Kesan pertama yang aku rasakan setelah mengenal kota tempat aku tinggal kini adalah tenang dan damai. Kehidupan disini begitu berbeda dengan di Bandung. Tak ada kemacetan lalu lintas, tak ada polusi, dan tak ada berita-berita kriminal yang menyeramkan dan ditayangkan sedemikian vulgar seperti berita-berita kriminal di Indonesia.
Taman-taman hijau banyak sekali tersebar dimana-mana, sedangkan mall malah teramat jarang. Bangunan-bangunan klasik berdinding batu-bata merah dan coklat khas Belanda menghiasi kota. Kanal-kanal dengan kapal-kapal yang berseliweran, maupun rumah kapal yang terparkir di pinggir sungai membuat kota ini semakin terlihat klasik dan juga cantik.
Setiap pagi dan sore, iring-iringan sepeda selalu mewarnai jalan. Ya, karena di kota ini sepeda memang menjadi barang ‘wajib’ bagi penduduk. Mulai dari eksekutif, dosen, buruh, ataupun ibu rumah tangga, semua tak malu memakai sepeda. Pemerintah malah menganjurkan masyarakatnya untuk naik sepeda demi mengurangi polusi udara. Sungguh kota yang nyaman untuk keluarga.
Bagi anak-anak, tersedia saluran TV khusus untuk program anak-anak. Karena itu aku lebih mudah menyaring tontonan televisi bagi anak-anakku. Selain itu, di hamparan rumput hijau yang banyak tersebar di dekat rumah, taman bermain selalu tersedia untuk mengusir kebosanan anak-anak. Peternakan-peternakan kecil (kinderborderij) juga cukup banyak tersebar di beberapa area. Tanpa dipungut biaya, anak-anak bisa bermain-main bersama binatang peliharaan di peternakan. Di beberapa peternakan, anak-anak bahkan diperkenankan masuk ke kandang dan memberi makanan sendiri kepada binatang-binatang tersebut. Bagi mereka, hal ini sangat menyenangkan.
Walaupun kota ini aman, damai dan nyaman, tapi tetap saja tak bisa mengobati kerinduanku pada Indonesia. Perasaan ‘aneh’ itu selalu saja muncul. Perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Batagor, siomay, pempek, mie ayam, mie kocok, lotek, dan beragam jajanan Indonesia kadang begitu menyengat rinduku pada kota tempat aku dibesarkan. Apalagi bila aku sedang sakit atau sedang malas memasak. Bayang-bayang betapa lezatnya jajanan itu, dan betapa mudahnya mencari makanan di Indonesia selalu terbayang. Kalau disini, selapar apapun atau sedang sakit sekalipun, acara masak harus tetap jalan. Jangan harap ada emang penjual mie tek-tek lewat. Lepas jam 5 sore, jalanan sudah sepi dan toko-toko telah tutup. Kalau pun ingin jajan, jumlah uang yang dikeluarkan tak bisa sedikit. Belum lagi variasi makanan yang sangat terbatas. Wah pokoknya semua membuat kangen. Jajanan Indonesia memang tiada duanya.
Masalah cuaca di Groningen juga kadang membuatku tersengat rindu pada Indonesia. Hujan dan mendung yang sering turun, apalagi disertai dingin yang menggigit tulang, sering membuat suasana hati begitu muram. Saat memandang keluar jendela dalam cuaca yang seperti ini, dada ini terkadang sesak, dipenuhi oleh kenangan cerianya iklim di Indonesia. Selain membuat kangen, iklim yang tak bersahabat ini juga membuat urusan kostum kadang jadi menyebalkan. Saat musim dingin datang, aku harus membungkus diriku dan anak-anakku dengan beberapa lapis pakaian. Baju dalam dan sweater saja belum cukup, harus dilapis lagi dengan jacket tebal, sarung tangan, syal, tutup kepala, kaos kaki dan sepatu tebal. Wah, pokoknya ribet.
Kerinduan ini memang lucu dan mengharu biru. Perasaan itu sering datang begitu saja meyerbu hatiku tanpa diundang. Kadang, tiba-tiba saja saat weekend tiba kepala dan hatiku dipenuhi kenangan tentang tempat-tempat yang biasa aku kunjungi di Bandung. Sewaktu suamiku memutar lagu-lagu bimbo, mendadak air mataku meleleh karena perasaan yang mengharu biru. Tiba-tiba saja aku teringat suasana lebaran di Indonesia. Padahal musim lebaran masih entah kapan. Suatu pagi, ketika baru saja bangun dari tidur, lagi-lagi dadaku sesak karena rindu sehabis mimpi tentang orangtuaku. Mengapa rasa ‘aneh’ itu selalu datang ya?
Sungguh, setelah jauh dari tanah kelahiranku, baru aku tersadar, ternyata aku selalu rindu, aku cinta negeriku. Walaupun negeriku carut marut, meskipun bau tak sedap dan polusi menyelimuti kota di negeriku, tapi perasaan ‘aneh’ itu tetap tak mau pergi. Barangkali memang lazimnya begitu, karena sesuatu kadang menjadi lebih bermakna ketika ia tak ada. Duh, Indonesiaku, ternyata aku cinta kamu.