Tulisan ini aku posting di milis dan cafe deGromiest, karena masalah yang aku angkat ini memang lahir sewaktu aku sedang kumpul-kumpul dengan deGromiest and the gang di acara syukuran lahirnya putra Dian-Hari.
Tulisan ini aku mulai dengan kalimat berikut :
Bagi siapa saja yang kelak ingin punya anak, atau yang sudah punya anak dan nantinya akan menyekolahkan anaknya di TK/SD di Indonesia, ada baiknya menyimak uraian berikut. Semoga bermanfaat.
“Ha ha ha, huehehe…” Si kecil Lala tertawa terbahak-bahak, tapi setelah itu dia diam dan malah bertanya “Bunda, kenapa sih orang-orang pada ngomongin setan?” begitu pertanyaan Lala. Entah mengerti atau tidak dengan pembicaraan kami waktu itu, tapi dia ikut juga tertawa ketika kami sedang menyimak cerita tentang setan. Ya maklumlah, namanya juga anak-anak, kadang suka ikut-ikutan nggak jelas :-) Lalu apa hubungannya pertanyaan Lala dengan masalah menyekolahkan anak?
Malam itu, di sebuah rumah yang nyaman di dekat Hornsmeer, Tuan dan
nyonya rumah sedang mengadakan acara syukuran bagi kelahiran bayi mungil mereka, Dhafin. Tentu saja DeGromiest and the gang menyempatkan hadir di acara tersebut. Setelah menyantap makan malam yang lezat, dan sholat maghrib bergantian, sekelompok ibu-ibu dan juga yang belum berstatus ibu, asyik bercanda ria dan berbagi cerita. Mulai dari cerita tentang penculikan anak yang kian marak di Indonesia, kisah serunya pengalaman mbak Heni waktu dihipnotis, sampai kepada cerita tentang setannya mbak Ponky—yang membuat Yunia panik :-) dan si kecil Lala bingung.
Tak hanya sampai disitu, ada kisah menarik yang disampaikan mbak Diana dan membuat curiousity saya meningkat. “Di Jerman, ada sebuah kasus menarik, seorang anak 5 tahun dari Indonesia yang sudah bisa membaca, ternyata oleh gurunya malah dikatakan bahwa orangtuanya telah melakukan child abuse” begitu kira-kira kisahnya.
Hal ini bagi saya menarik, karena Lala pun mengalami kasus yang sama di Belanda, tapi oleh gurunya sebaliknya malah didukung dan sedang diupayakan agar bisa naik kelas lebih cepat. Ada apa sebenarnya? Padahal Jerman dan Belanda sama-sama memberlakukan aturan, anak baru ‘diajarkan’ membaca saat usianya 7 tahun. Kalau begitu apa jadinya dengan sebagian besar anak Indonesia ya, umumnya di usia 5 tahun mereka sudah mampu membaca bukan?
Selain itu, hal ini mengingatkan saya pada diskusi menarik—tentang masalah kemampuan membaca anak Indonesia beserta kurikulum pendidikannya—dengan mbak Ike dulu. Akhirnya, permasalahan ini saya lempar ke salah satu milis yang saya ikuti. Dari hasil diskusi itu telah dibuat resumenya, dan kebetulan ada 2 orang ibu dari Jerman yang ikut memberikan komentar.
Resumenya, silahkan dilihat disini :
http://wrm-indonesia.org/index.php?option=content&task=view&id=302
Tapi bagi yang ‘malas’ membaca karena rangkumannya pun cukup panjang,
saya coba untuk memberikan kesimpulan dari diskusi tersebut.
***
Kata kunci dari permasalahan di atas adalah ‘keterpaksaan’. Bisa jadi kasus di Jerman itu memang kerap terjadi. Di Jerman, perlindungan terhadap anak memang sangat ketat. Karena disana anak baru ‘diajarkan’ membaca saat anak berusia 7 tahun, tak heran bila ketidaklaziman ini membuat mereka berhati-hati terhadap kasus yang tidak biasa. Selain itu, pendefinisian terhadap pengajaran membaca itu sendiri belum jelas. Bisa saja materi yang diberikan pada anak dibawah 7 tahun di Jerman oleh beberapa orang dikatakan bukan mengajarkan membaca. Tapi oleh sebagian yang lain hal itu sudah bisa dikatakan pengajaran membaca (proses menuju membaca).
Dari diskusi tersebut, hampir semua ibu sepakat bahwa yang disebut child abuse sebenarnya bukanlah pengajaran membacanya melainkan pemaksaannya. Ketika seorang anak enjoy-enjoy saja dan have fun dengan pengajaran membaca, why not? Guru-guru di Jerman pun akan mengerti dan tidak akan menganggap tindakan ini sebagai child abuse bila alasan yang dikemukan jelas, bahkan mungkin akan didukung seperti yang terjadi pada Lala di Belanda.
Apalagi bagi anak yang memang punya kemampuan otak di atas rata-rata atau memang sejak kecil sudah biasa dibacakan buku oleh orangtuanya. Mereka begitu familiar dengan huruf dan cepat sekali menyerap apa-apa yang mereka lihat. Sehingga sangat wajar bila akhirnya minat mereka untuk bisa membaca begitu besar. Pada anak-anak seperti ini, kebanyakan orangtua akhirnya ‘mengajarkan’ anak-anaknya membaca. Tetapi metodanya pun diupayakan agar sesuai dengan dunia anak—dunia bermain— dan tentu saja menyenangkan. Karena hal-hal itulah maka tak heran bila di Indonesia, terdapat cukup banyak kasus anak-anak kecil—yang tanpa dipaksa—sudah bisa membaca.
Tapi, tentu saja yang juga patut diperhatikan adalah motivasi dibalik pengajaran orangtua pada anak-anak dengan minat besar tersebut. Betulkah memang karena minat besar si anak? ataukah lantaran keinginan pribadi yang terkait dengan proud as parents—yang bangga jika melihat anak-anaknya kecil-kecil sudah bisa membaca? Hal ini terpulang kepada hati nurani masing-masing orangtua.
Kalau tanpa dipaksa oke, bagaimana dengan yang dipaksa? Ini lah yang patut dikuatirkan dan layak disebut child abuse tampaknya. Apalagi, di Indonesia sekolah TK yang melakukan metoda pengajaran membaca dengan paksaan ini pun cukup marak. Bahkan dibeberapa sekolah ada pula yang konsepnya ‘bermain sambil belajar’ tapi ujung-ujungnya tetap saja ‘belajar sambil bermain’ Sebagai informasi dari saya, ternyata ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa pemaksaan pengajaran membaca di usia dini, malah bisa menurunkan tingkat IQ saat di SD kelak! Hmm pantas saja bila akhirnya dikatakan child abuse bukan?
Indonesia memang sedang ‘terkapar’ di segala bidang, termasuk pendidikan. Orangtua di Indonesia yang memiliki anak usia TK kerap bingung memilih sekolah dan bagaimana seharusnya bertindak. Di satu sisi kurikulum anak SD kelas 1 mengharuskan anak untuk sudah bisa membaca. Di sisi lain, orangtua yang sadar dan tidak ingin memaksa anaknya, tetap dihadapkan pada tuntutan tersebut. Sehingga mau tak mau tetap saja mereka harus mengajarkan anaknya membaca. Dari kondisi tersebut, akhirnya banyak orangtua yang malah meminta guru-guru TK untuk mengajarkan anaknya membaca lewat les Guru-guru TK pun ‘asik-asik’ saja karena malah mendapat penghasilan tambahan barangkali.
Masalah ini memang menjadi dilema bagi banyak orangtua di Indonesia. Jadi, bagi anak-anak balita yang akan bersekolah di Indonesia, tampaknya orangtuanya harus berpikir masak-masak sebelum memutuskan untuk memilih sekolah. Keliru pilih sekolah atau main paksa sama anak , jangan heran kalau akhirnya orang-orang di negara lain malah menuduh kita telah melakukan child abusing.
Mbak Agnes,
Saya selalu terperangah lho dengan kondisi pendidikan anak usia dini di Ind saat ini, anak balita sejak bayi sudah di”hajar” diajarkan membaca dan matematika. Idenya pada kepingin punya anak jenius. Ada metoda yg namanya Glenn Doman menggunakan flash card berisi dot matriks yang sudah diberikan kepada bayi-bayi merah. Katanya untuk menciptakan memori fotografis. Nah metoda ini dipasar-pasarkan liwat milis-milis. Ada metoda mengajarkan matematika pada bayi. Apa tea gak keterlaluan yak? Herannya kalau kita protes, para pedagang dan konsumennya balik menyerang dengan cara kasar dan caci maki…. Hmh… ck ck….Bahkan mereka mengeluarkan jurus jurus yang katanya ilmiah, padahal ngawur…Hebat yah pasarannya.
Wuit Groningen jauh banget ya dari tempatku tinggal…
Assalamu’alaikum
salam kenal
Agnes punya tulisan ttg sekolah (SD,SMP,SMA) di Jerman dan Belanda?
sy sangat memerlukan
Wa’alaikumsalam,
Salam kenal juga ya mbak Rina :-). Wah maaf mbak, karena anak-anak saya masih balita, jdnya saya hanya punya beberapa resourses ttg preschool. Itupun kebanyakan bukan dr Belanda, krn saya blum bisa bhs belanda :-)
Maaf ya mbak, nggak bisa bantu banyak :-)
Untuk masalah anak sebelum 7 tahun sudah bisa membaca itu abuse atau bukan, menurut saya itu masalah bagaimana prosesnya, bukan tujuan atau hasilnya. Menurut ilmu psikologi yg saya tahu, kemampuan otak anak untuk menyerap hal baru berada di puncak ketika berumur sekitar 4 tahun. Kalau memang si anak sudah sejak sebelum itu dikenalkan pada buku atau bacaan, secara langsung maupun tidak, anak akan mulai menghafal apa yg dia lihat dan dengar.
Contohnya anak saya (saat ini hampir 4 tahun) sejak usia 2 tahun lebih sudah bisa membaca beberapa kata di buku2 ceritanya, walaupun dia belum kenal huruf. Dia hanya menghafalkan apa yg dia lihat dan dia dengar. Dari situ saya mulai mengarahkan anak saya untuk mengenal huruf, hingga skrg dia sudah mulai bisa membaca kata2 sederhana.
So, kalau memang budaya mengenal bahan bacaan (bukan hanya buku) sudah dikenalkan pada anak sejak dini, apa salah kalau anak sudah bisa membaca bahkan sebelum masuk TK?
Saran saya, biasakan anak dengan buku, kurangi konsumsi film2 yang didubbing, sehingga anak terangsang (tanpa unsur abuse) untuk membaca karena memang dorongan dari dirinya sendiri. Jadikan proses belajar itu menarik, bukan paksaan dan tekanan, bagi anak.
Teteh Agnes,
Ita setuju dengan pendapat Waskita Adi, Kaka Alief (4,9) mulai lancar baca saat belum genap 4 tahun dan bukan karena di ajarin tapi karena mau sendiri. Dimulai karena senang dengan lagu nasyid Raihan, terus ngapalin lagu dan judulnya lama-lama kenal huruf dan bisa baca sendiri, kalau diamati kaka bisa baca dan tulis melalui “proses mendengar, melihat dan menghapal”, tentu saja karena proses yang dilaluinya memang menyenangkan tanpa unsur paksaan. Lucunya lagi kalo mau kita ajarin..wah jangan harap deh ..justru ia akan menolak dengn keras. jadi saat kaka ngajukan pertanyaan adalah timing yang pas buat ita untuk ngasih informasi. Untuk pendidikan anak di Ind. memang masih belum kondusif/belum berpihak keanak, klo ngeliat anak-anak teman yang sudah SD suka kasian…. kayaknya banyaaaaaakk banget yang harus dipelajari, karena sudah sistem mau enggak mau harus dilakoni juga, jadi support ortu disini berperan dengan tidak lagi menambah beban anak misalnya harus rangking, trus dikasih reward kalo pas nilainya bagus aja, tapi kalo akhlaknya bagus, suka nolong teman.. suka sodakoh .. tidak bohong malah dianggap biasa aja.
assalamu’alaikum
topik yang dibicarakan lucu juga ya. masa anak baca buku aja pake dipautin umur segala. kalau anaknya hidup dalam lingkungan yang doyan baca mah kagak bakal ngaruh usia berapa dia bisa baca. pasti dengan sendirinya dia bakal terpengaruh dengan lingkungannya, jadi ngga usah matok-matokin usia lah, tergantung lingkungan, gen, sama cara mendidiknya itu mah….gitu aja kok freepot tohh…
Wa’alaikumsalam…
Iya mba bener gitu aja koq repot ya hehe..Tx buat komennya :-)
Saya Atiek, dan kebetulan saya memiliki nursery untuk mulai 1 tahun, juga bekerja di Rumah bersalin dengan banyak bayi bayi yang konsultasi. Saya tertarik dengan metoda glenn domann, tapi sulit bagi kami untuk mendapatkannya. Karena kami berada di Pontianak, Kalimantan Barat.
mohon informasi, seandainya ada publikasi yang bukan harus membeli dari luar negeri, tetapi bisa ada di internet, tentang metoda ini. Saya sudah coba, tetapi mungkin webnya belum ketemu, karena yang ada kami harus membeli dengan biaya yang cukup mahal.
seandainya bapak dan ibu ada yang bisa menginformasikan webnya tentang bagaimana melaksanakannya , saya sangat berterimakasih
wassalam
Halo ibu atiek, terimakasih sudah sudi mampir kemari :-) Ibu, sebelum lebih jauh tertarik sama metoda glenn doman, lebih baik ibu baca dengan seksama cerita teman saya yg juga ahli dibidang parenting (blio lg ambil S3 di Amrik). Ini linknya bu, disana jg banyak artikel2 bagus yg blio tulis soal parenting dan anak deh pokoknya.
http://rasti812.multiply.com/journal/item/36/Birokrasi_ngikut_NGAWURAnak_Indonesia_makin_menderita
Kesimpulannya bu, klo saya boleh kasih saran, mendingan pake metoda lain yang sudah terbukti secara ilmiah aja kali ya bu :-)
selamat membaca link ini ya bu :-)
agnes
Salam Kenal….
Ibu-ibu, dunia anak-anak adalah bermain… mari kita ajak anak2 kita bermain sambil belajar. untuk itu diperlukan mainan pendidikan/ edukatif yang berkualitas dan sesuai untuk usia anak. Saya ingin mengenalkan produk mainan edukatif GIGO… Silahkan kunjungi website saya di
http://www.gigotoys.mitrafarma.com
Salam Cerdas
Hanny ^ ^