“Mampukan Aku Tumbuhkan Pohon Cinta Itu”

Tulisan ini aku kirim juga untuk meramaikan acara ultah WRM yang ke-2. Menang? Waah belum ada pengumumannya tuh. Yang jelas, niatku sama sekali bukan buat menang atau kalah hehe bener-bener buat catatan diary parentingku, dan semoga ketika aku membacanya lagi bisa mengingatkan aku terus.

“Kunci pertama agar anak mampu mengenal Tuhannya adalah terima anak apa adanya! Bagaimana mungkin orangtua bisa mengenalkan anak pada Tuhannya jika orangtuanya sendiri tidak bisa menerima anak apa adanya? Orangtua yang mengenal Tuhan artinya orangtua yang ikhlas menerima apapun keputusan Tuhannya terhadap anaknya. Mengenal saja tak cukup, perlu mencinta. Bagaimana mungkin seorang anak bisa mencintai Tuhannya dan juga sesamanya kalau masa kecilnya dipenuhi dengan rekaman-rekaman kemarahan di hatinya? Tegas boleh. Tapiii…jangan pernah memarahi anak sejak ia lahir hingga usia 7 tahun! Bibit cinta akan menumbuhkan pohon cinta. Namun bibit kemarahan?”

Deg! Sesuatu menusuk nuraniku. Kesimpulan yang aku tangkap dari untaian kata mbak Neno Warisman yang aku dengar dari http://cafe.degromiest.nl/neno malam itu membuat mataku mulai mengembun. Tuhan, Bibit apakah yang telah kutanamkan pada anak-anakku? Betapa sering teguran itu datang, petunjuk agar aku mau memperluas ruang kesabaranku. Petunjuk agar aku mau menerima putriku apa adanya, segala keunikannya. Dan ketika kesadaran itu datang, mengapa tak pernah lama? Selalu saja ia kembali dan kembali lagi. Ooh, ampuni aku Tuhan. Baru saja aku, lagi-lagi menebarkan bibit kemarahan itu. Dan ternyata aku tak juga mampu mengenalMu.

Pagi itu, darahku mendidih. Bukan kali pertama, entah kali keberapa. Kesabaranku tak ada hentinya diuji, lagi dan lagi oleh gadis kecilku sendiri. Berlembar-lembar artikel tentang parenting kubaca, mengatakan hal serupa, bahwa setiap anak adalah unik, terima ia apa adanya. Berkali-kali pula aku sesumbar menuliskannya dalam diskusi-diskusi di dunia maya, milis WRM misalnya. Duh, tapi mengapa kadang aku hanya pandai bicara saja. Nyatanya, kini aku gagal lagi. Mengapa aku tak bisa menerima keunikan putriku? Mengapa aku harus marah lagi? Karena PMS (Pre Menstrual Syndrome) lagi? Huh, apakah itu bukan sebuah pembenaran? Pembenaran untuk menghalalkan kemarahan!

Sepuluh menit lagi pukul 8.30 pagi. Saatnya bel berdentang tanda pintu masuk sekolah telah ditutup. Tapi, dimana putriku berada? O..la..la… ia masih berkutat dengan rambutnya, tentu saja dirumah. “Hiks…hiks…aku nggak mau pergi kalau rambutku belum diiket.” Rengekannya membuat kesabaranku mulai menguap.”Tapi engkau harus segera pergi Nak, sudah terlambat,”bujukku berusaha sabar sambil mencari ikat rambut yang tak kunjung kutemukan. Putriku pun berusaha mencari ikat rambutnya, berjalan perlahan dengan gaya malas-malasan, tak juga segera memakai sepatunya. Tuhan, kenapa anak ini lambaat sekali, ada apa dengannya? Kenyataan itu mulai mengusikku lagi.

Putraku juga mulai merengek, bertanya-tanya kenapa mereka tidak segera pergi. Lalu, aku mengulangi ucapanku pada putriku dengan nada sedikit meninggi. Tangis putriku kemudian meledak,”Kalau rambutku nggak diiket, nanti aku makanin rambutku terus, nanti pipiku jadi bau, hu…hu…hu.” Belakangan ini, mulutnya memang mengeluarkan bau tak sedap. Dan kunjungan ke dokter, baru akan berlangsung minggu berikutnya. Hari-hari sebelumnya aku tak lupa mengikat rambutnya.”Bunda ikat rambutmu, supaya kau tak bisa lagi memakan ujung rambutmu. Kalau dimakan mukamu jadi bau sayang,” pesanku selalu. Dan kini pesan itulah yang dipegangnya kuat-kuat. Hmh, kenapa dalam kondisi buru-buru seperti ini dia tak bisa berdamai dengan aturan yang telah dipegangnya. Mengapa ia selalu saja begini, gampang merengek dan menangis!

Kulirik jarum jam, delapan lewat tigapuluh menit. Kesabaranku lenyap sudah.”Sudah lah nggak usah diiket, nggak apa-apa sekali-kali bau. Ayo cepet berangkat, itu ayah udah nunggu!” Seruku kesal. Ayahnya juga mulai kesal dan menyuruhnya untuk segera berangkat. Tapi, tangisnya semakin keras terdengar.“Aku nggak mau hu..hu..hu…aku nggak mau, nanti bau Bun, hu…hu..hu.” Mendengarnya, kemarahanku tak lagi tertahan,”Bunda kan udah bilang nggak apa-apa! Lihat tuh sekarang jam berapa?! Terlambat La! Malu kalau terlambat, ngerti nggak Lala?!” Sentakku. Akibatnya, tentu saja tangisnya menghebat, juga kemarahannya. “Huaa…Aku nggak sayang sama Bunda! Huaa… air matanya bercucuran sambil menatapku dengan marah.” Tuhan, kenapa anak ini perasa sekali. Adiknya tidak merepotkan begini, dimarahi juga cuek aja, easy going. Pikiran nakalku mulai membanding-bandingkan ia dengan adiknya.

Dan akhirnya, suamiku menarik napas dalam, menyadari bahwa semua tak bisa dibiarkan. Ia segera duduk dan meletakkan tas punggungnya ke lantai. Diraih dan dipeluknya anak itu sambil berkata padaku,”Sudah Ma, sudah, nggak usah bicara apa-apa lagi sama dia kalau lagi marah. Waktu memang penting, tapi ada hati yang harus dijaga. Lebih baik terlambat daripada anak kita pergi sekolah sambil membawa hati yang tergores. Peluk dia Ma, peluk…,” katanya membujukku. Kemarahanku masih menggumpal di dada, begitu pula keegoisanku. Tak ingin rasanya memeluk anakku dalam kondisi seperti itu. Tapi aku tahu ucapan suamiku benar.

Aku berusaha meredam kemarahanku sekuat yang kumampu.Gumpalan marah itu masih saja berdiam di sudut hatiku. Tapi, perlahan kuhampiri juga putriku, kupeluk dia, dan kukatakan padanya,”Maafkan Bunda ya sayang. Bunda kesel sekali tadi. Nggak apa-apa sekali-kali terlambat, kita cari dulu ikat rambutnya ya.” Aku bicara perlahan sambil menahan air mata yang mulai menggenang. Air mata kekesalan yang tertahan karena gumpalan marah itu hanya sedikit berkurang. Kekurangan-kekurangan putriku yang berseliweran dalam benakku membuat hatiku enggan melunak. Namun, kupeluk ia lagi, semakin erat. Dan ternyata perlahan tapi pasti pelukan itu melelehkan amarahku.

Pukul delapan limapuluh, akhirnya suami dan kedua anakku berangkat ke sekolah. Setelah menciumku, dengan senyum tersungging di bibir dan rambut dikuncir dua, putriku pun meninggalkan pintu rumah. Dan aku? Berlari menghempaskan diri ke tempat tidurku, menumpahkan semua air mata yang tertahan. Ya Allah, mengapa begitu sulit. Mengapa ia seringkali membuatku seperti ini. Mengapa pula pikiran nakal untuk membandingkan ia dengan adiknya dan teman-teman sebayanya selalu menggodaku ya Allah? Aku sayang sekali padanya. Aku tahu setiap anak adalah unik. Tapi mengapa begitu sulit menerima dia apa adanya? Ampuni aku Tuhan, sungguh aku menyayanginya. Tapi aku tak kuasa menolak semua rasa ini.

Aku teringat seminar online yang diadakan oleh WRM beberapa bulan lalu tentang anak berbakat. Sejak itu aku curiga putriku termasuk anak berbakat dengan masalah. Apalagi sewaktu di Indonesia dulu, psikolog yang pernah melakukan tes padanya pun mengatakan bahwa putriku memiliki IQ jauh di atas rata-rata. Setelah aku seolah mendapat keyakinan tambahan bahwa putriku berbeda, aku bisa lebih sabar menghadapi perilakunya. Tapi seperti biasa, kesadaran untuk tak boleh memarahi anak itu, selalu tak ingin berlama-lama berdiam dalam hatiku. Ketika evaluasi di sekolah tiba, dan mendapatkan penjelasan dari guru sekolah putriku, aku kembali gamang. Ia yang dulu kerap dikatakan memiliki kemampuan lebih dibanding sebayanya—saat di Playgrup maupun TK tahun pertama di Belanda—kini sama sekali berbeda.

Guru sekolahnya hanya mengatakan, prestasi putriku biasa-biasa saja. Bahkan kekurangannya yang paling terlihat adalah lelet. Ia selalu menjadi paling akhir diantara teman-temannya. Akibatnya ia tak pernah bisa mendapatkan latihan tambahan. Gurunya hanya menyuruh kami untuk ‘wait and see’, tapi aku tetap tak tenang. Anak yang lelet tak pernah aku temukan dalam bahasan seminar anak berbakat. Apalagi, dalam salah satu makalah seminar disebutkan bahwa pemeriksaan IQ pada anak dibawah umur 7 tahun tidak lah dapat dipercaya. Aku mengambil kesimpulan sendiri, artinya anakku sama saja dengan anak-anak sebayanya,”Hanya leletnya saja yang berbeda,”pikirku.

Perlahan tapi pasti, tanpa sadar aku mulai menaikkan standard perilaku untuk putriku. Aku ingin ia bisa ini dan itu seperti teman-teman seusianya. Aku dan suamiku pun mencoba mengatasi kelambatan geraknya dengan berbagai cara. Akhirnya apa yang terjadi? Kemarahan dan kemarahan yang mudah sekali muncul seperti kejadian pagi itu.

Hiks, Tuhan… apa yang telah kulakukan pada putriku? Tolong, ampuni aku Tuhan. Selama ini aku mengaku-ngaku bahwa aku telah mengenalMu. Tapi nyatanya, aku bahkan tak bisa menerima keputusan yang telah Kau berikan. Aku tak bisa menerima anakku apa adanya. Anak berbakat atau tidak, dia tetap berbeda, dia tetap membawa keunikan dariMu. Aku mencintainya, sungguh! Dan aku sangat ingin ia bisa mencintaiMu. Aku ingin menumbuhkan pohon cinta itu Tuhan. Semoga aku belum terlambat. Mampukan aku Tuhan…

61 Replies to ““Mampukan Aku Tumbuhkan Pohon Cinta Itu””

  1. lhoo kirain udah ada di sini nes sebelum dikirim :D…hmmm..aku tau aku tau jawabannya..tapi ntar tunggu pengumumannya aja yaaa :D..nes lagi sibuk ngurusin anak2 cacar ya?

  2. He he belum sempat diposting In, pamalesan, baru sempet sekarang. Yaa curang Iin dah tau jawabannya lha wong bu Juri je piye hehe.

    Iya In, kemaren dulu Malik sekarang Lala yang cacar berikut batuk beratz, untungnya mereka lagi libur seminggu. Tapi anak-anak di rumah emaknya malah ga produktif nih :(

  3. Teh…aku tauuuu banget yang teteh rasakan, saat ilmu parenting, seminar dan semua resep membimbing anak dirontokkan emosi dalam sekejap. Bila sudah terjadi, tiada lagi lagi yang bisa dilakukan selain minta maaf sama anak terus mohon agar merekatkan kenangan yang indah saja dan menghapus kenangan yang jeleknya. Teh… seminggu lalu aku marah sama kaka dgn cuekin dia & pasang muka dingin, masalahnya janji sehabis sholat Magrib di Mesjid langsung pulang hampir selama 2 minggu belum juga di tepati. Tetap aja pulangnya Isya plus celana yang becek habis main perosotan di rumput. Terakhir kemarin aku emosi banget, aku cuekin, tidur enggak kutemenin, no dongeng..padahal kaka minta maaf terus sambil nangis sama aku..aku tetep enggak bergeming, abis rada bosan sih. Tau enggak teh..sambil nangis kaka beristigfar..ya Allah ampuni aku, ya Allah ampuni aku..Astagfirullah hal adzim..Astagfirullah hal adzim..sambil terisak. Eh..Huebatnya aku (kalau ingat itu aku gemes sama diriku sendiri)..walau hati sedih enggak bergeming juga, cuek bebek…begitu kaka tertidur..baru aku nangis terisak-isak cuma sudah terlambat. Anaknya udah tidur..dengan segala macam yang berkecamuk di hati…tentu saja. Paginya..aku terus minta maaf…Alhamdulillah Allah menolong aku, sekarang sudah hari ke tiga kaka menepati janji..aduh bahagiaaaaaaa rasanya….setelah baca buku bunda Neno sekarang tiap moment selalu ku libatkan Allah. pas minta kaka nepati janji..tak henti hati berzikir…supaya Allah ngasih pengertian ke kaka.
    Sabar ya teh….Insya Allah pasti akan ada perubahan nanti walau sedikit.

    salam sayang
    ita

  4. Thanks ya Ita dear :-)
    Emang bener jadi orangtua harus seperti ini ya, mengalami pasang surut. Minta doanya ya say, aku jg dah pesen bukunya mbak neno nih, mumpung ada temen yg mo pulang.

    Btw, ternyata artikel ini masuk katagori artikel parenting terbaik pas lomba WRM kemaren. Hmm…lumayan walopun hadiahnya ga sampe sini, rejekinya adekku hehe…

  5. dear mba agnes
    mau cerita dikit juga nih… dulu ratna termasuk anak lelet juga lho.. coba tanya kakak sama mama gimana ratna dulu.. heuhehhehe… mau mandi pagi aja susaaaaaahhh banget. abis dibangunin malah tidur lagi di sofa, bahkan di kamar mandi! ngerjain peer juga lama, terutama pelajaran mewarnai… hihi.. masi inget aja nih…

    tapi sekarang mama malah suka bilang.. wah, padahal dulu kamu lelet bgt (sambil dikasi embel2 detail kebiasaanku dulu)… ga nyangka sekarang bisa jadi anak mandiri en sekolah di belanda… huehuhehe…

    mungkin mba agnes ga perlu terlalu kuatir… emg si ratna ga mendalami ilmu perkembangan dan pendidikan anak… tapi kata orang, semua itu indah pada saatnya.. begitu juga dengan lala (nyambung ga ya?? ) ^^!

    salam manis
    ratna

  6. Oo gitu ya..hmm..masukan bagus nih :-)
    Nyambung banget koq Ratna, jadi semakin yakin bahwa people change ya. Anak-anak juga demikian adanya. Cuma emang kesabaran itu yg mahal. Menjalani hari-hari penuh keleletan itu yang bikin kepala sering bertanduk :-) Pasti mamanya ratna sabar banget ya sehingga bisa menghasilkan anak seperti Ratna yg hebat kayak sekarang hehe…

    Tx a lot ya say buat sharingnya…

  7. cihuy…euy.. and Alhamdulillah ngiring bingah…(baru baca diwrm jadi sekalian ngunjungi rumah teteh). Aduh..iri nih sama teteh, kapan ya aku bisa nulis mengharu biru seperti teteh. Tulisannya hidup banget.. padahal kalau masalah bahan dirumah banyaakkkk banget..kebersamaanku dengan kaka and ade kan Subhanallah indah banget, hanya saja dakunya perlu latihan menulis terus. Dua jempol buat teteh deh…

    Teh kapan hari aku BCM (Bernyanyi, bercerita & mendongeng) di Komplek ku Alhamdulillah anak-anak suka and happy banget. Terus Minggu kemarin, tiba-tiba ada yang ngetuk pintu, begitu aku buka Subhanallah…
    “Hallo bunda Alief…kami boleh main ke rumah bunda enggak?”
    Teh rasanya bahagiaaaaa..banget, anak-anak itu masih inget sama aku, Jadinya kita bikin date setiap minggu sore anak-anak itu mau main kerumah sambil main juga baca buku….asyikkkkkk ya teh..
    sorry nya kapanjangan..lagi pengen curhat

    salam sono
    ita tea

  8. Ta, tuh kan bener bakat Tita teh ngadongeng, sok atuh dilanjutkan ya :-)
    Diriku mah kalo untuk urusan cuap-cuap rada susah euy hehe…
    Selamat jadi ibu ahli BCM ya say :-)

Comments are closed.