PROBLEMA MENDAMPINGI SUAMI BELAJAR DI NEGERI BELANDA

Menemani suami mengenyam pendidikan di negeri Belanda, seolah merupakan kenyataan yang menyenangkan dan membuat iri banyak orang. Namun, mengalaminya tidak lah semudah yang dibayangkan. Apalagi bagi para ibu yang mempunyai anak berusia balita dan terbiasa bekerja di Indonesia. Jika tidak diantisipasi, hal ini bahkan bisa mempengaruhi keberhasilan belajar sang suami. Tak dapat dipungkiri bahwa belajar di luar negeri bagi mereka yang membawa keluarga mempunyai beban tersendiri. Di negeri ini, hanya mahasiswa PhD yang umumnya bisa membawa keluarga. Selain karena lamanya studi yang memakan waktu 4 sampai 5 tahun, jumlah beasiswa yang didapat juga relatif mencukupi untuk bisa membawa keluarga. Dalam kondisi seperti ini istri memegang peranan kunci dalam kesuksesan belajar suami serta menjaga kualitas keharmonisan keluarga.

Pepatah Inggris mengatakan ‘If mommy happy everyone happy, but if mommy sad everyone sad’ (jika ibu bahagia, semua orang bahagia, namun jika ibu sedih, semua orang akan turut bersedih). Pepatah ini memang terbukti disini. Suami tidak akan dapat belajar dengan tenang ketika istri selalu sedih, marah-marah, dan tak dapat mengurus suami serta anak-anaknya dengan baik. Sebaliknya, ketika seorang ibu bahagia dia dapat mengatasi semua masalah yang ada, dan dengan sepenuh hati bertahan bertahun-tahun mendukung suami belajar. Menjadi bahagia ketika beragam masalah datang memang sulit, apalagi ‘terasing’ di negeri orang. Namun, kenyataan diatas menunjukkan bahwa masalah psikologis ibu merupakan hal yang teramat penting sehingga perlu diupayakan agar ibu selalu berada dalam kondisi bahagia.

Masalah dan kiat-kiat mengatasinya

Potensi ketidakbahagiaan terutama banyak muncul pada ibu yang di Indonesia terbiasa bekerja, terbiasa menggunakan jasa pembantu, baby sitter, atau ‘kakek-nenek sitter’. Seorang teman bahkan mengatakan bahwa dirinya merasa bahagia hanya ketika akhir pekan tiba. Karena, saat inilah suaminya bisa membantu meringankan pekerjaan atau menyegarkan suasana dengan pergi berlibur. Pada umumnya, para ibu yang lain pun merasakan hal yang sama. Masalah yang sering menjadi pemicu kegundahan hati biasanya adalah kejenuhan, anak yang sakit, musim yang tidak bersahabat, dan masalah ekonomi.

Di negeri Belanda, jasa pembantu dan tempat penitipan anak terbilang mahal, apalagi untuk kocek mahasiswa. Biaya Kinderopvang (tempat penitipan anak) sekitar 204 – 270 Euro per full day, per bulan. Jasa oppas (baby-sitter) 2,27-4,54 Euro per jam. Karena itu tidak ada seorang pun yang dapat diandalkan selain ibu. Biasanya kondisi ini menyebabkan ibu terjebak dalam rutinitas mengurus rumah dan keluarga yang melelahkan dan membosankan. Ibu tidak lagi mempunyai waktu untuk diri sendiri, dan mengabaikan kepuasan batinnya sendiri. Akibatnya ibu menjadi sensitif, sering marah, labil, kehilangan kesabaran, dan terkadang mengabaikan pekerjaan rumah tangga.

Untuk mengatasi keadaan tersebut, saling mendukung antara suami dan istri sangat diperlukan. Suami harus paham bahwa istri juga membutuhkan pupuk bagi jiwanya sendiri agar dapat memberikan yang terbaik bagi keluarga. Suami sebaiknya sesekali meluangkan waktu khusus menggantikan ibu mengurus anak-anak, supaya ibu dapat keluar rumah sendiri untuk memperoleh energi baru. Waktu menyendiri ini dapat digunakan ibu untuk bersosialisasi, bertemu dengan sesuatu yang baru, berjalan-jalan sendiri, atau kegiatan lain yang dapat membuat ibu merasa tidak kehilangan privacy nya.

Selain itu, disiplin mengatur waktu penting dilakukan agar tersisa waktu bagi ibu untuk memuaskan batinnya sendiri, misalnya dengan membaca buku, menulis, atau melakukan hobi lainnya. Peneguhan positif yang diucapkan berulang-ulang juga dapat dijadikan obat ketika rasa jenuh dan bayangan-bayangan negatif bermunculan. Ibu dapat meneguhkan diri betapa mulianya pekerjaan baru ini, betapa bersyukurnya mendapat kesempatan seperti ini, atau mengucapkan berbagai peneguhan positif lainnya.

Pemicu kedua, biasanya terjadi ketika anak sedang sakit. Anak membutuhkan perhatian tambahan, sementara tugas rumah tangga lain tetap menanti. Belum lagi Belanda mempunyai peraturan sendiri perihal kesehatan. Sebelum mendatangi tempat praktek dokter keluarga (huisart), pasien harus melakukan perjanjian terlebih dahulu. Untuk penyakit-penyakit yang dianggap ringan biasanya pasien baru bisa bertemu huisart, sehari atau beberapa hari setelah perjanjian. Perjanjian yang memakan waktu ini, kadang kala membuat ibu semakin gelisah.

Selain itu dokter-dokter di Belanda sangat berhati-hati memberikan obat karena berusaha untuk memberikan pengobatan yang rasional. Jangan heran bila seorang anak menderita demam beberapa hari tetapi dokter tidak memberikan obat apapun. Dokter hanya akan menganjurkan untuk minum banyak cairan. Obat penurun panas pun baru diberikan bila suhu badan mencapai 40- 41 derajat celsius. Hal ini tentu saja mencengangkan dan menambah kegelisahan ibu, karena di Indonesia anak yang sakit pada umumnya terbiasa di bombardir obat-obatan.

Kepercayaan bahwa dokter tidak akan menjerumuskan pasiennya dan meyakini bahwa pengobatan rasional akan lebih baik bagi anak, akan sangat membantu menenangkan hati ibu. Pengetahuan mengenai seluk beluk penyakit seringkali menjadi senjata ampuh untuk memperkuat keyakinan tersebut. Karena itu, bila kekhawatiran masih saja muncul, ibu dapat bertanya lebih banyak kepada dokter, atau mencari tahu tentang penyakit tersebut melalui buku serta internet. Disini akses internet dapat diperoleh dengan mudah dan murah, 24 jam online, sehingga informasi lebih mudah didapat. Sistem asuransi kesehatan di negara ini juga berfungsi dengan baik sehingga masalah biaya pengobatan tidak perlu menambah beban kekhawatiran. Untuk itu membayar asuransi kesehatan penting dilakukan karena bila berobat ke dokter tanpa asuransi, biaya yang dikenakan akan jauh lebih besar.

Masalah ketiga adalah musim yang tidak bersahabat. Cuaca di Indonesia yang terbilang ramah dan selalu membuat semangat baru saat mentari terbit, sangat berbeda dengan iklim di sini. Begitu bangun di pagi hari, mendung sering menggelayut, membuat hati pun diselimuti kabut. Belum lagi hawa dingin yang menyergap, rasanya enggan untuk beranjak meninggalkan rumah.
Ketika hati gundah melihat cuaca seperti ini, ibu harus merubah cara pandang. Di negeri ini cuaca bukanlah penghalang, berdamailah dengan cuaca. Seorang kawan senasib, selalu menyempatkan diri keluar rumah dalam cuaca apapun dengan alasan agar tidak marah-marah terus di rumah. Nyatanya warga Belanda sendiri selalu menyarankan dan melakukan hal yang sama untuk menghindari rasa bosan.

Masalah keempat terutama terjadi di awal kedatangan, yaitu masalah ekonomi. Hidup di Belanda bersama keluarga bermodalkan beasiswa PhD terbilang pas-pasan. Jumlah uang beasiswa tergantung jenis beasiswa yang diperoleh. Pada umumnya jumlah uang yang didapat berkisar antara 1200-1300 Euro, termasuk biaya housing. Potongan pajak dan asuransi kesehatan saja sudah cukup besar, apalagi bila mendapatkan rumah yang sewanya mahal. Harga rumah untuk sebuah keluarga bervariasi mulai dari 500-1000 Euro, tergantung kota tujuan. Tetapi, mencari rumah murah bukan perkara mudah karena harus antri, dan mengumpulkan sejumlah poin terlebih dulu.

Pemerintah Belanda sebetulnya memberikan subsidi rumah setiap bulan dan tunjangan anak (kinderbijslag) per 3 bulan bagi semua orang yang membayar pajak dan mempunyai resident permit. Namun persyaratan utama yang diminta adalah sofi number (nomor sosial-fiscal) dari resident permit si ibu. Sementara pengurusan resident permit sendiri cukup rumit dan membutuhkan waktu sekira 6 sampai 9 bulan. Alhasil, selama belum terselesaikan, masalah ini akan sering menjadi pemicu kegelisahan hati.

Tak ada cara lain yang dapat dilakukan selain bersabar dan mencoba untuk menghemat pengeluaran. Salah satu kiat yang dapat dilakukan untuk berhemat adalah dengan membeli barang-barang bekas layak pakai. Barang-barang ini bisa dibeli di toko barang bekas, seperti Mama Mini untuk yang tinggal di Groningen. Sebagai contoh, harga lemari bekas yang masih layak pakai bisa dibeli dengan harga 10- 20 Euro, sedangkan bila membeli dalam kondisi baru, harganya mencapai 50 –100 Euro.

Cara lain menghemat pengeluaran bisa juga dilakukan dengan memakai barang-barang hibahan dari mahasiswa Indonesia yang sudah selesai merampungkan masa studinya. Biasanya barang-barang rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci, pembersih debu, peralatan memasak, dan barang lain akan dihibahkan secara gratis oleh si empunya barang. Selain itu ‘window shopping’ sebelum berbelanja penting dilakukan. Di pasar Vismarkt Groningen, harga barang dalam jumlah dan kualitas yang sama sering dapat diperoleh dengan harga lebih murah di kios yang bersebelahan. Toko-toko tertentu setiap saat juga selalu mengadakan aanbeiding (diskon) dengan harga yang jauh lebih murah. Di penghujung musim panas atau musim dingin, hampir seluruh toko mengadakan aanbeiding 50-70 % dari harga awal. Bila sedang musim aanbeiding seperti ini, barang-barang bermerk terkenal pun dapat dibeli dengan harga terjangkau, bahkan terkadang lebih murah daripada harga di Indonesia.

Dengan mengetahui masalah dan menjalankan kiat-kiat yang ada, biasanya kekacauan hati ibu dapat berkurang, sehingga ibu dapat merasa bahagia bukan hanya ketika akhir pekan saja. Cahaya kebahagiaan yang dipancarkan ibu setiap hari akan sangat membantu kesuksesan suami belajar dan juga mengantarkan keberhasilan bagi anak-anaknya di kemudian hari.

9 Replies to “PROBLEMA MENDAMPINGI SUAMI BELAJAR DI NEGERI BELANDA”

  1. saya adalah seorang istri yg mempunyai suami yg sedang menjalankan studi PhD di belanda dgn beasiswa yg cukup kecil (sekitar E 1035). Apakah cukup jika membawa anak 3 orang (sudah tidak ada yg balita)?

    Adakah alternatif2 yg dapat saya tempuh untuk bisa menyusul suami?

  2. Mbak Rini, sebetulnya cukup2 aja sih mbak, cuma diawal aja yang agak repot. Tinggal gmn bagi2nya aja kali ya, apalagi kalo dapat rumah murah, insya Allah cukup. Tapi masalahnya rumah murah itu susah dptnya. Saya disini kebantu sama subsidi rumah dan subsidi anak2 jg. Apalagi kalo anaknya udah besar, tunjangan anak2nya lebih besar mbak. Tp krn rumah saya mahal ya pas2an lah. Untungnya suami dpt tunjangan liburan, jd masih bisa jalan2 he he. Temen jg ada yg anaknya 3 mbak, dan kayaknya rejeki sih ada aja ya..

    Untuk bisa nyusul suami, yg ptg suami harus mengajukan visa tinggal buat keluarga (mvv), kalo udah keluar mvvnya baru bisa ikut mbak. Nunggunya emang lama, bahkan saya dan temen2 jg sempet ditolak dulu visanya. Apalagi sekarang peraturannya semakin rumit katanya/ Tp jalan mudah2an selalu ada ya mbak.

    Oke deh mbak, moga membantu ya, saya tunggu kedatangannya yaa :-)

  3. Assalamualaikum
    Wah …, apa kabarnya nih ?
    Masih ingat sama saya enggak? teman SMA 3 dulu, yang kuliah di FK Undip Semarang, pernah ketemu juga di Semarang waktu ISMKI, ingat? kalo lupa juga gak papa kok.
    Saya secara enggak sengaja menemukan situs ini,sedang cari2 info beasiswa malah jadi ketemu halaman ini, alhamdulillah,bisa silaturahmi kawan lama.
    Oke deh, lain kali disambung lagi, masih mau “browsing” nih…..
    Salam untuk Suami dan anak2(?)mu ya….

    dr.M.Syamsu R
    msyamsu@yahoo.com

  4. Wa’alaikumsalam..

    Haaai ya ampun, beneran nggak nyanggak bisa ketemu temen lama lewat blog. Aku inget dong pasti, kamu pake kacamata kan. Wah pasti sekarang udah jd bos ya hehe ato lg ambil spesialis nih. Iya deh ntar kita kontak2an lagi ya..
    Thanks lo udah nyasar ke blog aku hehe…

  5. Kalau ke Bld, jalan-jalan pasti enak. Pertama, bgmnpun kita akan tertegun dengan landainya tanah mereka. Say, luas negeri yg 200kmx200km itu tidak punya bukit, apalagi gunung berapi, TETAPI airnya melimpah dimana-mana, baik untuk untuk irigasi maupun transportasi, tapi bukan banjir. Dan itu sepanjang tahun! Saat hujan pun sulit melihat genangan seperti di Jakarta. Karena apa? Ya, yang jelas karena terkendalikan oleh sistem yg dikelola dengan baik. Kita harus angkat topi, atas teknologi tata airnya itu. Di sepanjang jalan/lintasan KA, kiri-kanannya, terhampar warna hijau seperti lapangan golf raksasa, diselingi onggokan pohon2/ hutan buatan dan kanal2 pengairan. Pada saatnya terhampar sepanjang mata mampu menjangkau, warna ungu; yang itu artinya tanaman jagung yg sedang berbunga! Pada saatnya kita lihat segerombolan biri2 dan sapi2 dengan petak2 terpisah oleh kali/kanal yang masing-masing dmk luas, sedang merumput. Kincir2 angin berputar memerankan fungsinya masing2 entah sbg tenaga/mesin pengatur air, mesin produksi, dstnya. Udara yg sejuk (di musim panas) memerdekakan orang pergi ke mana2 tanpa harus keluar keringat, meski kaki terasa capai. Di sisi yg lain sistem transportasi sedemikian terkoordinasi/ terintegrasi sampai hiitungan menit dan berkesinambungan sampai malam. Terminal bus kota dibuat bersebelahan dengan Stasiun KA. Bus Kota dan KA di samping sangat bersih dengan jok spt di peswat, juga bergerak menurut menit yg ada dalam jadwalnya. Tidak ada calon penumpang yg menggerutu kehabisan temp duduk. Orang2 jompo juga bisa naik bus kota krn ada porsi dan fasilitas untuk mereka tersedia. Warga betul2 bisa memastikan, jam berapa sampai di tempat tujuannya. {Itu yg kita tidak punya} Tidak perlu spare waktu 1 sampai 2 jam lebih awal, spt kebiasan kita kalau takut telat. Transportasi antar-kota dilayani dgn KA; sedang dalam kota cukup dengan bus kota yg halte2nya sudah dihafal oleh penggunanya (dan ada videonya di setiap bus) serta transpostasi kanal (speed boat/feri). Tidak ada Kopabun kecil2 yg tidak jelas di mana perhentannya itu. Sepeda sangat banyak dipakai semata-mata mereka sangat sadar arti efisiensi, oleh banyak kalangan, tak perlu gengsi-gengsian, termasuk oleh mahasiswa-mahasisa kita di sana. Jalur khusus sepeda tersedia, dmk juga tempat sandaran dan parkirnya ada di mana2. Kenyamanan shopping dalam komplek pertokoan yg disebut “centrum” dalam setiap kotanya rasanya tidak tertandingi, even oleh Singapura. Jadi, kalau Ibu Agnes di atas bercerita sedikit juga ttg stres, maaf, pasti karena faktor internalnya. Bukan eksternalnya. Kebalikannya kita di Jakarta, meski rumah tangga kita sudah demikian harmonis dan berkecukupanlah, stres tetap timbul setiap hari karena faktor eksternalnya. Fasilitas infrastrukturnya itu lho! Macet lagi, banjir lagi, saling seruduk lagi.

  6. wah..alhamdulillah nemu blog ini. inspiring sekali :)
    saya sedang berhubungan dengan prof di wageningen, cari2 promotor nih.
    mudah2n lancar bisa secepatnya ke Belanda, bawa 2 anak, dan 1 suami (he…pastilah) yang bikin pusing suami PNS, dosen juga sih, mebi cari post doc, ato sandwich (kalo dia ga kelar2 di itb, fuih…)
    kira2 kalo ibu-ibu yang bawa anak+suami kans-nya gimana ya mbak? masalah visa dsb.

    nuhun… (sepertinya udah mo kelar, udah 4tahun di sono. sukses yah!!)

    beta – dosen UPI

  7. Mba Agnes yg baik. Saya sungguh senang bisa menemukan blog ini. Langsung saja ya, rencananya tahun 2009-2010 suami saya akan melanjutkan S2 ke Belanda melalui beasiswa dari kantorya (Dep PU). Saya ingin sekali bisa ikut mendampinginya. Apakah untuk program beasiswa bisa membawa istri? Prosedur & persyaratan apa saja yang harus saya lakukan agar hal tsb bs terlaksana? Mohon sharingnya. Trimakasih, Mba Agnes.

Comments are closed.