Pikiran Rakyat, Minggu, 14 Maret 2004
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/14/hikmah/lainnya4.htm
Alkisah, di negeri antah berantah, hiduplah seorang anak yang bernama John. Ibunya sering melarang apapun yang dilakukan John. Sedikit-sedikit, “John..don’t!”, sedikit-sedikit, “John..don’t!”. Akhirnya, setiap ada orang bertanya, “what’s your name?” Dia selalu menjawab, “my name is John Don’t”Setiap hari, anak-anak di belahan dunia mana pun, selalu mendengar kata larangan ini, “jangan!”. Di telinga mereka selalu terdengar “jangan nakal, jangan main air, jangan panjat-panjat, jangan ini, jangan itu, !” Persis seperti adegan sebuah iklan sabun pencuci. Seorang anak yang selalu dilarang ibunya karena takut kotor. Hampir setiap orangtua sering melakukannya. Melarang anak bermain air, tanah, naik pohon, berlari-lari, dan kegiatan bermain lainnya. Padahal, dunia anak adalah bermain. Alhasil, kreatifitas anak terhambat. Anak semakin membangkang, atau bahkan menjadi pasif dan penakut.
Bayangkanlah masalalu, saat orangtua masih kanak-kanak, dan mengalami hal yang sama. Sungguh, dilarang adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Kata-kata “tidak” dan “jangan” dapat menghilangkan semangat dalam situasi apapun. Anak-anak pun merasa demikian. Bedanya, anak tidak dapat mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Tetapi, bukankah orangtua juga perlu melarang anaknya? Ya, tentu saja. Namun ternyata, melarang pun ada caranya.
Menurut Elizabeth Hurlock dalam buku Psikologi Perkembangan Anak , ada tiga jenis tipe orangtua. Pertama, Tipe authoriter/authoritarian. Orang tua tipe ini mempunyai kontrol yang tinggi dan acceptance (penerimaan) yang rendah. Mereka menegakkan disiplin dengan kaku, tanpa kompromi. Anak selalu dilarang. Hasilnya, anak menjadi tidak percaya diri, pasif dan tak ada inisiatif. Profil lain yang muncul adalah anak pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, dan tidak bersahabat.
Kedua adalah tipe permissive. Orang tua mempunyai kontrol yang rendah dan acceptance yang tinggi .Anak diperbolehkan melakukan apa saja, jarang dilarang. Kadangkala mereka melarang, tetapi tidak konsisten. Profil yang muncul biasanya anak menjadi egois, agresif, dan impulsif. Anakpun menjadi tidak percaya diri, bossy (suka mendominasi), dan kurang pengendalian diri.
Tipe ketiga adalah authoritative. Orang tua seperti ini dapat menyeimbangkan antara kontrol dan acceptance. Mereka bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, dan mendorong anak untuk menyatakan pendapat. Anak dilarang tetapi disertai argumentasi. Profil yang dihasilkan dari orangtua tipe ini adalah anak yang mempunyai rasa ingin tahu tinggi, percaya diri, komunikatif, kooperatif, serta mempunyai self kontrol yang baik.
Dari ketiga tipe diatas, orangtua authoritative merupakan tipe paling ideal. Apabila melarang, orangtua tipe ini akan selalu memberi alasan. Anak diajak berargumen mengenai dampak baik dan buruk dari sebuah larangan. Sehingga, terjalin komunikasi yang sehat antara orangtua dan anak. Caranya pun bukan dengan mengucapkan kata ‘jangan’ atau ‘tidak boleh’. Tetapi menggantinya dengan kata-kata positif.
Mimi Doe dan Marsha Walch dalam buku Sepuluh Prinsip Spiritual Parenting menjelaskan bahwa kata-kata positif itu penting. Orangtua yang selalu berbicara positif, akan membantu menumbuhkan harga diri anak Kata-kata positif memiliki kekuatan untuk membuat anak merasa berguna, merasa senang, memberi harapan dan memupuk jiwa mereka. Kata-kata positif juga menular. Anak-anak yang biasa mendengarkan orangtuanya berbicara positif, akan melakukan hal yang sama pada sekelilingnya.
Tetapi bagaimana mungkin? Kebiasaan melarang anak dengan kata ‘jangan’ rasanya sudah mendarah daging dalam diri banyak orangtua. Saat ditemui di rumahnya, Ema Sukaemah S.psi, seorang psikolog yang berkecimpung dalam dunia anak mengatakan, “sesungguhnya semua hal bisa berubah, asalkan ada niat, motivasi, serta usaha keras dari orang tua. Bila orang tua mengingat anak merupakan titipan Tuhan. Yakin pula anak adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara baik-baik. Sungguh sebuah dosa bila orangtua tidak memberikan yang terbaik. Terlebih lagi melihat masa depan yang unpredictable, tantangan kehidupan pasti akan jauh lebih berat. Semua ini dapat menjadi motivasi yang kuat bagi orang tua.”
Faktor lain yang tak kalah penting menurut Ema adalah kesabaran, keikhlasan, dan kesepakatan dengan pasangan. Sabar yang tiada batas dan keikhlasan orang tua adalah hadiah paling berharga bagi seorang anak. Dengannya, orang tua dapat berpikir jernih dan mendapatkan banyak kreatifitas dalam pengasuhan anak. Begitu juga kesepakatan dengan pasangan.. Anak membutuhkan aturan konsisten yang tidak mungkin tercapai bila orangtua berbeda pendapat.
Selanjutnya Ema menjelaskan, sebelum menerapkan pada anak, orangtua lah yang harus berubah terlebih dahulu. Hilangkan kebiasaan berbicara dengan kalimat negatif. Libatkan anak untuk membantu menghilangkan kebiasaan orangtua. Hal ini sekaligus mengajarkan anak untuk belajar mengkritik orang tua dengan cara yang baik. Orangtua bisa membuat kesepakatan dengan anak, misalkan dengan kalimat? “Nak, sekarang bunda sedang belajar menggunakan kalimat positif. Kalau kamu dengar bunda bilang jangan atau tidak boleh, kamu boleh menegur bunda. Kasih bunda kode ya…” Kodenya bisa berupa jentikan jari, tepukan tangan, atau cara permainan lain. Yang penting anak paham, orangtuanya bahkan belajar menggunakan kata-kata positif. Selain itu, anak juga belajar bahwa orang tua boleh ditegur bila melakukan kesalahan. Anak tak perlu sungkan asalkan orang tua ditegur dengan cara yang baik. Selain membantu mengingatkan orangtua, anak juga mendapatkan pelajaran berharga dari kejadian yang dianggapnya bermain.
Kadangkala orangtua kesulitan saat hendak merubah kalimat negatif menjadi positif. Bagaimana contoh kalimatnya? Ema memberi contoh, “misalkan anak yang suka mencoret-coret dinding,. Ketimbang melarangnya dengan berkata, ‘jangan corat-coret di dinding!’ lebih baik orang tua mengatakan, ‘menggambarnya di kertas ini saja ya nak’..”
Contoh lain, bila ada seorang anak yang takut dengan kecoa. Biasanya orangtua akan selalu berkata ‘jangan takut!’ Padahal, semakin sering kata takut didengar anak, semakin sering pula kata tersebut terekam di otaknya. Hasilnya, anak akan semakin takut dan fobia dengan kecoa. Lebih baik orangtua menggunakan kalimat positif seperti, “Adek Cuma geli kan sama kecoa, adek anak pemberani, yuk kita lihat dari jauh..” Intinya adalah mengganti kata ‘jangan’ atau ‘tidak boleh’ dengan kalimat positif tanpa mengurangi maknanya. Keuntungan lain, anak menjadi jarang mendengar kata ‘jangan’. Sehingga bila anak dalam kondisi berbahaya , kata ‘jangan’ benar-benar ampuh. Anak akan langsung merespon. Berbeda bila kata jangan sering terucap. Anak cenderung mengabaikan ucapan orangtua.
Kata-kata mengandung banyak kekuatan, baik dan buruk. Melihat akibat yang ditimbulkan kata-kata negatif, dan keajaiban dari kata-kata positif, masihkah orangtua hendak mengobral kata ‘jangan’? Semoga tidak! Agar tak ada lagi John Don’t, John Don’t yang lain.
Comments are closed.