan tentu saja, saatnya pula berjemur di bawah terik matahari bagi orang-orang berkulit bulai itu. Liburan sekolah berlangsung dari awal bulan Juli hingga akhir Agustus. Jadi, anak-anakku belum mulai sekolah waktu itu.
Kehidupan yang individual di negara ini membuat anak-anakku hanya bermain di rumah saja. Sesekali kami memang bermain di taman-taman yang ada hampir di setiap komplek, tapi tetap saja tak ada tetangga orang Belanda yang menjadi kawan. Bahkan dengan tetangga flat pun kami hanya saling senyum atau mengucap salam. Hubungan yang hangat antar tetangga seperti di Indonesia tak pernah kami temukan. Beruntung anak-anakku tak pernah bosan bermain di rumah. Ada saja permainan yang mereka lakukan. Tapi tentu saja, rumah jadi sering berantakan akibatnya.
Sebelum liburan sekolah mulai, aku dan suamiku sempat mendaftarkan anakku yang sulung ke sekolah dekat rumah. Ada 3 jenis basis school (sekolah dasar) di tempat kami : sekolah dasar umum milik pemerintah, milik yayasan keagamaan dan milik swasta. Sekolah dasar pilihan kami bernama Openbare Dalton School De Starter yang menggunakan konsep Dalton. Disana tersedia kelas mulai dari grup 1 hingga grup 8. Lala anakku yang berusia 4, 5 tahun saat itu, masuk ke grup 1, setingkat TK A di Indonesia. Usia 4 tahun memang menjadi usia wajib belajar di negeri ini. Yang menakjubkan dan membuat nyaman adalah biaya sekolah, sangat murah. Kami hanya perlu membayar 20 Euro saja per tahun, atau sekitar Rp.17.000 per bulan!. Itupun sebetulnya digunakan untuk membayar acara-acara yang sering diselenggarakan pada hari besar Belanda.
Hari pertama sekolah berlalu dengan baik bagi Lala, anak perempuanku. “She is good, not crying or something” kata juf (ibu guru)sepulang sekolah. Masyarakat Belanda umumnya memang menguasai bahasa Inggris, jadi kami relatif tak mengalami kendala untuk berkomunikasi dengan ibu guru Lala. Yang sedikit mengecewakan adalah ketiadaan buku komunikasi (bukom) siswa. Sewaktu di Bandung dulu, sejak usia 2 tahun Lala bersekolah di play grup yang menurut kami cukup baik. Hubungan orangtua dan guru terjalin sangat baik, dan dengan adanya bukom kami jadi tahu apa saja yang dilakukan Lala setiap hari. Tapi disini tak ada bukom, paling-paling aku menanyakan kondisi Lala pada juf seusai sekolah. Lama-kelamaan, tak enak juga kalau setiap hari bertanya. Akhirnya kupikir, yang penting aku percaya bahwa sekolah ini cukup baik buat anakku, itu saja.
Sekolah berlangsung dari hari Senin hingga Jumat. Setiap hari Rabu dan Jumat, Lala pulang lebih cepat yaitu pukul 12.00. Setelah itu khusus hari Rabu, pukul 15.00 aku harus mengantarnya les berenang. Jadi sebetulnya sekolah ‘pendek’ hanya hari Jumat saja. Sedangkan setiap hari Senin, Selasa dan Kamis, sekolah baru selesai pukul 15.00. Namun Jam 12.00 siang, biasanya mereka beristirahat selama 1 jam untuk makan siang dan bermain. Orangtua si anak boleh memilih, anaknya akan beristirahat dirumah atau di sekolah. Tapi, bila si anak tetap stay di sekolah, orangtua harus membayar 1,4 euro per stay. Itu hanya untuk biaya tunggu saja lho, makanan dan minuman tetap harus membawa sendiri dari rumah. Awalnya karena masalah ekonomi kami belum cukup stabil, aku harus bolak-balik mengantar jemput Lala, namun ternyata sangat melelahkan. Alhasil, setelah perekonomian cukup stabil, kami memutuskan untuk tidak menjemputnya lagi saat istirahat.
Bekal makanan yang aku bawakan untuk Lala tentu saja roti dan susu. Orang Belanda memang doyan sekali roti. Kadang aku heran, apa mereka tidak bosan? Untuk sarapan mereka memakan roti, siang makan roti lagi. Makan malam yang katanya ‘besar’ pun kadang masih tetap tersedia roti. Sejak awal kawanku sudah menasehati, “Jangan bawakan anakmu bekal makan siang nasi atau mie ya, nanti dia pasti malu sama teman-temannya.” Ya, begitulah anak-anak, mereka umumnya memang tak mau berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Lala pun akhirnya selalu membawa roti sebagai bekal makan siangnya. Wah, ini sebenarnya sangat meringankan pekerjaanku. Aku jadi tak perlu bingung mengatur menu bekal makanan. Paling-paling yang berubah hanya buah-buahan saja, supaya anakku tidak bosan.
Kalau Lala bersekolah hampir setiap hari, Malik adiknya, hanya masuk sekolah 2 kali seminggu. Sebab usianya baru 3 tahun. Untuk anak usia 2- 4 tahun, di negara ini terdapat semacam playgrup, namanya peuterspelzal. Sebetulnya orangtua boleh memilih menyekolahkan anaknya 4 hari, dari Senin hingga Kamis, atau 2 dan 3 kali seminggu pun tak jadi soal. Untuk play grup ini memang dipungut bayaran, tapi relatif tidak mahal, disesuaikan dengan pendapatan orangtua. Di peuterspelzal ini anak-anak betul-betul hanya bermain. Biasanya anak-anak masuk pukul 9.00 pagi dan pulang pukul 12.00 siang. Di dalam ruangan yang cukup luas, tersedia beragam jenis mainan. Mainan ini dikelompok-kelompokan sesuai jenisnya, sehingga si anak bebas memilih mainan apapun yang mereka suka. Contohnya papan luncur, bak pasir, dapur-dapuran beserta isinya, mobil-mobilan, puzzle, dan tersedia juga pojokan khusus untuk melukis.
Di tengah kegiatan, mereka biasanya beristirahat sejenak dengan memakan bekal yang dibawa dari rumah. Isinya tentu saja roti. Selain itu juf juga selalu menganjurkan orangtua agar membawakan buah-buahan untuk anak-anaknya. Sebelum makan bersama, mereka selalu bernyanyi. Tentu saja tak ada doa. Untungnya di rumah anak-anakku tetap ingat untuk berdoa sebelum makan.
Dengan sistem sekolah yang mengutamakan bermain dan bermain, anak-anakku sangat senang bersekolah. Setelah grup 3 basis school pun anak-anak tak akan diberi pekerjaan rumah, semua dilakukan di sekolah. Dan, jangan heran kalau anak-anak Belanda baru diajarkan membaca saat di grup 3 atau setingkat kelas 1 SD. Pemerintah Belanda tampaknya ingin mencegah terjadinya abusing tidak langsung pada anak. Sehingga pelajaran baca tulis baru diberikan di kelas 1 SD, disesuaikan dengan usia kematangan anak pada umumnya. Tapi mereka akan melejit dengan cepat menyamai kemampuan membaca anak di negara lain yang diajarkan membaca dalam usia lebih dini.
Dan ternyata sistem competence based curicullum yang mereka terapkan di sekolah-sekolah sekarang adalah hasil dari penelitian yang telah dilakukan selama 30 tahun. Wow, penelitian yang panjang kan. Bagaimana dengan di Indonesia ya, setiap ganti menteri ganti kurikulum. Tentu saja semua bingung. Akhirnya yang jadi korban anak-anak juga. Alhamdulillah, anak-anakku disini bisa bersekolah dengan riang dan tak jadi korban kebijakan yang bikin bingung.
Update 20 Mei 2010
Link kalau mau cari sekolah dan melihat profil sekolah untuk membandingkan dan memilih sekolah buat anak di Belanda:
Ini alamat websitenya:
http://www.onderwijsinspectie. nl/nl/home/Algemeen/zoeken/ Zoek_op_scholen
pilih aja sector basisonderwijs
Trus tulis nama sekolahnya dan kotanya, tp harus bener nulisnya, klo salah dikit aja ga muncul dia