Panggilan Hati dan Tugas Diri
“Everyone has been made for some particular duty, and the desire for that particular duty has been put in every heart.” Rumi
Quote itu adalah salah satu quote favoritku, yang sering aku kutip berulang kali. Mendalami dan menghayati quote itu membuat hidupku lebih tentram dan damai karena aku percaya setiap orang sudah diciptakan Tuhan dengan tugasnya masing-masing, aku jadi lebih focus terhadap diriku sendiri, ga perlu iri hati dan dengki melihat kesuksesan orang lain, ga ingin mengurusi kehidupan orang lain, dan selalu berusaha untuk tidak ingin menghakimi dan menilai orang lain. Kita tidak bisa membuat orang lain menjadi seperti kita. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain karena tidak seperti kita, karena, setiap orang memang sudah diciptakan Tuhan dengan tugasnya masing-masing, termasuk penjahat sekalipun. Untuk bisa betul-betul menghayati quote tersebut sungguh tidak mudah, karena seringnya lagi-lagi kita terjebak untuk menyalahkan, menggeneralisir dan merasa paling benar. Karena itu sebagai pengingat, aku sering sengaja membacanya lagi dan lagi, terutama ketika aku sedang merasa menjadi orang paling benar sedunia, hal yang sangat sering kualami.
Dan pertemuanku dengan Gillian, sebut saja namanya begitu, kembali membuka mataku tentang panggilan hati dan tugas diri ini. Perempuan paruh baya asal Kenya itu menjadi salah seorang dosen tamu, mengajar dua minggu ketika aku di Bordeaux. Dia seorang wanita hebat, menyelesaikan master dan phd nya di London, dan pernah mendapat award lima besar scientist perempuan paling top di Afrika. Ia pun sudah hampir mengelilingi dunia karena sering dipanggil untuk menjadi pengajar dan konferensi dimana-mana. Pokoknya dia termasuk salah seorang inspiring women di Afrika.
Dia sungguh ramah, baik hati dan tidak segan membagi ilmunya kepada kami. Suatu ketika, dia bercerita tentang anaknya yang 4 orang sudah besar-besar dan jadi orang. Aku lalu bertanya padanya,”Gill, kamu sungguh hebat, kamu sering pergi keliling dunia, inspiring women di Africa, tapi anak-anakmu juga hebat. Aku, sekarang lagi ninggalin kedua anakku dan suamiku di Amsterdam, kadang ada perasaan kuatir kalau mereka kenapa-kenapa, apa kamu pernah mengalami hal yang sama? Dan gimana kamu mengatasinya?”
“Tentu aku pernah mengalami itu Agnes. Tapi, aku selalu percaya pada hatiku, karena aku yakin Tuhan berbicara padaku lewat apa yang ada di hatiku,” jawab Gill yang seorang Kristiani taat ini. ”Masa terberatku adalah ketika aku harus memutuskan untuk mengambil PhD ku di London, sementara anak-anakku saat itu masih SD, seperti anak-anakmu. Saat itu aku betul-betul khawatir dan bingung, tapi kemudian seorang sahabatku mengingatkan aku.’Gill, kamu harus ingat, bahwa bukan kamu yang jaga anak-anak, meski kamu berada bersama mereka, kamu tetap tidak bisa melindungi mereka 24 jam. Tapi Tuhan lah yang menjaga anak-anak kamu!’
Duh mendengarnya, hatiku langsung membiru.“Iya betul banget Gill, sejak awal memutuskan untuk sekolah lagi, aku memang selalu mencoba menghayati ini, tapi kadang prakteknya berat.” Gill pun melanjutkan petuahnya,” Jangan pernah merasa bersalah dengan apa yang sudah kamu pilih Agnes. Asalkan kamu yakin dengan hatimu, just follow your heart, and everything will be okay. Anak-anakku bahkan sampai sekarang, meski mereka sudah dewasa, mereka selalu nelpon aku tiap hari, nanya kabarku. Yang aku lakukan saat aku ada bersama mereka adalah qualitity time, dan syukurnya sampe sekarang mereka baik-baik saja dan hubungan kami tetap dekat.”
Aku benar-benar tersentuh mendengar penuturannya kala itu. Aku memang tidak pernah merasa bersalah meninggalkan anak-anakku, karena keputusan yang aku ambil sudah berdasarkan doa dan pemikiran yang panjang. Tapi kadang, ketika masalah datang tetap saja perasaaan khawatir itu muncul, namun Gill membuka mataku lagi tentang panggilan hati dan tugas diri. Bukan berarti setiap wanita harus seperti Gill dan sekolah tinggi lalu meninggalkan anak-anaknya, bukan berarti pula setiap wanita harus diam di rumah mengurus suami dan anak-anaknya. Tapi, setiap orang sudah punya tugas yang diembannya dan harus menyadari apa tugasnya, apapun itu. Tugas itu sudah dititipkan oleh Tuhan dalam hatinya, sehingga dia dan orang disekitarnya pun merasa nyaman dan bahagia ketika melakukannya, sehingga semua pun akan baik-baik saja karena Tuhan memang betul-betul menjaga.
Dan aku semakin tersentuh ketika pulang, lalu melakukan percakapan panjang dengan si bungsu, putraku. Meski perjalananku belum usai, masih panjang, namun aku menemukan ucapan Gill yang terbukti di depan mataku saat ini.
Sehari sesudah aku datang, seperti biasa, aku dan si bungsu berpelukan, melepaskan kangen, bercerita tentang segala macam. Mulai dari kecintaannya pada lego yang makin menjadi, hari-harinya di sekolah, nilai 10 untuk prakarya yang dibuatnya, termasuk cita-citanya untuk menjadi lego creator yang belum juga berubah, serta hal-hal lucu khas si bungsu.
“Kalau Aik mau jadi lego creator Aik harus sekolah apa, arsitek ya?”
“Ga tau Bun, mungkin iya, tapi itu harus bisa gambar. Nanti gambar yang mau dibuat terus dimasukin ke computer.”
”Hoo gitu, terus nanti kalo Aik udah jadi lego creator, Aik tinggalnya di Amerika dong.”
“Mm mungkin di Denmark Bun, karena pabriknya itu ada di Denmark, atau di Amerika Aik ga tau.”
“Kalau gitu nanti kita tinggalnya jauhan ya Ik.”
“Bunda ada dimana, di Indonesia?”
“Iya bunda kan pengen tinggal di Indonesia, bunda udah cukup tinggal di luar negerinya.”
“Mm kalau gitu, nanti kalau bunda mati, Aik harus datang ke Indonesia.”
What? Aku ngakak.”Lho koq aik udah mikir bunda mati?”
“Iya, kalau Aik jadi lego creator dan di Amerika kan berarti bunda udah oma-oma dan udah bisa mati. Aik harus datang ke Indonesia ke begrafenis nya (pemakamannya) bunda kan?”
Bwahahaha aku langsung ngakak abis ga tahan.
“Kenapa bunda terbahak-bahak?” Aik bingung dan aku tambah mau ngakak melihat wajahnya yang bingung plus kata terbahak-bahak yang diucapkannya hehe.
“hehehe iya Ik aik betul banget, bunda cuma terbahak-bahak karena bunda belum pengen mati haha.”
“Iya tapi itu kan bisa terjadi kan kalo bunda udah oma-oma dan aik udah besar jadi lego creator di Amerika.”
“Iya sayang, itu bisa terjadi, betul aik pinter deh.” Hehehe.
Lalu pembicaraan pun berganti dengan hal yang kadang aku khawatiri.
“Nah terus Ik, selama bunda ga ada, Aik ga suka liat yang po*n kan? Atau misal aik pernah ga sengaja liat lagi?”
“Ga bun, echt (betul) engga! Kalau Aik lagi liat komputer, tiba-tiba di pikiran Aik suka ada bilang,’liat yang po*n-po*n, liat…liat.”
Deg! Aku mulai deg-degan mendengarkan penjelasan Aik, ternyata begitu ya, anak pre-teen ini udah ditarik-tarik setan juga pikirannya, duh parah banget niy setan.
“Terus gimana Ik?” Mataku mulai melotot dan telingaku tambah panjang pengen denger kelanjutan cerita Aik.”
“Tapi terus Aik bilang ke otak Aik,’Itu ga boleh. Nanti otakmu rusak. Itu ga boleh nanti otakmu rusak. Terus Aik ga jadi pengen liat lagi bun, dan echt aik ga pernah liat lagi.”
Ya Allah..ya robbi…hatiku langsung meleleh dan mataku berkaca-kaca mendengarnya. “Alhamdulillah, bunda seneng banget dengernya AIk. Aik anak sholeh! Aik masih inget kan kenapa kalau liat yang po*n itu jelek dan bisa ngerusak otak?” Meski sudah berulang kali dikasih tau tapi aku sadar bahwa kadang anak-anak ga nangkep jadi harus sering diulang-ulang.
“Nanti jadi mau frijen (ML) terus kan Ik, padahal kalo belum menikah ga boleh kan Ik kata Allah. Nanti kalau frijen bebas gimana Ik?”
“Nanti bisa kena kanker,” jawab Aik.
Aku pun meluruskan lagi pemahamannya,“Nanti bisa kena penyakit kelamin, HIV atau AIDS seperti gambar-gambar yang waktu itu bunda kasih liat ke Aik, Aik masih inget kan Ik?”
Aik pun mengangguk.
“Aik hebat, bunda bangga sekali sama Aik!” Aku puji Aik habis-habisan dan aku sungguh lega dan seneng banget denger pengakuan Aik yang jujur.
“Terus, apa lagi Ik?”
“Terus kalau Aik penasaran mau liat, aik harus bilang sama ayah dan bunda, nanti aik bisa nonton sama ayah dan bunda.”
“Iya aik pinter, nanti kalau teman-teman aik di sekolah ada yang nyuruh-nyuruh aik nonton, aik bilang gitu ya, aik mau nonton sama ayah dan bunda aik aja.”
Aik lagi-lagi mengangguk.
Dan waktu aku cerita ke si sulung untuk cross cek, si sulung juga mengamini apa yang diucapkan Aik. Si Sulung memang sangat beda, aku yakin anak ini ga pernah ingin nonton yang begitu-begitu karena dia sangat taat aturan kalau aturan itu sudah diyakininya betul. Aku ga khawatir sama si sulungku ini, malah meminta dia untuk jagain adiknya. ”Iya Bun betul itu betul. Aik itu yang ada di kepalanya cuma lego dan lego, aik ga pernah liat yang jelek-jelek Bun,” kata kakaknya. Duh ya Allah aku betul-betul lega, ucapan Gill sampai sejauh ini terbukti, Allah sudah jaga anak-anakku alhamdulillah, semoga seterusnya begitu ya Allah.
Tapi bagaimanapun, aku sadar, ga ada yang sempurna, dengan ketiadaanku di rumah, pasti ada kekurangan yang muncul. Tapi aku sungguh senang karena setidaknya, untuk hal-hal prinsip, apa yang sudah sejak dulu aku usaha tanamkan ke anak-anak sekarang mulai membuahkan hasil, meskipun aku ga ada disisi mereka, meskipun aku sedang memutuskan untuk kembali berkarir karena hati yang memanggil. Terimakasih Gill, untuk telah mengingatkan aku tentang panggilan hati, tentang tugas diri. Terimakasih Tuhan, untuk telah menjaga anak-anakku seperti janjiMu, semoga selamanya begitu.
Dan terimakasih juga buat si bungsu yang lagi-lagi telah mengijinkan ceritanya untuk di share ke public, kali ini tanpa meminta imbalan apa-apa lho, hanya menagih janji ibunya untuk membelikan lego kesukaannya sebagai ganti oleh-oleh dari Bordeaux. Tapi ternyata ya tetap juga membuat emaknya melongo.
”Aik dikasih berapa bun buat beli lego?”
“20 euro ya?”
“Aik perlu 40 euro buat beli lego ninja Go yang aik mau.” Tampangnya agak kecewa.
What? 20 euro kan udah banyak ko masih kurang, batinku.
“Aik juga perlu 70 euro buat beli lego yang … Terus nanti kalau ramadhan Aik juga mau lego yang harganya 100 euro. Terus Aik perlu 300 euro untuk lego robot yang bagus banget itu.”
What?! Aje gile…gimana si emak ga melongo, sekarang si bungsu udah tau harga selangit, 20 euro pun tetap kurang banyak jek ck ckck…
“Oke Ik, tapi aik harus berkarya dulu ya kalau mau dapat uang segitu…”
Si bungsu pun rada manyun sambil mikir. Untung tetep ga ngebatalin ijin ceritanya untuk di share ke publik hehe.