Aku pulang dan tercengang. Mungkin karena 4 bulan hidup sendirian sungguh memberikan banyak perubahan. Aku menjadi manusia soliter, kembali ke masa mudaku ketika aku yang pendiam lebih banyak merenung sendirian dan mengurung diri di kamar. Ya rasanya aku seperti kembali ke masa itu, aku menjadi penikmat kesendirian dan ketenangan.
Jadi, ketika aku pulang, aku terkaget-kaget melihat rumahku yang tak terawat dan berantakan, serta anak-anak yang ribut berkejar-kejaran. Aku tak tahan, dapurku yang dulu kinclong itu langsung kugosok-gosok dan kubersihkan.Dan aku lebih terkaget-kaget ketika melihat WC mungilku di lantai bawah kotornya ga keruan. Aku langsung ngomel-ngomel tak tertahan.”Bisa ya make WC kaya gitu. Anak-anak tuh ga bantu bersih-bersih ya Yah?”kicauku. Ketika pergi ke lantai atas, kamar mandiku yang dulu selalu bersih, kini dindingnya penuh jamur dan berwarna kekuningan. “Ya ampuuun. Ini padahal kan bisa digosok sambil mandi!” Aku mulai berang. Aku yang ingin mengguyur badanku mengharap kesegaran langsung tak punya hati untuk mandi. Kusemprot semua dinding itu dengan bahan antikalk, kugosok-gosok semua dinding dan lantai dan semua yang mengganggu mataku sampai bersih. Hari pertama kedatangan, hanya kuisi dengan menggosok dan bersih-bersih rumah, huh!
Tapi meski ingin ngomel berkepanjangan, aku tahu suamiku sudah berusaha setengah mati untuk mengurus semua sendirian. Aku paham, baginya sungguh tak mudah menjadi single parent. Jadi, omelanku sebisa mungkin aku tahan.”Aku tahu ayah udah berusaha keras banget, maksud aku, mestinya anak-anak diberdayakan.” Suamiku bilang, mereka kadang sadar dan mau membantu membereskan, tapi harus ada mandornya dan kadang suamiku sudah tak sanggup karena kelelahan.
Selain itu, aku perhatikan, si bungsuku, nonton TV nya tak terkontrol, bisa seharian kalau sedang liburan. Kebiasaan makannya pun membuatku mengurut dada. Malik yang suka pilih-pilih makanan, terbiasa makan nasi dengan lauk gorengan. Sayuran paling-paling wortel mentah, timun atau brokoli rebusan. Titik. Tapi gorengannya itu lho, ya hampir setiap hari, karena makanan itu lah yang paling gampang yang bisa dibuat oleh suamiku. Belum lagi, sekarang Malik jadi nangisan, kembali seperti dulu sebelum konsul ke psikolog. Dan Lala? Rasanya aku sungguh sulit berkomunikasi dengannya. Dari dulu aku memang kesulitan soal yang satu ini, karena Lala anak yang pendiam, cool, dan sensitive. Apalagi sekarang dia sudah mau ABG, berkomunikasi dengan anak ABG membutuhkan kesabaran ekstra dan teknik tersendiri tentunya. Membayangkan aku yang akan pergi menjauh lagi darinya selama beberapa waktu ke depan, tiba-tiba membuatku takut kehilangan kedekatan dengan anak-anakku. Aku merasa gara-gara aku sekolah, jadi begini akibatnya. Hiks…aku lalu sedih bukan kepalang. Seharian aku lebih banyak diam. Bukannya kangen-kangenan, anak-anak malah merasa tak nyaman karena melihat wajahku yang berkerut-kerut dan ngomel-ngomel melulu soal kebersihan.
Pengalaman burukku dengan oral exam yang masih menyelimuti aku, ditambah dengan melihat semua itu sempat membuatku menangis tersedu-sedu. Aku lalu meminta maaf pada anak-anakku, satu persatu kupanggil mereka dan kupeluk erat-erat. Lalu kami melakukan pembicaraan dari hati ke hati, tentang apa yang kurasakan dan apa yang mereka ingin aku lakukan. “Aik ga mau kalo Aik lagi melakukan sesuatu terus bunda suruh ini itu, bunda kan juga ga mau digituin kan. Bunda harus tunggu sampe Aik selesai.” Kata Aik. Lala juga intinya sama, mereka ga mau disuruh berulang-ulang.
Pembicaraan dari hati ke hati itu membuatku lega dan senang, kedekatanku dengan anak-anak kembali pulih seketika. Bahkan dengan Lala, aku juga membicarakan soal menstruasi, teknisnya dan konsekuensinya. Aku bilang padanya bahwa aku kuatir ia mendapatkan menstruasi dikala aku sedang tak ada. Jadi aku ajarkan padanya bagaimana memakai pembalut, mencuci dan membersihkannya.
Sehabis pulang dari acara pesantren kilat beberapa waktu lalu, suamiku mendapat pencerahan dari pak ustad Hilman Rosyad. Katanya ketika anak sudah mens ya pendidikan seks yang ‘dalem-dalem’ sudah harus dijelaskan, termasuk menjelaskan bagaimana proses ML berikut bagian-bagian mana buat perempuan yang enak, dan apa kata agama untuk menjaga proses ini.”What? Sampe sedalem itu Yah?” Aku bengong, karena buat aku itu sesuatu yang baru. Dan aku rasa pasti tidak semua orang sepakat dengan pendapat pak ustad ini. Tapi aku pribadi sepakat dengan apa yang dibilang pak ustad. Karena prinsipku, lebih baik anakku mendapat informasi yang benar dari orangtuanya, daripada mereka penasaran dan cari-cari sendiri informasi yang malah bisa salah. Lagipula dari pengalamanku bicara soal ini dengan anak-anak, hubungan kami jadi makin dekat dan terbuka. Jadi kesimpulannya, aku masih punya peer satu lagi, untuk menjelaskan soal yang satu itu sebelum aku pergi. Sebab ga lama lagi, Lala bakal dapat pendidikan seks dari sekolahnya, jadi lebih baik dia tahu yang benar dulu ketimbang diberi tahu oleh sekolah yang belum tentu sejalan dengan nilai-nilai agamaku.
Kembali ke soal pulang ke rumah, akhirnya aku ngobrol panjang dengan suamiku, evaluasi sekaligus berusaha memperbaiki diri dalam melangkah ke depan. Satu hal yang pasti, aku sadar semua pilihan ada konsekwensi. Kembali ke dunia sekolah membuatku betul-betul hidup. Kadang kawan-kawanku bertanya,”Gimana Nes sekolahnya, stress ga, ninggalin anak-anak bisa ya?” Tapi aku selalu menjawab,”Aku bahagia banget bisa sekolah lagi. Temen-temenku baik-baik, seru, dan aku suka dengan topic yang aku pelajari.” Malahan saking sukanya, kadang aku cenderung jadi terlalu ambisius dan bilang gini ke suamiku,”Yah setelah aku kembali sekolah dan dapat banyak pencerahan, pokoknya aku ga mau kalo harus kembali diem aja di rumah, aku mau sekolah dan berkarir Yah!” Kadang ada kekhawatiran, bagaimana dengan anak-anak kalau mereka terlalu lama kutinggal. Tapi aku lalu menggumam,”Ah, kan mereka sudah besar dan sudah punya destiny nya sendiri-sendiri. Aku punya mimpi, aku punya hidupku sendiri. Biarin aja lah dengan segala konsekwensi pokoknya aku mau sekolah dan karir titik.” Untungnya suamiku selalu mengingatkan lagi untuk kembali ke jalan yang benar. “Oke aja Ma sebetulnya, asal kita ga lupa bahwa kita jalanin semua ini harus selalu ngikutin maunya Allah, bukan suka suka nafsu sendiri.”
Astaghfirullahaladzim. Aku lalu beristighfar, menyadari ambisiku yang keblabasan, kembali meluruskan niat bahwa apapun yang kulakukan itu semua harus dalam rangka melaksanakan tugas dari Allah. Kalau aku keluar dari jalur itu, mungkin bisa-bisa aja, tapi apakah berkah nantinya? Apakah diriku, anak-anak dan suamiku akan terjaga? Ngeri kan kalau enggak. Akhirnya, aku kembali pasrahkan semuanya. Wes, ga usah ngoyo, wong kita ini hidup cuma menjalani dan menyaksi aja koq ya. Kalau sudah jalannya, tugasnya, rejekinya, pasti ga akan kemana, dan pasti Allah akan menjaga. Aku sangat percaya, asalkan kita selalu berusaha untuk menjangkarkan semua padaNya.
Aku pulang dan tercengang memang, tapi aku senang karena aku kembali diluruskan.