Secuil Hati yang Kembali

“Apa sih gunanya belajar bahasa? Buat apa? Toh aku akan pulang. Di Indonesia nanti, apa gunanya bahasa Belanda, mendingan juga memperdalam bahasa Inggris, pasti kepakenya. Hmm…bingung. Ikut ujian apa jangan ya…? Rajin belajar apa jangan ya…? Tapi sayang juga kalau kesempatan dibuang. Tapi lagiii, waktuku untuk menulis dan bermesraan dengan kompi jadi jauuh berkurang. Padahal banyaak banget yang ingin aku tulis. Huaah..pusing!”

Belakangan ini aku memang pusing sama urusan les bahasa ini. Melihat latar belakangku, dosenku sangat menganjurkan aku untuk ikut staad examen II. Padahal, waduuh bicaraku masih belepotan. Tapi kenapa aku bersemangat? Aku juga heran, kenapa aku semangat ya? padahal kadang-kadang pikiran yang mengatakan belajar bahasa Belanda ini tak berguna sering sekali muncul.

So why? Alasan utama adalah karena tiba-tiba saja aku begitu diberi kemudahan untuk melanjutkan les bahasa Belanda ini. Aku seharusnya masih berada di level 2, tapi kalau aku di level 2, pemerintah Belanda tidak akan memberi subsidi, jadi aku dinaikkan di level 3. Subsidi tidak diberikan untuk level 1 dan 2. Itulah sebabnya aku dinaikkan ke level 3 dengan catatan,”Kamu harus belajar ekstra keras ya,” pesan pengujiku dulu.

Berapakah biaya yang harus aku keluarkan? Bayangkan, 15 euro saja saudara-saudara! Lima belas Euro (sekira 150 ribu perak) selama 6 bulan, tiap hari pula. Sedangkan les di tempat lain, tiga bulan bisa menghabiskan biaya hingga 300 atau 400 euro. Ya memang bagi orang yang menikah dengan warga Belanda sih bisa gratis. Tapi aku kan bukan termasuk di dalamnya. Jadii, aku berusaha membaca pesan ini dengan baik. Mungkin, Allah memang punya rencana lain sehingga aku harus belajar bahasa Belanda. Siapa tahu aku jadi bisa kerja di bidang kesehatan. Karena bila aku bisa menggondol sertifikat staad examen II, peluang ini terbuka. Siapa tahu aku bisa dapat uang tambahan, tabungan buat sekolah.

Dan, belajarlah aku disana dengan penuh semangat. Tapii…semalam air mataku mengucur deras lagi. Mataku bengkak lagi. Tiba-tiba saja secuil hatiku seolah terbang pergi. Hampa. Kosong. Rindu lagi. Semakin merasa jauh dengan ‘cinta’ ku. Semakin merasa tak berarti. Ah, apa sih yang terjadi, sehingga begitu besar dampaknya?

Aku menemukan website tentang peluang kerja di sektor kesehatan bagi pendatang di negeri ini ( http://www.ribiz.nl/en/diplomaandwork/Aforeigndiploma/assessment/assessmentvoorartsen.aspx). Ternyata, peraturannya njelimeet banget! Imposible deh aku bisa kerja di sektor kesehatan, jangankan dokter, fisioterapis, bidan dan bidang-bidang yang teknis saja sulit banget. Padahal aku tidak ingin muluk-muluk kerja jadi dokter di Belanda koq, yang ringan dan yang lucu aja, tapi masih berhubungan sama kesehatan gitu.

Tapi sejak semalam…hopeless…Terkuburlah sudah impianku untuk bekerja di bidang kesehatan. Lalu buat apa aku meneruskan les bahasa yang sudah separo jalan ini? “Kalau mau jadi tukang bersih-bersih mah, sekedar bisa cuap-cuap seadanya juga cukup,”keluhku pada suamiku. “Buat apa? Buat apa? Gara-gara les bahasa Belanda, aku semakin jarang baca-baca tentang ilmu kesehatan. Gara-gara les bahasa Belanda, aku semakin jarang menulis. Dan ternyata bahasa yang aku pelajari ini nantinya tidak akan bisa membuatku bertemu lagi dengan ia yang kurindu.” Hiks…pilu.

“Kita kan tak mengerti tentang masa depan Sayang. Allah bisa berkehendak apapun. Nanti akan tiba saatnya Mama bisa sekolah lagi, bisa bertemu lagi dengan si ‘cinta’.” Suamiku menghibur.”Ya, dan aku sudah terlanjur tua, tak bisa diterima. Lagipula uang darimana? Biaya sekolah begitu menggila,” sungutku kesal.

Aaah…! Kenapa rasa ini kerap mendatangiku lagi. Begitu besarkah cintaku pada si ‘cinta’? Hei! Ini bukan dirimu. Kau bukan orang yang selalu berpikir negatif itu kan. Ayo, bangunlah! Berserah diri! Berserah diri! Berserah diri! Bersyukur! Bersyukur dan bersyukur! Lihat sekelilingmu! Lihat apa yang sudah kau peroleh disini! Kau hanya menyaksi! Kau hanya mengabdi! Lihaat! Buka mata, buka telinga dan buka hati, kau bukan siapa-siapa, kau bukan apa-apa, hanya manusia! Hanya sesosok tubuh mungil berjiwa yang mengaku mencinta Tuhannya. Apa artinya? Tak akan berarti apa-apa selama kau tidak Berserah diri!

Hiks…rentetan-rentetan teguran itu mengalir perlahan dalam kalbuku. Ya Allah…sesungguhnya aku hanya bisa mengabdi, menyaksi dan berserah diri. Tak pantas aku protes Tuhan, tak pantas. Betapa aku tak tahu diri dengan segala yang telah Kau beri. Hiks… Berserah diri, berserah diri, berserah diri. Lahaula wala quwata illah bilah…Akhirnya hanya ituuu saja yang mampu aku ucapkan dalam sujudku, hingga akhirnya batinku diliputi kesejukan. Secuil hati yang pergi itu perlahan kembali.

Sesungguhnya ia tak pernah pergi. Ia ada, tak kemana-mana hanya bersembunyi sebentar saja. Ia akan muncul lagi asalkan aku ingat lagi, bahwa aku hanya mampu berserah diri.

My life is just now. I have to do my best whatever comes in my eyes…Hopes You always give me the way…

“Your daily life is your temple and your religion. When you enter into it take with you your all.” (Kahlil Gibran)

3 Replies to “Secuil Hati yang Kembali”

  1. haloooo….
    saya mau tny,kalau les bahasa belanda di amsterdam kira2 per bulannya brp euro?tau term n conditionnya ga ya?

Comments are closed.