“Allah itu dibikin dari apa Bun?†tanya Malik polos. Jujur, saat itu saya bingung menjawab pertanyaannya. Semalam saya tak bisa tidur. Iseng-iseng, saya membuka kembali catatan harian tentang perkembangan spiritual anak-anak saya. Saya jadi teringat, tiga bulan lalu, Malik, putra saya yang berusia 4,5 tahun, memang sedang gandrung dengan pertanyaan seputar Allah. Karena bingung, saya balik bertanya,â€Menurut Aik, Allah dibikin dari apa?†Tanpa ragu, ia seketika menjawab,â€Dari angin Bun.â€
Wow dari angin? Saya kaget dengan jawabannya. Tapi saya dan suami meyakini bahwa anak-anak adalah makhluk spiritual. Kami sepakat untuk berusaha memberikan kebebasan berpikir dan membuat mereka tak terkekang dogma. Kami yakin imajinasinya tak perlu dihambat, hanya perlu diarahkan hingga akhirnya ia bisa menemukan sendiri jawabannya. Jadi, jawaban Malik saat itu saya biarkan saja. Saya hanya balas bertanya,â€Kenapa Allah terbuat dari angin Ik?†“Karena Angin nggak keliatan Bun, Allah juga nggak keliatan,†balas Malik. Hmm…alasannya memang logis, pikir saya. Tapi karena saya sedang repot, diskusi kami saat itu terhenti. Saya katakan padanya untuk bertanya lain hari pada ayahnya.
Sebulan kemudian, lagi-lagi Malik berbicara tentang Allah. “Allah itu ada laki-laki, ada perempuan,”katanya. Lala, kakaknya menyangkal,”Endak lo, Allah itu ndak laki-laki juga ndak perempuan.” Suara Malik langsung meninggi. “Iya! Allah itu ada laki-laki ada perempuan. Aik laki-laki, berarti ada Allah laki-laki. Mbak Lala perempuan, ada Allah perempuan!” Malik ngeyel. “Menurut Aik begitu ya, Iya kekuasaan Allah ada di laki-laki dan perempuan,” Suami saya berusaha untuk tidak menyalahkan Malik. Tapi Malik tetap ingin benar sendiri. “Ayah! Aik bilang Allah itu ada laki-laki ada perempuan!” Teriaknya galak. Hmm..oke..oke…ayahnya pun sementara membiarkan saja pernyataan Malik. Maklum, anak seusia itu memang hanya mengerti hal-hal yang konkret.
Tiga hari sesudahnya Malik mendengar kakaknya menangis sambil berkata,â€Mbak lala sayang sama Allah.†Malik lagi-lagi langsung ikut bersuara soal Allah. “Allah ada disini ( sambil menunjuk lantai di sebelah Lala), disini (menunjuk hidungnya sendiri J), dan disini (menunjuk pintu). Allah ada disemua,” katanya lucu. Lalu Malik menghampiri saya,”Allah juga ada disini Bun,†katanya sambil menunjuk bola transparan. “Tapi di dalem situ Allah bisa bernapas.” Saya tersenyum mendengarnya. Artinya Malik paham bahwa bila manusia yang berada di dalam bola itu pasti tidak bisa bernapas.
“Oh menurut Aik begitu ya?” tanya saya. “Iya, Allah ada dimana-mana,†jawabnya yakin. “Siapa yang kasih tau Aik?” saya penasaran. “Juf (bu guru),†balas Malik sambil nyengir. Saya kaget! Sungguh! Saya tinggal di Belanda dan anak saya bersekolah di sekolah negeri. Apa betul di negara sekuler ini masih ada guru yang mau berbicara soal Tuhan dengan muridnya? “”Betul begitu Ik? Juf yang kasih tau? Memang Aik tanya sama Juf?” Mata saya sepertinya hampir melotot karena tak percaya. “Iya Bun, Echt (betul banget)!” Malik mengangguk kuat.
Wah anak saya betul-betul berani bertanya kepada ibu gurunya soal Allah?! Saya semakin kaget. “Aik gimana tanyanya sama Juf?” Saya sungguh penasaran. “Juf, Wat is Allah?” jawabnya. “Oh ya, Aik tanya begitu?” Saya masih tak percaya. Malik mengangguk. “Terus Juf jawab apa Ik?” Dan jawaban Malik membuat saya semakin tak percaya. “Allah is allevorm (semua bentuk). Allah is vierkant (segiempat), Allah is driehoeken(segitiga).” Aik menirukan Jufnya. “Bunda, Allah juga bisa ngomong Italia, Deutchland(Jerman), Prancis, semua negara-negara Allah bisa ngomong,” lanjut Malik lagi. Saya yakin betul, belum pernah saya dan suami saya mengatakan hal ini pada Malik. Jadi apakah Malik betul-betul mendapat jawaban itu dari juf nya?
Akhirnya untuk menghilangkan rasa penasaran, sepulang sekolah saya meminta konfirmasi kepada juf.”Apakah Malik pernah bertanya tentang Allah?”tanya saya. Bu guru itu pun menjawab,†No…he never ask me about that!” Olala…jadi semua betul-betul imajinasi Malik! Tapi mengapa ia bisa mengarang cerita seperti itu? Hati saya tak berhenti tertawa juga menerka-nerka, barangkali inilah bentuk pencarian Tuhan ala bocah, pikir saya.
Dan pencarian Malik masih saja berlanjut. Beberapa hari sesudahnya saya ingatkan suami saya untuk menjawab pertanyaan Malik soal terbuat dari apa Allah. Lala yang pemahamannya sudah lebih baik langsung menjawab,â€Allah terbuat dari semua, betul kan Ayah?” Mendengarnya Malik langsung protes,”Mbak Lala fout (salah)!” Mbak Lala itu Allah? (dengan nada suara menyalahkan) Ayah itu Allah? (masih dengan nada yang sama) Aik itu Allah? (nadanya semakin menyalahkan) Bukan!” Jawab Malik sengit. “Manusia nggak ada yang tau Allah terbuat dari apa Ik,” suami saya langsung menengahi.
“Allah terbuat dari niks (bukan apa-apa)!” Seru Malik galak. Tapi karena jawaban asal dari mulutnya itu saya pikir betul, saya pun langsung menimpali. “Oh iya Aik betul sekali, Allah terbuat dari niks.†Tiba-tiba Lala menambahkan,”Tapi kita bisa tau Allah terbuat dari apa nanti di surga.” “Iya La betul sekali. Mbak Lala pinter, Aik juga pinter pengen tau tentang Allah. Seperti nabi Ibrahim yang mencari siapa Tuhannya itu lho. Inget kan Aik…” Lalu suami saya kembali mengulangi cerita nabi Ibrahim. Malik sok cuek, seperti tak mendengarkan ayahnya bercerita. Tapi sambil memainkan legonya rupanya diam-diam dia serius mendengarkan ayahnya bercerita. Setelah cerita selesai, tiba-tiba Malik berbisik pelan,†Maksud Aik, Allah terbuat dari niks (bukan apa-apa), karena harus dilihat dulu nanti di surga,” Hmm…lagi-lagi saya tersenyum sambil bergumam dalam hati, syukurlah rupanya Malik mulai bisa menemukan ‘pencarian’ Tuhannya.
Selesaikah pencarian Malik? Oh rupanya belum. Hari berikutnya lagi ketika suami saya sedang menggoda Malik dengan berebutan buah melon, Malik bertanya,â€Melon ini buat ayah atau buat Allah? “ Suami saya balas bertanya,â€Allah bisa makan ya Ik?” Dengan penuh percaya diri Malik menjawab,â€Bisa. Kalo nggak makan nanti Allah mati.” Hehehe saya geli sekali dan ingin tahu imajinasi Malik lebih lanjut. “Allah makannya apa Ik?” tanya saya. “Makan melon, makan semua!” Mendengarnya, Lala yang berdiri di sebelah Malik cekikikan sambil berkata sok dewasa,”Aik…Aik…Allah itu terbuat dari niks, jadi Allah makan niks.” Malik tak mau kalah,”Allah terbuat dari niks tapi bisa liat semua, bisa liat melon juga, bisa makan juga.” Lalu analisa Malik berlanjut. “Allah punya gigi? atau ndak?” Ayahnya menjawab,”Allah terbuat dari niks, berarti nggak punya gigi Ik.”
Setelah beberapa saat termenung, Malik berkata, “Allah ndak punya gigi, Allah itu baby atau oma (nenek)?” Hehehe saya tertawa lagi. “Allah itu bukan baby, bukan oma, bukan semua,” balas ayahnya. ” Allah itu Tuhan! Hmm…Aik…Aik…” timpal mbak Lala sok dewasa. Saya tak berhenti tertawa, tapi saya maklum, anak seusia Malik memang hanya mengerti hal-hal yang kongkret. Tak heran bila ‘pencarian’nya tentang Tuhan menjadi dialog yang ganjil dan lucu.
Namun, beberapa minggu kemudian tawa saya berubah. Saat itu suami saya tak berhenti menggelitiki Malik, dan Malik marah besar. “Sebesar apa marahnya Aik ke ayah? tanya saya. ” Dari Belanda sampe Afrika. Eh ehm.. maksud Aik Sebesar bumi!” kata Malik. Tapi Lala membela ayahnya,”Kalo mbak Lala, mbak Lala sayang sama ayah, sayangnya dari matahari sampe pluto.” Lantas Malik pun menyahut,”Aik marah sama ayah dari matahari sampe pluto!” Tapi yang membuat saya heran, kalimatnya tak berhenti sampai disitu. Dengan semangat ia berkata,”Dan Aik sayang sama Allah dari matahari sampe pluto!”
Ya Allah…saya sungguh terharu mendengarnya. Apakah pencarian Tuhan ala Malik memang berakhir indah? Dengan cinta yang begitu besar kepada Tuhannya? Entahlah, saya hanya bisa berdoa semoga semua itu benar dan kekal adanya. Namun yang pasti, saya semakin yakin bahwa pelajaran tentang Tuhan bagi anak-anak sungguh abstrak dan tak mudah. Anak-anak adalah mahkluk spiritual, dan saya, orangtuanya sekalipun, tak berhak untuk mematahkan imajinasi mereka tentang Tuhan. Tugas saya hanya lah membimbing serta mengarahkan. Dan ternyata dengan caranya sendiri ia menemukan Tuhan versi bocah. Bahkan dengan cinta yang tak terbayangkan, dari matahari hingga pluto!
Ingin koment tapi susah ngomongnya selain Subhanallah…Masya Allah………jadi inget kaka di rumah, terkadang kalau tanya tentang Allah suka bikin geli dan puyeng kepala mamahnya juga….
Hehehe iya ta, emang pertanyaan anak-anak soal ini emang bikin ngakak n puyeng, Pasti kaka juga punya cerita unik dan lucu soal ini, sok atuh ditulis ya, aku nunggu baca nih :-)
MAsya Allah mba, ini dia nih yang aku belum bisa…
gimana tuh mba, bikin anak berpikir dan berpikir tanpa merasa didoktrin even oleh ortunya ya?
kiatnya supaya anak mau terbuka dunk mba….maksudnya ngomong apaaa aja yg ada dikepalanya :)
oya mba, aku lom dapetin bukunya nih, hisk hisk
Halo say, wah pertanyaannya susah hehehe. Kayaknya tergantung anaknya deh mey, kita musti tau banget dulu anak kita, trus cari metoda yang cocok buat nerapin apa yang kita mau. Kalo pengalamanku, aku coba nggak doktrin,berusaha ngajak dialog, selalu tanya, kenapa bisa gitu? gimana caranya? menurut kamu gimana? setuju nggak? model2 gitu deh. Intinya kami berusaha supaya dia nggak diem aja kalo dikasih tau sesuatu. Ke Malik lumayan jalan, tapi ke kakaknya agak susah. Lala masih sering takut-takut kalo ngeluarin pendapatnya, dia suka takut salah, krn dia emang agak2 perfeksionis. Kalo malik cuek banget ngeluarin pendapatnya. Makanya lala nggak ngalami fase ttg Tuhan kayak malik gini, dia cenderung nerima aja apa kata buku/kata ortunya.
Naa sekarang, aku n my hubby lagi berusaha biar lala nggak takut-takut ngeluarin pendapatnya. Caranya lagi trial error jg neh :-) Yang jelas aku sering bilang gini ke lala,”Lala boleh ngomong apa aja yang dipikiran lala, nggak harus sama sama ayah bunda.” Sampe sejauh ini kadang berhasil kadang enggak. Ya emang dia kan aku curigai gifted disinkroni tea, makanya rada2 puyeng ngasuhnya hehe.
Eh ngejawab ga ya, duuh pabaliut, moga2 dikit ngejawab ya :-)
Soal buku hehe, nggak ngerti deh aku urusan marketing, keknya nggak di semua gramed ada ya. Moga-moga abis kita omongin besok Mey dpt deh hehe….
Dear mbak Agnes ,
Agak susah mau ngasih comment krn perbedaan agama , tp aku bisa ngerti isinya , emang anak-anak sangat tertarik utk berbicara ttg si Dia ” Tuhan ” , , itu pertanda bagus , karena mereka ingin mengenal Tuhan nya , kadang-kadang aku sering kesulitan menjawab pertanyaan mereka , bukan karena nggak tau , tapi aku nggak mau mendahului cara pendalaman/pemikiran ttg sesuatu .Bukan karena aku menganggap bodoh , tp karena penalaran mereka thd sesuatu masih putih/polos , mereka mempunyai cara pandang yg berbeda ttg sesuatu dan aku tak ingin menodainya atau mempengaruhinya ….mereka masih banyak waktu utk belajar dr kehidupan ini utk menjadi diri mereka sendiri …
Bahwa mereka ingin mengenal Tuhan nya sudah membuatku bersyukur , apalagi tinggal di Belanda , negara bebas seperti ini , apa saja boleh , paling tidak mereka tau , bahwa di atas kita , ada Tuhan , yg mengawasi kita , sebuah basis sederhana utk mengingatkan mereka bahwa mereka tidak hanya hidup utk bersenang senang saja di dunia , tapi ahkirnya nanti di hari ahkir masih di mintai pertanggung jawaban kita oleh Tuhan ……..anak-anakku yg pertama dan yg kedua udah sampai ke tahap itu , tp yg no 3 belum , yg ke 3 taunya hanya yg simpel aja , bahwa Tuhan itu ada …..dan dia entah di mana tapi yg pasti Dia itu Maha baik , dan kalo aku tanya , bagaimana kamu tau kalo Tuhan itu Maha baik , jawabnya selalu , di sini ( nunjukan ke hati ) aku selalu merakan apakah sesuatu itu baik atau nggak …..maksudnya feeling kali ya ???hehehe
Eh Mbak sorry lho , kalo aku salah menulis , aku nggak mau menyinggung perasaan siapapun , dan mudah-mudahhan perbedaan agama kita tidak menghambat kita utk saling tukar pikirana …..peace okey ?…………….kasih comment pagi-pagi , ikutan bangun inget temen-temen indo di sini yg lagi sahur…..( sok toleransi nih )
Sorry banyak salah ketik dan banyak kalimat yg tak terselesaikan dgn baik , soalnya masih ngantuk , bangunnya kepagian , jadi salut buat teman muslim yg harus bangun pagi-pagi utk berdoá ….
ralat ..maksudnya , pendalaman/pemikiran mereka , nunjukan=nunjukin, merakan=merasakan , aku rasa ralatnya udah cukup , mudah-mudahan commentku bisa di mengerti……………..
Mbak susie makasih sharingnya ya :-) Nggak ada yang tersinggung lah mbak, wong kita ga ngomong yang jelek2 kan ya hehe. Walopun beda agama, kalo bicaranya universal, prinsipnya ttg Tuhan pada dasarnya sama koq mbak, aku jg selalu bilang bahwa rumah Tuhan itu ada dalam hati kita. Intinya ngajarin supaya cinta Tuhan, tp kalo sementara imajinasinya ttg Tuhan masih ‘liar’ ya aku biarin aja tinggal ngelurusin kalo ada yg ngaco2 banget hehehe. Sekali lagi makasih ya mbak buat sharingnya, bagus lo mbak malah nambah wawasan biar pandangan kita nggak sempit yaa :-)