Bahayanya Menolak Imunisasi

[Download e-book PDF]

Beberapa minggu ke belakang, berkaitan dengan lagi ramenya outbreak diptheri campak dan juga anti imunisasi, banyak pertanyaan masuk ke Personal Message aku, menanyakan soal imunisasi ini. Alhasil dari pada bolak balik jawab, lebih baik aku tulis jadi sebuah artikel, sekalian aku belajar juga. Tadinya kepikir mau ditaro di koran, tapi aku udah agak-agak trauma menulis artikel di koran, selain ada alasan pribadi, tempat menulis terbatas banget, kadang isinya juga diedit suka-suka editor. Syukurlah ada blog, jadi lebih leluasa untuk mengekspresikan semua isi pikiran.

Proses pembuatan artikel ini cukup bikin sakit kepala. Sampe sempet maju mundur untuk lanjut. Buat apa sih nulis yang beginian, mending juga nulis paper jelas buat CV. Belum lagi, ini masalah sensitive, aku butuh berhari-hari untuk research, yang kadang membuat ingin ga diterusin aja nulisnya. Gimana anti imunisasi ga semakin banyak, tulisan di internet tentang anti imunisasi memang ‘menyeramkan’. Kadang di satu titik membuat aku tercenung, bener ga ya pilihan ku untuk jadi pro sama imunisasi, (memang aduhai itu si artikel anti imunisasi, kadang sangat meyakinkan banget nulisnya, yang berbahasa Inggris tapi ya, kalau yang berbahasa Indonesia seringnya malah jadi terjemahan yang aneh tanpa mencantumkan literatur sesuai aturan pula). Tapi justru di situlah tantangannya, aku terus mencari dan mencari lagi informasi pembandingnya, dan informasi yang sebenarnya. Betul memang vaksin tentu tidak sempurna dan tidak aman 100 persen, ada cacat disana sini, tapi justru itu yang membuat kita harus tetep waspada, hati-hati sebelum membeli, keep well informed. Bagaimanapun, diantara ketidak sempurnaan vaksin, manfaatnya jauh lebih banyak daripada mudharatnyam sehingga akhirnya kuputuskan untuk menyelesaikan tulisan ini dan tetap mengambil posisi sebagai penganjur imunisasi tentunya. Selamat membaca, siap-siap ajah, tulisannya panjaaang, serasa bikin tugas essay 10.000 kata :D

Bahayanya Menolak Imunisasi

Mulanya, ia adalah seorang wanita yang sungguh rupawan. Namun, kecantikan itu lenyap pada usianya yang ke 26 setelah penyakit smallpox (variola atau cacar monyet) menyerangnya dan meninggalkan jejak parut alias bopeng di wajahnya. Alis wajahnya pun menghilang akibat penyakit yang sama(1). Di masanya dahulu, smallpox memang penyakit yang cukup mengerikan, penyakit infeksi pembunuh terbesar. Di akhir abad ke-18 penyakit ini telah membunuh 400.000 warga eropa per tahunnya, yang sebagian besar adalah anak-anak. Bahkan diperkirakan sekira 300-500 juta orang di abad ke-20 telah meninggal akibat penyakit ini(2). Selain memunculkan bopeng yang membuat penderitanya menjadi buruk rupa dan menyebabkan kematian, smallpox juga menyebabkan kebutaan serta penyakit tulang. Penyakit yang disebabkan oleh virus variola ini pun sangat mudah menular, hanya lewat udara, percikan ludah atau berdekatan saja, orang lain bisa tertular(3), sungguh seram bukan?

Untungnya, vaksinasi untuk melawan smallpox yang pertama kali ditemukan oleh Edward jenner berhasil membuat penyakit ini lenyap dari muka bumi. Tahun 1979, WHO mengumumkan bahwa penyakit ini telah berhasil dieradikasi(4). Bayangkan kalau penyakit ini masih ada hingga kini, berapa banyak wajah rupawan yang harus jadi korban, berapa banyak nyawa lagi yang harus terbang. Edward Jenner patut diberi penghargaan memang. Namun, dibalik sukses Edward Jenner sebagai penemu vaksin pertama kali, inoculation, atau menanamkan bibit penyakit pada orang sehat, agar terbentuk imunitas tubuh terhadap penyakit tersebut sebetulnya telah dilakukan berabad-abad sebelumnya oleh bangsa Cina(5). Cara ini pun telah dilakukan oleh bangsa Turki di jaman kerajaan Ottoman(6).

Wanita yang diceritakan di atas adalah Lady Mary Wortley Montagu(1,6), seorang istri ambassador Inggris yang pada tahun 1717 sempat tinggal di Turki selama 2 tahun untuk menemani suaminya yang bertugas disana. Saat tinggal di Turki, ia memperhatikan kebiasaan orang Turki dan menyaksikan seorang wanita Turki yang melakukan inoculation untuk melawan penyakit smallpox. Wanita Turki ini mengambil nanah dari luka penderita penyakit smallpox. Lalu, dibuatlah beberapa sayatan di tubuh anak yang sehat, dan nanah tersebut ditanamkan pada sayatan itu dan dibalut. Lady Mary melihat anak yang sehat itu mengalami demam beberapa hari, namun kemudian sembuh dan kebal terhadap penyakit smallpox. Saat pulang ke negaranya, Lady Mary dengan antusias mempromosikan cara Turki itu. Namun ia ditentang oleh kalangan medis ketika itu dengan alasan konyol namun masuk akal untuk kondisi saat itu: karena dia adalah seorang perempuan, dan karena ide yang dia bawa berasal dari Timur (Turki). Meskipun begitu, Lady Mary tetap melakukan inoculasi melawan smallpox untuk anak lelakinya, dan anak lelakinya pun menjadi kebal terhadap smallpox. Beberapa puluh tahun kemudian, barulah Edward Jenner muncul dan mempublikasikan bukti penemuannya tentang vaksin Smallpox.

Jika melihat sejarah, ternyata awal mula munculnya vaksinasi berasal dari Bangsa Cina dan Turki (yang saat kerajaan Ottoman berkuasa negaranya berlandaskan Islam). Merekalah yang telah mempraktekan cikal bakal vaksinasi. Mengapa membaca sejarah dalam hal ini menjadi penting? Karena belakangan ini di Indonesia gerakan anti imunisasi mulai berkembang dan membuat para orangtua bimbang. Dari sejarah, kita bisa melihat dengan jernih asal muasal vaksinasi, dan apakah betul vaksinasi memang hanya merupakan teori konspirasi untuk melemahkan suatu kaum sehingga patut dihindari? Dan apakah betul manfaat vaksinasi lebih sedikit daripada kebaikannya sehingga layak untuk diantipati? Mari kita kaji lagi dengan seksama dan hati-hati.

Gerakan Anti-Imunisasi

Sebetulnya anti imunisasi sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sejak Edward Jenner dengan vaksinasi temuannya berhasil mengurangi kasus smallpox dengan sangat signifikan. Poland GA dan Jacobson RM di tahun 2001(7) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Vaccine jurnal mengatakan bahwa CDC (The Center for Disease Control and Prevention) telah membuat booklet yang didalamnya mengumpulkan kritik dan keberatan dari para anti imunisasi berkaitan dengan vaksinasi. Selain alasan teori konspirasi dan politik seperti kecurigaan terhadap keuntungan yang didapat perusahaan vaksin, isu kaum minoritas, serta genocide ( pembunuhan masal suatu kaum), isu-isu lain juga muncul. Jika membaca website-website anti imunisasi dalam internet, isue-isue tersebut memang sering disebut-sebut diantaranya: bahwa penyakit sudah mulai hilang sebelum vaksin digunakan, jadi buat apa divaksinasi; bahwa alih-alih meningkatkan kekebalan tubuh, vaksin malah menyebabkan kesakitan dan kematian; bahwa penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin sudah dieliminasi jadi buat apa divaksin; bahwa semakin banyaknya vaksin yang masuk bisa menyebabkan kekebalan tubuh kita terbebani; dan bahwa cara vaksin bekerja dengan menanamkan bibit penyakit untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah cara yang tidak alami.

Masih dalam jurnal yang sama dikatakan bahwa saat ini lebih dari 300 anti vaccine website tersebar di internet. Para aktivis anti imunisasi tersebut tidak hanya mengambil keuntungan dari kemudahan penyebaran informasi dari debat di internet, tetapi juga melebih-lebihkan dan mendramatisir kasus-kasus reaksi efek samping akibat imunisasi kepada media dan masyarakat. Informasi-informasi yang seolah ilmiah, padahal kadang salah kaprah atau diinterpretasikan secara salah menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Fakta yang sesungguhnya, data ilmiah yang valid dan bisa dipercaya telah dikaburkan oleh media dan gerakan anti imunisasi sehingga ketakutan masyarakat semakin menjadi.

Fakta yang tidak akurat
Dokter Ed Friedlander dalam websitenya(8) telah membeberkan beberapa contoh kesalahan interpretasi yang sering terjadi entah disengaja ataupun tidak oleh para anti imunisasi. Menurut dokter Ed, dengan membaca tulisan-tulisan yang sekilas mencantumkan sumber jurnal dan orang terkenal atau para ahli, orang awam yang tidak mengerti dunia ilmiah akan segera terpengaruh oleh tulisan-tulisan tersebut. Contohnya bisa kita lihat dari sebuah website anti imunisasi berbahasa Indonesia yang penulisannya seperti ini:

“SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per 1000 orang di 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur 2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi. Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9 per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat SIDS meningkat pada saat hampir semua penyakit anak-anak menurun karena perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita naik secara meyakinkan menjadi 36 per anak.”

Tulisan ini tidak memberikan kutipan dari mana sumber asli jurnal ilmiahnya, padahal data-data merujuk tentang penelitian yang semestinya berasal dari jurnal. Lalu, kalau melihat websitenya, ada jualan obat herbal juga dibaliknya. Sementara kalau melihat jurnal ilmiah, issue tentang vaksin DPT dan hubungannya dengan SIDS ini telah dibantah. Sejak 1982, telah dilakukan penelitian secara mendalam tentang hubungan antara vaksinasi DPT (Diptheri, Pertusis, dan Tetanus) dan SIDS, tapi ternyata tidak ada hubungannya. Dari telaah dokter Ed, data yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara vaksin DPT dan SIDS bisa didapatkan dari jurnal-jurnal berikut: J. Ped. 129: 695, 1996; Am. Fam. Phys. 54: 185, 1996. Malah berdasarkan penelitian dari Edinburgh (FEMS Immuno. Med. Micro. 25: 183, 1999) imunisasi DPT justru bisa melawan SIDS. SIDS sendiri kemungkinan malah disebabkan oleh pertusis (Eur. J. Ped. 155: 551, 1996.).
Begitu juga dengan issue lain seperti vaksin hepatitis B menyebabkan penyakit multiple sclerosis, issue vaksin MMR menyebabkan autism, dan issue-issue lainnya, semua sudah dibantah secara ilmiah(9).

Memang betul vaksin adalah obat yang tidak mungkin 100 persen sempurna dan aman, jadi walaupun diciptakan untuk mencegah penyakit tapi tentu bisa menyebabkan efek samping. Sejak 1990, CDC and FDA sudah membuat VAERS The Vaccine Adverse Event Reporting System untuk mendeteksi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping dari vaksinasi(10). Setelah kasus dilaporkan, badan ini akan melacak apakah penyebabnya memang lantaran vaksinasi atau bukan. Setiap Negara pada prinsipnya mempunyai lembaga ini yang juga mempunyai fungsi yang sama.

Karena itu sangat disarankan bagi orangtua agar tetap well informed. Sebelum mengimunisasi anaknya, bertanya, membaca atau mendapatkan informasi terlebih dahulu tentang kemungkinan efek samping dan reaksi yang ditimbulkan dari sebuah vaksin serta mengetahui tindakan pertama yang harus dilakukan ketika terjadi efek samping, sangatlah penting. Tapi seringnya, meskipun ada, efek samping vaksinasi hanyalah ringan, jika pun berat umumnya tidak berhubungan langsung dengan imunisasi. Kalaupun ada hubungan dan akibatnya cukup fatal, itu terjadi hanya 1: 100.000 orang yang telah mendapatkan manfaat imunisasi.

Sayangnya jika ada kejadian fatal, media kerap meniup-niupkan dan membuatnya bombastis serta emosional, sementara ketika kasus penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi mewabah dan menimbulkan kematian banyak orang, beritanya tidak dibesar-besarkan. Manfaat vaksin yang lebih besar ketimbang efek sampingnya juga sering tidak dimunculkan. Alhasil masyarakat semakin ketakutan.

Sebagai contoh, Ben Goldrace, seorang dokter dan penulis science, dalam sebuah artikelnya menceritakan bahwa 1592 artikel di google news memberitakan tentang seorang gadis yang meninggal tiba-tiba setelah mendapatkan vaksin pencegah kanker leher rahim(25). Namun, hanya 363 artikel yang memberitakan bahwa setelah di autopsi ternyata penyebab kematian si gadis adalah lantaran telah memiliki tumor parah di paru-parunya yang sebelumnya tak terdiagnosa. Ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan media dalam pemberitaan ternyata bisa turut andil dalam penyebaran rumor tak sedap tentang vaksin.

Dampak menolak imunisasi

Padahal dampak dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini tidak sederhana, malah bisa mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan anak sendiri, tapi kita juga jadi membahayakan anak lain. Mari kita belajar dari merebaknya kasus pertusis di Amerika Serikat tahun 2010, beberapa sekolah harus ditutup dan setidaknya sepuluh bayi meninggal akibat merebaknya pertusis ini(11). Dan sejak tahun 2007, akibat gerakan anti vaksinasi, telah terjadi 77.000 penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Dampak secara tidak langsungnya, gerakan anti vaksinasi ini juga telah mengakibatkan 700 kematian dalam rentang tahun yang sama.

Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat vaksin sudah begitu banyak. Beragam data terpercaya menunjukkan bahwa bila angka cakupan vaksinasi menurun maka wabah penyakit akan muncul(11, 21). Masih perlu bukti lainnya? Selain fakta di Amerika Serikat tentang pertusis, bukti nyata juga baru saja terjadi di Indonesia dengan merebaknya kasus Diptheri di Jawa Timur. Kasus diptheri tersebut telah menyerang 300 orang dan 11 anak meninggal karenanya. Artikel yang berjudul ‘Biofarma jawab pro kontra imunisasi’(12) mengaminkan bahwa dalam 6 tahun belakangan cakupan imunisasi di Indonesia memang menurun dan salah satunya terjadi karena gerakan anti imunisasi. Kejadian ini sungguh membuat miris mengingat diphteri adalah penyakit ‘urdu’ yang sudah lama kasusnya tidak ditemukan berkat adanya vaksinasi. Bukti lain lagi terjadi pada merebaknya kasus campak baru-baru ini, yang terjadi di negara-negara dengan angka cakupan vaksinasi turun seperti di Prancis, Belgia, Jerman, Romania, Serbia, Spanyol, Macedonia dan Turkey (11). Baru saja di tahun 2011 juga terjadi 334 kasus campak di Inggris, padahal tahun sebelumnya hanya 33 kasus.

Meskipun tampaknya sedikit, tapi kerugian akibat merebaknya penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi ini sungguh tak sedikit. Sebuah laporan kasus yang ditulis dalam Oxford jurnal(13) menjadi contohnya. Dilaporkan, seorang wanita yang tidak pernah mendapat imunisasi campak kemudian terkena campak lalu pergi ke sebuah rumah sakit di Swiss. Akibatnya setelah itu 14 orang tertular campak dari si wanita, termasuk 4 orang anak-anak. Kerugian yang ditimbulkan hanya dari 1 wanita ini diperkirakan berkisar $800.000, belum lagi dampak kesakitan yang ditimbulkan pada 14 orang itu. Lihat, hanya dari satu orang saja yang menolak vaksinasi, ternyata dampaknya sungguh besar.

Data dalam negeri dari Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2010 telah terjadi 25 KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit campak, dengan total 739 penderita, sedangkan pada tahun 2011 status KLB meningkat menjadi 35 kali dengan penderita sebanyak 950 orang(14). Kerugian yang ditimbulkan sungguh besar, bukan hanya korban tapi juga biaya. Menurut menteri kesehatan, bila terjadi KLB di suatu daerah, dana yang dibutuhkan adalah 8 miliar rupiah, itu pun masih harus dibantu anggaran dari pusat sebesar 13-14 miliar(22). Jumlah uang yang seharusnya tak perlu terbuang. Sungguh disayangkan.

Isue anti-imunisasi di Indonesia

Imunisasi hanyalah konspirasi Yahudi dan genocide

Bila kita tengok lebih dalam tentang isu anti imunisasi di Indonesia, belakangan kerap muncul artikel-artikel dan buku-buku bertuliskan ‘Bahaya imunisasi dan konspirasi yahudi’ lalu isinya kerap mencantumkan kalimat seperti ‘Imunisasi bertujuan untuk melenyapkan sebuah umat’. Teori konspirasi dilandasi oleh asumsi, kecurigaan yang seringnya tidak rasional, dan lebih memunculkan emosi sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Meski begitu, teori konspirasi sangat mudah berkembang dan dipercaya orang, namun sulit untuk dihilangkan(15).

Goertzel T (2010) (16), dalam tulisannya yang berjudul ‘Conspiracy theories in science’ mengakui bahwa karena hal-hal yang tidak objektif diatas, para ilmuwan sering enggan untuk terlibat dalam diskusi teori konspirasi. Meskipun para ilmuwan telah bekerja sangat keras untuk tetap objektif dan rasional, misalnya dengan mensyaratkan tahapan-tahapan ilmiah dalam setiap penelitian; mensyaratkan bahwa setiap jurnal harus dikritisi lagi oleh sesama ilmuwan (peer reviewed) dan anonym pula, tapi tetap saja hasil kerja para ilmuwan akan diserang oleh teori konspirasi.
Ketakutan terhadap science dan keyakinan terhadap teori konspirasi ini dampaknya sungguh tidak sederhana. Kasus desas desus MMR (Measleas, Mums, Rubela) vaksin menyebabkan autism di Inggris di tahun 1998 telah menyebabkan angka cakupan imunisasi di Inggris menurun tajam(17). Akibatnya wabah campak dan gondongan disana merebak dan menyebabkan kematian serta cacat berat serta permanen. Meskipun Andrew Wakefield, dokter yang pertama kali membuat issue tersebut telah dikenakan sangsi (dicabut ijin prakteknya) dan MMR telah dinyatakan tidak ada hubungannya dengan autism(23), tapi dampak kematian dan penyakit yang ditimbulkan telah terjadi dan hanya bisa disesali.
Ketakutan akan science ini bukan sesuatu yang baru. Benjamin Franklin juga dulu takut mengimunisasi keluarganya untuk melawan penyakit smallpox. Namun kemudian dia menyesal ketika anak lelakinya meninggal di tahun 1736 akibat penyakit tersebut(16). Contoh lain akibat dari konspirasi adalah issue tentang penyangkalan terhadap AIDS, yang meyakini bahwa penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV. Ketika Afrika Selatan dipimpin oleh presidennya Thabo Mbeki yang mendukung ide penyangkalan ini, konsekuensinya sungguh hebat(18). Mereka menolak pengobatan untuk AIDS sehingga akibatnya di tahun 2000 hingga 2005, terjadi 330.000 kematian akibat AIDS, 117.000 kasus baru HIV dan 35.000 bayi juga diperkirakan terinveksi virus HIV. Data-data tersebut menunjukkan bahwa dalam hal science, akibat dari meyakini sebuah teori konspirasi sungguh bisa membahayakan.
Namun, meski dampak yang ditimbulkan dari teori konspirasi telah diketahui, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat, akhirnya keputusan untuk mempercayai teori ini atau tidak, berpulang pada masing-masing individu. Keputusan yang dibuat tentu tak bisa main-main, karena akibatnya berhubungan dengan nyawa orang lain.

ASI bisa menggantikan imunisasi

Salah satu saran dari para anti imunisasi adalah menawarkan ASI sebagai alternatif untuk menggantikan imunisasi. Apakah memang ASI bisa menggantikan imunisasi?

ASI memang mengandung antibodi untuk melawan kuman, terutama jenis IgA (Imunoglobulin A) (19). Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan benda asing yang masuk (antigen) seperti bakteri, virus maupun toxin. Tubuh membuat imunoglobulin yang berbeda untuk melawan antigen yang berbeda pula. Misalnya antibodi untuk penyakit cacar air akan berbeda dengan jenis antibodi untuk penyakit pneumonia.

Sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan lewat placenta selama dalam kandungan. Seperti disebutkan sebelumnya, bayi yang mendapat ASI juga akan mendapatkan tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Tetapi perlindungan yang didapatkan si bayi tersebut (baik dari antibodi ibu maupun ASI) tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifatnya pun hanya sementara. IgG ini akan menghilang menjelang si anak berusia setahun.

Sebagai contoh, antibodi dari ibu akan memberikan perlindungan sementara terhadap penyakit campak hingga antibodi ibu menghilang saat 9 bulan. Itulah mengapa vaksinasi campak diberikan saat anak berusia 9 bulan (15 bulan untuk MMR). Namun meski ampuh melawan penyakit campak, antibodi ibu tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit pertusis (batuk rejan). Sedangkan untuk ASI, antibodi dalam ASI lebih efektif bekerja melawan kuman-kuman yang ada di pencernaan tapi kurang efektif untuk melawan penyakit infeksi pernafasan.

Jadi meskipun bayi sudah mendapat kekebalan dari si ibu dan juga dari ASI, tetap saja tidak bisa menggantikan imunisasi. Sebab, selain alasan yang sudah disebutkan diatas, imunisasi juga bersifat spesifik untuk penyakit tertentu. Imunisasi bisa melindungi penyakit-penyakit spesifik yang tidak bisa (atau tidak cukup) dilakukan oleh antibodi ibu dan antibodi dari ASI.

Kehalalan vaksinasi

Dalam sebuah tanya jawab soal ‘Pandangan Islam terhadap imunisasi pada anak untuk melawan penyakit’, Yusuf Qardawi, seorang ilmuwan Islam mengatakan bahwa menggunakan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah halal karena bertujuan untuk mencegah sesuatu yang membahayakan(19). Menjadi tugas seorang muslim untuk sebisa mungkin mencegah segala sesuatu yang membahayakan. Selain itu menurut beliau orangtua bertanggungjawab untuk sebisa mungkin melindungi anak-anaknya dan meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk melawan penyakit dan segala sesuatu yang berbahaya.

Dalam tanya jawab tersebut, Qardawi lalu secara spesifik menyoroti soal polio vaksin, dan menurut beliau, vaksin tersebut sudah digunakan sejak lama di seluruh dunia termasuk oleh lebih dari 50 negara muslim. Vaksin tersebut terbukti efektif untuk melawan penyakit polio, dan tidak ada ahli agama Islam terutama dari Universitas di Mesir yang keberatan untuk menggunakan vaksin ini.

Di Indonesia sendiri, Biofarma sebagai satu-satunya industri vaksin di Indonesia sudah memperoleh prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) setidaknya untuk vaksin dasar: polio, campak, hepatitis B, BCG, dan DTP (Difteri, Pertusis dan Tetanus) (20). Biofarma juga telah menjadi kiblat industri vaksin bagi 57 negara Islam dengan program vaksin halal dan berkualitas. Untuk menjamin vaksin produksinya termasuk kualifikasi halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diundang untuk menyaksikan proses pembuatan vaksin hingga akhirnya MUI mendukung vaksin-vaksin Biofarma dan membantu sosialiasi vaksin halal biofarma.

Bagaimana vaksin dibuat

Dalam kutipan salah satu artikel yang menolak imunisasi, tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:

“Vaksin tersebut dibiakkan di dalam tubuh manusia yang bahkan kita tidak ketahui sifat dan asal muasalnya. Kita tau bahwa vaksin didapat dari darah sang penderita penyakit yang telah berhasil melawan penyakit tersebut. Itu artinya dalam vaksin tersebut terdapat DNA sang inang dari tempat virus dibiakkan tersebut.”

Benarkah demikian? Sebetulnya, pembuatan vaksin merupakan proses yang sangat komplex. Untuk membuat vaksin yang aman membutuhkan penelitian yang intensif dan fase-fase pengujian yang rumit. Pembuatan sebuah vaksin mulai dari penemuan penyebab penyakit hingga menjadi vaksin yang siap dipasarkan membutuhkan waktu sekira 50 tahun. Dengan kemajuan teknologi saat ini, waktu memang bisa dipersingkat, tapi tetap saja membutuhkan waktu yang lama(21).

Contoh proses pembuatannya seperi ilustrasi berikut(21). Jika para ahli telah setuju bahwa vaksin untuk mencegah penyakit X diperlukan, maka yang pertama dilakukan adalah menelaah dengan teliti tentang si bakteri atau virus X ini. Mereka akan mencari tahu makanan apa yang dibutuhkan oleh kuman X, bagaimana proses si kuman merusak jaringan paru misalnya. Lalu ahli genetica akan menganalisa gen si kuman X. Ahli imunologi akan meneliti bagaimana sistem kekebalan tubuh merespon si kuman X dan mengapa tubuh kadang gagal melawan si kuman. Mereka juga akan meneliti antigen kuman X yang bisa merangsang sistem kekebalan tubuh. Peneliti lain akan meneliti toxin yang dihasilkan oleh kuman X. Setelah para ahli ini mendapatkan informasi dasar tentang si kuman X, barulah mereka mulai mendesign vaksin yang mungkin bisa ampuh melawannya.

Cara pembuatan vaksin bermacam-macam, ada yang dengan melemahkan kumannya, ada yang dengan mematikan, hanya mengambil sebagian unit kuman yang memang bisa langsung merangsang sistem kekebalan tubuh (tidak seluruh kuman), mengambil toxin si kuman lalu mematikannya (toxoid vaccine), atau membuat link antigen (conjugate vaccine). Saat ini sedang dikembangkan juga DNA vaccine. DNA dari antigen si kuman X diambil, lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Nanti DNA kuman dalam sel tubuh manusia itu akan menyuruh si sel untuk memproduksi antigen. Jadi sel tubuh sendiri yang akan menjadi ‘pabrik pembuat vaccine’: memproduksi sendiri antigen yang diperlukan untuk merangsang timbulnya kekebalan tubuh.

Sehubungan dengan kutipan anti imunisasi diatas, terlihat jelas bahwa sebetulnya vaksin bukan didapat dari darah sang penderita penyakit. Tetapi vaksin berasal dari kuman yang bisa jadi memang diambil dari penderita yang sakit. Namun bukan DNA dari darah orang yang sakit yang diambil, tapi DNA si kuman atau kumannya secara utuhlah yang diambil. Jadi pembuatan vaksin tidak berhubungan dengan DNA si penderita penyakit.

Untuk melemahkan atau mematikan kuman yang hendak dijadikan vaksin, memang membutuhkan tempat pembiakan, bisa dengan media tumbuhan, binatang, ataupun jaringan tubuh manusia(24). Namun setelah si kuman berkembang biak lalu melemah atau dimatikan, hasil perkembangbiakan virus atau bakteri ini akan dipisahkan dari media untuk mengembangbiakkannya. Jadi tempat pembiakan ini hanya merupakan media dan selanjutnya yang digunakan untuk menjadi vaksin hanyalah kumpulan kuman-kuman yang dilemahkan atau dimatikan tadi.

Setelah vaksin berhasil dibuat, proses sehingga bisa dipasarkan masih panjang. Pertama, vaksin ini harus lulus uji test keamanan terhadap binatang terlebih dulu. Bila aman, lalu bisa lanjut ke fase uji I, yang dilakukan hanya pada sekira 10-20 orang. Bila lulus dan aman, baru bisa maju ke fase uji II yang dilakukan pada orang lebih banyak dengan jumlah ratusan. Setelah itu, si vaksin harus melewati lagi uji fase II b dan III yang diujikan pada orang lebih banyak lagi. Setelah lulus uji III pun masih harus dipantau keamanannya jika mulai dipasarkan. Intinya, pembuatan sebuah vaksin membutuhkan proses panjang dan kompleks untuk kemudian bisa lolos dipasaran.

Penutup

Data-data dan ajakan untuk mengkaji ulang tentang penolakan anti imunisasi telah dibeberkan. Manfaat dan kerugian imunisasi juga bisa ditimbang. Kita tidak hidup di jaman dimana penyakit-penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan vaksinasi seperti polio, diptheri, pertusis (batuk rejan), campak, rubella (campak jerman), dan gondongan masih begitu merebak. Akibatnya apresiasi terhadap keberadaan vaksin untuk mencegah penyakit tersebut menjadi berkurang. Di abad ke 19 dan awal abad 20 dulu, ratusan ribu orang di Amerika Serikat terserang penyakit ini setiap tahunnya, puluhan ribu orang pun meninggal terutama anak-anak. Di jaman itu, mendengar nama-nama penyakitnya saja sudah membuat orang-orang ketakutan(21). Coba bayangkan jika vaksin tidak ditemukan lalu hingga saat ini jumlah anak yang menderita penyakit tersebut masih begitu besar, anak-anak kita terus-terusan terkena penyakit menular dan terancam meninggal, apa kita tak kelimpungan?

Tapi sekali lagi, akhir sebuah keputusan tentu saja berpulang pada masing-masing orang. Benar, bahwa setiap manusia punya hak atas sebuah pilihan, yang harus dihargai dan tentu tidak bisa diabaikan. Namun tolong, sebelum memutuskan, pikirkan dengan matang, cek dan ricek informasi yang datang. Gunakan hati, pikiran dan akal untuk mencari yang benar, bukan sekedar ikut-ikutan atau karena pengaruh peer pressured, tekanan dari kawan dan handai taulan. Tolong digarisbawahi benar bahwa keputusan yang diambil kemudian, bukan hanya berpengaruh pada anak kita seorang, tapi juga beresiko menolong atau membahayakan anak-anak di sekitar. Ingat, keputusan kita bisa mematikan. Tegakah hati melihat anak-anak jiwanya terancam hanya karena kita gegabah dalam mengambil keputusan? (Agnes Tri Harjaningrum)

Daftar Pustaka

1. Mercer J, PhD. Lady Mary Wortley Montagu: A contributor to public health, about a fascinating figure in the history of vaccination. [Online].;2009 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.psychologytoday.com/blog/child-myths/200909/lady-mary-wortley-montagu-contributor-public-health
2. ScienceDaily. How poxviruses such as samllpox evade the immune system. [Online].;2008 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.sciencedaily.com/releases/2008/01/080131122956.htm
3. CDC. Smallpox Disease Overview. [Online].;2007 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.bt.cdc.gov/agent/smallpox/overview/disease-facts.asp
4. WHO. Smallpox. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/smallpox/en/
5. The history of vaccines.Timeline. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.historyofvaccines.org/content/timelines/all
6. Rosenhek J. Safe smallpox innoculation. [Online].;2005 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.doctorsreview.com/history/feb05-history/
7. Poland GA, Jacobson RM. Understanding those who do not understand: a brief review of the anti-vaccine movement. Vaccine.[Online].;2010 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.morrisonlucas.com/GL/vaccines/Vaccine_19_2440_anti_vaccine_movement.pdf
8. Friedlander E. The Anti-Immunization Activists: A Pattern of Deception. [Online].;2010 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.pathguy.com/antiimmu.htm
9. The College of Phycisian of Philadelphia. History anti vaccination movements. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.historyofvaccines.org/content/articles/history-anti-vaccination-movements
10. CDC. Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.cdc.gov/vaccinesafety/Activities/vaers.html
11. Los Angeles Time. Public Health: Not vaccinated, not acceptable? [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://articles.latimes.com/2011/jul/18/opinion/la-oe-ropeik-vaccines-20110718
12. Antaranews. Biofarma jawab pro kontra imunisasi. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.antaranews.com/berita/278863/bio-farma-jawab-pro-kontra-imunisasi
13. Lindsay A.The hazards of low vaccination rates. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.sonic.net/~medsoc/images/bulletins/AUGUST%202011%20EXCERPTS.pdf
14. Fikri A. Selama 2011, penderita campak di Jawa Barat tembus 950 orang. [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2011/10/18/brk,20111018-361978,id.html
15. Pigden C. Conspiracy theory and conventional wisdom. [Online].;2007 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.niu.edu/~gpynn/Pidgen_ConspiracyTheories&TheConventionalWisdom.pdf
16. Goertzel T. Conspiracy theories in science. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.nature.com/embor/journal/v11/n7/full/embor201084.html
17. McIntyre P dan Leask J. Improving uptake of MMR vaccine. [Online].;2008 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2287215/?tool=pmcentrez
18. Chigwedere P, Seage GR, Gruskin S, Lee TH, Essex M (October 2008). “Estimating the Lost Benefits of Antiretroviral Drug Use in South Africa”. Journal of acquired immune deficiency syndromes (1999) 49 (4): 410–415
19. Immunization Advisory Centre University of Auckland. The infant immune system and immunization. [Online].;2006 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.immune.org.nz/site_resources/Professionals/Vaccinology/The_infant_immune_system_and_immunisation.pdf
20. Majelis Ulama Indonesia. Biofarma ‘kiblat’ vaksin halal dunia. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=545%3Abio-farma-qkiblatq-vaksin-halal-dunia&catid=1%3Aberita-singkat&Itemid=50
21. National Institute of Allergy and Infectious. Understanding vaccines, what they are how they work. [Online].;2008 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.niaid.nih.gov/topics/vaccines/documents/undvacc.pdf
22. Pramudiarja A, U. Satu saja anak tak diimunisasi efeknya bisa memicu wabah. [Online].;2011 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://us.health.detik.com/read/2011/10/18/115311/1746520/764/satu-saja-anak-tak-diimunisasi-efeknya-bisa-memicu-wabah
23. Triggle N. MMR doctor struck from register. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/8695267.stm
24. Ellis R,W. New vaccines technology. [Online].;2001 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari:http://61.183.207.199/suite/resource/download.do?key=1754864
25. Goldrace B. And now, nerd news. [Online].;2009 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.badscience.net/2009/10/and-now-nerd-news/#more-1369