Hujan dan Ujian Kehidupan

Selain memang lagi bokek (yang ga habis-habis hehe), ada rasa malas ketika mendapatkan tawaran untuk mengikuti ESQ Parenting perdana di Delft, tanggal 6 Juni kemarin. Namun, sebagai seorang yang peduli terhadap dunia parenting (ehm…) dan punya mimpi untuk berbuat sesuatu di area child health and wellbeing, aku lalu mengompori suamiku untuk memutuskan ikut. Selain itu, motivasi terbesar lainnya adalah lantaran masih ada satu obstacle terhadap anak-anakku dalam diriku yang aku rasa kerap mengganggu. Aku belum bisa seperti suamiku yang sungguh bisa menerima anak-anakku apa adanya sepenuhnya, sehingga tidak terganggu dengan pandangan orang lain atau komentar negatif tentang mereka. Aku berharap ESQ parenting bisa memberikan pencerahan spiritual untuk menghilangkan obstacle tersebut. Dengan dua alasan itu, maka akhirnya di hari minggu pagi lalu, kami bergegas menyiapkan diri untuk pergi ke Delft, juga bersama anak-anak.

Satu alasan lain yang membuat kami malas ke luar rumah sejak tinggal di Diemen adalah karena kalau kemana-mana kami harus naik tram, bus atau kereta yang sungguh memakan waktu. DI Groningen dulu, kemana-mana kami hanya harus naik sepeda dan bus sekali-kali, karena Groningen kota yang mungil dan kompak. Sementara di Diemen, kalau mau gaul dan mengunjungi teman atau acara lain, tak mungkin kami pergi naik sepeda (kecuali lokasi hanya di sekitar Diemen). Sementara untuk naik angkutan, duh lamanya minta ampun, padahal buat suamiku, waktu 24 jam saja seolah tak cukup, setiap menit berharga bagi mimpi-mimpi yang sedang dibangunnya..

Untuk pergi ke rumah temanku di Hoofdorp Amsterdam yang kalau naik mobil hanya memakan waktu 15 menit, kami membutuhkan waktu 1,5 jam dengan tram! Hmm gimana ga bete. Masih mending kalau cuaca bagus. Tapi di Belanda gitu loh, dengan cuaca yang lebih sering angin, kelabu, dingin, semakin-makinlah membuat kami enggan untuk keluar rumah. Kadang kalau sedang kesal karena ketinggalan tram 1 menit atau ketinggalan kereta setengah menit lalu harus menunggu angkutan berikutnya berpuluh-puluh menit, ditemani hawa dingin menggigit, aku dan suamiku sering berandai-andai,”Enak ya kalau punya mobil. Bisa menghemat waktu, ga kepayahan kalo bawa barang belanjaan dan ga kedinginan, apalagi kalau lagi hujan, angin dan salju.”

Tapi sayangnya, gaji suamiku yang pas-passan, untuk hidup sehari-hari saja sudah empot-empotan, sungguh seperti mimpi untuk memiliki sebuah kendaraan. Meski harga mobil disini relatif cukup murah, tapi membuat SIM nya itu lho..bisa habis puluhan juta sendiri. Paling murah kalau sekali ujian langsung lulus, butuh 1500 euro alias 15 jutaan. Tapi umumnya, jarang sekali ada orang yang bisa lulus dalam sekali, umumnya tiga kali, jadi membuat SIM itu biasanya butuh uang sekitar 3000 euro, gila kaan!

Karena itu daripada menghabiskan energi berandai-andai yang bikin kesal, atau melihat ‘rumput rumah orang’ yang juga seringnya memuncullkan penyakit hati, kami lantas berusaha untuk menikmati saja. Seperti ketika berangkat menuju Delft. Karena acara rencananya akan dimulai pukul 12.00, maka kami harus berangkat dari rumah jam 9.45 untuk naik kereta jam 10.00. Seharusnya, setibanya di Delft pukul 11.25, kami harus segera mencari bus nomor 121 yang akan berangkat pukul 11.35. Tapi sialnya, stasiun kereta Deft sedang dalam pembangunan. Bus yang biasanya berada di depan stasiun kereta, rupanya dipindahkan sementara ke bagian belakang. Kami harus jalan memutar agak jauh untuk sampai ke tempat bus. Alhasil kami terlambat 1 menit dan si bus pun sudah berangkat. Sementara bus selanjutnya baru ada lagi pukul 12.35, 1 jam kemudian! Halah..halaah…berhubung hari Minggu, jam kerja bus terbatas rupanya. Aje gile aja kalau kami harus nunggu satu jam. Coba deh naik bus lain mungkin bisa. Kami pun bertanya pada kondektur, rupanya kami bisa naik bus no 81, tapi kami harus berjalan agak jauh. Okelah ga masalah daripada harus menunggu satu jam.

Akhirnya hampir pukul 11.45 kami naik bus menuju Rijswijk sporthal tempat acara. Kami turun di halte Nassaue. Meski suamiku sudah membawa peta, tetap saja jalan membingungkan. Seharusnya kami pilih jalur kanan, tapi kami ambil jalur kiri. Di tengah jalan, kami baru sadar kalau kami telah salah jalan. Ketika kami ingin menyeberang, ternyata ada sebuah sungai di pinggir jalan yang membuat kami harus berjalan memutar cukup jauh untuk mencapai tempat tujuan. Ggrh….Perjalanan yang kalau naik mobil hanya membutuhkan waktu 40 menit ini, akhirnya membutuhkan waktu 2,5 jam! Ditambah dengan lintasan pikiran tentang teman-teman yang dengan enaknya bisa kemana-mana naik mobil, sekejap sampai sana, sekejap sampai sini, kadang membuat perjalanan menjadi makin tak nyaman. Untungnya suamiku selalu mengingatkan untuk segera berpikir positif.

“Ya, kapan lagi kita bisa jalan-jalan bareng berempat sambil menikmati udara kota Delft yang segar seperti hari ini,” kata suamiku.
“Halah pembenaran karena ga punya mobil aja itu mah hehe. Iya deh iya Yah, jalan kaki itu sehat.” Aku menambahkan. Untungnya anak-anakku juga ketularan.”Naik kereta itu gezond buat milieu (sehat buat lingkungan,” ucap Lala. “Aik ga suka naik mobil, aik pusing kalo naik mobil.” Adeknya menambahkan.

Syukunya, perjalanan panjang itu tak sia-sia, materi ESQ parenting memang sebetulnya dasar dan sudah sering kudengar, tapi dengan penyampaian secara menarik dengan game dan kisah-kisah menarik, ditambah beberapa detilnya, aku tetap mendapatkan banyak manfaat. Salah satu materi yang paling membuatku berkesan adalah soal pendidikan spiritual yang harus diberikan ke anak. Ada lima hal penting yang orangtua harus berikan pada anak dalam pendidikan spiritual ini, pertama pemahaman bahwa tujuan kita hidup di dunia semata hanyalah untuk mengabdi pada Allah, kedua: ingatkan tentang perjanjian ruh sewaktu kita masih di kandungan, artinya kenalkan dengan pentingnya mendengarkan suara hati, ketiga: tugas manusia sebenarnya untuk menjadi khalifah di bumi-bermanfaat bagi orang lain, keempat: ajari anak tentang ujian, bahwa kita hidup tak akan luput dari ujian dan ujian itu diperlukan untuk meningkatkan derajat manusia, kelima: segala hal dalam hidup ini harus dipertanggunjawabkan kelak di akhirat.

Yang paling berkesan buatku adalah soal ujian. Betul aku sudah familiar dengan hal ini, tapi untuk meyakinkan pada anak-anak dan menjadikannya sebagai utama rasanya belum. Pesan dari sang Trainer soal ujian ini adalah,” biasanya kalau anak jatuh atau kena kesusahan , kita orangtuanya langsung bilang, aduh kasian cup cup cup, titik. Padahal itu akan melemahkan mereka.” Seharusnya, anak harus diberitahu bahwa kadang hidup memang tak mulus dan ujian harus diterima untuk memperkuat dan meninggikan derajat manusia. Dan ajaibnya, saat itu kami langsung diberi bahan untuk praktek soal ujian ini.

Kebetulan, Lala yang kadang bosan bermain saat menunggu orangtuanya yang sedang training, sering ikut masuk ke ruang training bersama teman-temannya dan ikut mendengarkan. Acara training selesai pukul sepuluh malam, padahal anak-anak esoknya harus sekolah. Tapi ya demi ilmu, sekali-kali tak apalah. Dan lagi-lagi, kami harus menempuh perjalanan pulang selama 2 jam. Ketika di kereta, Lala dan Malik cukup antusias mendengarkan sharing kami soal materi training. Lala selalu meminta dan meminta lagi diceritakan soal training itu termasuk soal ujian. Ketika kami harus pindah-pindah kereta, sementara malam semakin dingin, lala mengantuk dan kedinginan ia mulai rewel.”Mba lala kedinginan, mba lala ngantuk. “ Aku pun segera mengingatkan soal ujian padanya. “Ini ujian buat anak-anak, ujian buat mba Lala. Sabar ya Nak, ujian ini perlu biar mba lala kuat. Inget kan tadi ceritanya ayah, Allah akan meningkatkan derajat orang-orang yang sabar melewati ujian.” Dan ternyata cukup mempan. Lala langsung terdiam, mencoba untuk tidur.

Malam semakin larut, Malik sudah pulas dalam pangkuanku. Setelah menunggu kereta arah Diemen ZUid hampir setengah jam di Schippol, akhirnya kami naik kereta ke arah Diemen Zuid, stasiun pemberhentian terakhir kami. Pukul 12.00 tengah malam, kereta kami tiba di stasiun Diemen Zuid. Malik tertidur pulas, ayahnya yang menggendongnya sejak naik turun kereta tampak kelelahan. Malik pun terpaksa dibangunkan karena kami harus bersepeda ke rumah. Keluar dari stasiun, tiba-tiba cuaca yang sedari siang cerah dan hangat mendadak diguyur hujan deras. Saking derasnya, kami urung naik sepeda. “Tunggu sebentar lagi deh,” kataku. Meski aku tahu anak-anak sungguh sudah kelelahan dan kedinginan, tapi rasanya tak tega melihat tubuh mereka kuyup karena hujan, menurutku opsie menunggu bagaimanapun lebih baik.

Tapi, hanya menunggu semenit dua menit, hujan lalu mereda, khas hujan Belanda, yang biasanya seuprit-seuprit tak pernah deras, kalau pun deras hanya sekejap. Aku membonceng malik yang terkantuk-kantuk di belakangku. Lala dan ayahnya bersepeda masing-masing di belakangku. Baru seperempat perjalanan, tiba-tiba hujan kembali turun, super deras! Rasanya seperti hujan paling deras yang pernah aku alami selama di Belanda. Kami tak mungkin berteduh, karena memang tak ada tempat berteduh. Berteduh di depan rumah orang juga tak mungkin karena rumah dan apartemen orang-orang Belanda ini tak punya teras. Sekejap, kerudungku, bajuku, celana panjangku basah kuyup yup seperti aku habis kecemplung kolam. Tetes-tetes air pun seperti jarum menusuki wajahku karena angin yang menderu-deru seperti bersekutu dengan tetesan air untuk menerpa wajahku. Seketika terlintas bayangan sungguh enaknya bila punya mobil, tak perlu tersiksa pulang hinga larut malam dan terguyur hujan seperti ini. Tapi segera kutepis semua itu. Herannya, malik yang biasanya rewel, terlihat begitu tegar, mungkin karena sudah sangat mengantuk. Hujan deras yang juga membasahi seluruh tubuhnya tak membuatnya menangis atau rewel sedikitpun. Aku begitu terharu melihatnya.

Aku juga teringat kisah dalam training saat anak bungsu pak Ary Ginanjar menghambur-hamburkan dua dos tissue, yang baru saja mereka beli, dari lantai dua rumah mereka. Pak Ary yang semula ingin melarang langsung menahan diri untuk berkomentar lantaran tak ingin menghancurkan imajinasinya dan menghambat sel-sel otaknya yang sedang berkembang. Lalu pak Ary pun bertanya,”Adek sedang apa?” Dan si kecil pun menjawab,”Ini sedang hujan salju Pa.” Phfuih…mendengarnya, Pak Ary segera bersyukur karena tadi tidak melarang anaknya dan segera mendoakannya.”Mudah-mudahan Allah memberimu kesempatan untuk bisa melihat negara-negara bersalju ketika dewasa Nak,” ucapnya.

Terinspirasi dari cerita itu, doa yang dilantunkan setelah melihat sebuah kejadian, dalam guyuran hujan deras, ditemani dingin dan kantuk di tengah malam, sambil mengayuh sepedaku melawan angin, hatiku pun mengucap doa. Bulir-bulir air yang keras menerpa wajahku dan dinginnya air hujan yang seolah menembus baju hingga tulangku tiba-tiba terasa menjadi sebuah nikmat. Tak ada kesal, tak ada keluhan, yang ada hanya hati yang menghangat yang melantunkan sebuah doa.”Ya Allah…Kau saksikan kami mencari ilmu dengan susah payah, mengeluarkan uang untuk membayar training yang sebetulnya sungguh kami butuhkan untuk hidup sehari-hari, menempuh perjalanan panjang, menunggu angkutan berusaha bersabar, ditambah pulang tengah malam, dengan perjalanan yang juga panjang, berikut disambut hujan deras tengah malam. Semoga ini semua berbuah ya Allah, menjadikan aku dan suamiku sebagai orangtua yang bisa membimbing anak-anak kami sesuai kehendakMu, menjadikan anak-anakku anak-anak yang sholeh yang juga sesuai mauMu. Amin…

Hujan lebat lewat tengah malam yang telah menghangatkan hatiku itu, anehnya, seketika sirna ketika kami semua telah tiba di rumah.

Untuk mengusir dinginnya air yang rasanya sudah seperti menembus tulang, kami pun bergantian mandi di tengah malam. Ketika sedang menunggu suamiku dan Malik yang sedang mandi, Lala kemudian menghampiriku. “Mba lala hebat, mba Lala kuat menghadapi ujian. Kan berat mba kehujanan di tengah malam padahal semua orang udah tidur dan besok mba lala harus sekolah.” Dan dengan bijaknya gadisku itu menjawab.”Kalau kita dapat kesusahan, Allah akan selalu tolong, ya kan Bun.”
“Iya Mba, betul banget. Mungkin ga sekarang kelihatan, tapi nanti ketika mba lala sedang butuh, apa yang mba Lala udah tabung sekarang dari ujian-ujian yang dengan sabar mba lala lewati, pasti Allah akan bantu mba lala.”

Gadisku itu begitu tenang, tidak menangis dan berkeluh kesah meskipun habis diterpa hujan, mengantuk dan kedinginan, lewat tengah malam. Malah kata ayahnya, di tengah jalan tadi, ketika mereka sedang diserbu hujan sambil bersepeda, Lala bilang begini,”Hujan ini hanya untuk kita ya Ayah, untuk menguji kita?” Ayahnya tertegun, mengamini kata-kata putrinya. “Iya Lala betul sekali, hujan ini hanya diturunkan Allah untuk kita. Ga ada orang lain yang kena hujan karena mereka sudah terlelap di balik selimut.” Aku pun tertegun mendengarnya. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua kejadian dalam kehidupan kita dihadirkan sebagai kepingan-kepingan puzzle yang harus kita susun untuk bisa memaknainya. Dan puzzle hujan deras di tengah malam, yang turun seketika ketika kami bersepeda tapi juga berhenti seketika saat kami tiba di rumah, seperti sebuah pertanda, mengamini pelajaran berharga seharian tadi. Pelajaran bahwa, hidup memang tak pernah luput dari ujian dan sudah menjadi janji Allah bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang melewatinya dengan sabar. Pelajaran yang bukan hanya diberikan bagi orang dewasa, tapi juga mestinya ditanamkan pada anak-anak kita, agar mereka bisa tetap menjalani kehidupan di dunia ini dengan senyuman dan penuh kesabaran, sesuai dengan keinginan Tuhan.