Tentang wanita dan Semangat Belajar nulis

Aku lagi sakit. Suaraku hilang, batuk, badanku meriang. Aku yang masih belum stabil, ditambah sakit begini rasanya malah tambah nggak karu-karuan. Anak-anak bener-bener nggak keurus. Makan seadanya, nonton TV berjam-jam. Kalo lala sih bisa cuma 2 jam sehari, dia baik lagi, nurut. Lagipula sekolahnya kan sering sampe jam 3 sore. Malik nih, pusing aku. Kalo aku lagi normal, homy schoolnya bisa lancar, trus bisa aku temenin main-main. Tapi kalo lagi kaya gini…waduh mana tahan. Aku maunya depan komputeeer terus. Emang bener nih komputer bikin aku hidup. Bisa baca n nemu banyak hal. Semalem aku berjam-jam chating sama mbak E.

Wah asik ngobrol sama dia. Biasanya aku cuma ngobrol haha hi hi doang sama yang lain. Serius-serius paling sama H. Nah nemu lagi nih yang baru. Karena dia lebih tua dari aku, usia perkawinannya juga udah lebih dari 10 tahun, pasti lebih banyak asem garemnya dong. Jadilah aku berguru padanya he he. Apalagi, mbak E itu editor Mizan, penerjemah buku juga. Wah cocok to. Aku langsung tanya-tanya seputar cara bikin buku.

Tapi dari obrolan panjang semalam, aku dapet sesuatu yang baru. Dia membuat aku berpikir tentang jati diri. Selama ini aku memang sedang mencari-cari. Tapi dia sudah menemukannya. Dia sudah tau apa konsep dirinya tentang wanita, bagaimana dia memandang wanita. Dia bilang aku harus punya dan mencari jati diri itu, sehingga ketika badai datang, aku tetap bisa kuat karena sudah punya konsep dari pencarianku.

Menurut dia, dia pendukung ’emansipasi’. Kodrat wanita hanya 4, melahirkan, menyusui, haid dan nifas. Selebihnya perempuan dan laki-laki punya kebebasan yang sama. Wanita itu merdeka, punya kebebasan untuk memilih, tapi kebebasan yang sadar. Tau apa resiko dibalik pilihan yang diambil. Jadi buat dia, masak, beres-beres rumah itu bukan hanya pekerjaan perempuan, laki-laki juga bisa melakukannya.

Bagaimana denganku? Apakah aku sudah menemukannya? Ya mungkin aku memang masih mencari. Menurutku, wanita, seperti hal nya anak-anak adalah juga sosok yang unik dengan segala latar belakang kehidupan, kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Wanita berhak untuk menjadi dirinya sendiri. Dunia ini berwarna, begitu juga wanita. Ada yang senang di rumah, ada yang senang manjat-manjat, ada yang benci masak, ada yang senang cuap-cuap. Sah-sah saja toh. Kenapa harus dilarang, kenapa juga harus ada pembenaran untuk satu jenis wanita. Wanita berhak menjadi apa saja, sesuai dengan keunikan dirinya. Dengan menjadi dirinya itulah dia akan melakukan yang terbaik buat orang-orang disekelilingnya. Ya, baru itu yang rasanya aku temui, sesuai ‘Min konsep’ lah. Nanti mungkin seiring berjalannya waktu dan pencarianku, aku akan temukan lagi sampai aku yakin betul.

Habis chating itu, trus aku langsung buka situsnya http://www.mizanlc.com/ , bagus. Aku langsung tersemangati lagi untuk menulis buku. Walaupun belum kebayang seperti apa, tapi yang jelas, aku lagi semangat cari-cari ilmu menulis. Aku kirimi Hernowo email konsultasi. Aku kirimi agung dan Ika titipan-titipan buku yang mau aku beli. Aku minta info-info sama mbak E. Trus aku kirim email ke S minta bawain buku amanda. Aku juga kirim ke WRM tanya sharing jadi FTM di LN. Tapi ternyata mereka emang niat mau bikin buku seputar itu. Ya bagus lah, kali aja bisa jadi tambahan data. Tapi aku juga belum tau pasti mau nulis apa. Aku baru mau belajar nulis fiksi. Pasti Allah kasih jalan kalo ini emang udah jalanku. So… aku jalani lah apa yang ada di depan mataku sekarang. Satu hal yang terjadi sejak kemarin, aku tersemangati lagi untuk menulis buku!

42 Replies to “Tentang wanita dan Semangat Belajar nulis”

  1. Nes, diperjelas dikit ya… aku pendukung “emansipasi” (dalam tanda kutip) sesuai pendefinisianku sendiri: kebebasan untuk memilih. kalau si perempuan memang memilih untuk di rumah, ya mbok ya o jangan juga diojog-ojog untuk keluar rumah, bekerja, berorganisasi, dengan mengatasnamakan menuntut persamaan hak. tapi kalo pengen kerja ya monggo…

    menurutku juga, beban mendidik anak, daily chores… tidak terletak hanya di pundak perempuan, melainkan tanggung jawab berdua. so, harus sharing antara suami-istri. porsi-nya tentu disesuaikan dengan aktivitas (dan tentu saja kerelaan) masing-masing. bukankah dalam berbagi porsi kerja ini terwujud juga take-and-give, pengorbanan, tolong-menolong, dalam hubungan kasih suami-istri?

    so, mari berlomba-lomba berbuat baik (menolong termasuk berbuat baik, kaan…)

Comments are closed.