Cerita tentang gempa bumi

Indonesia sedang berduka. Presiden menyatakan bahwa tiga hari ini adalah hari berkabung nasional. Ya, gempa tsunami yang melanda negara Asia, termasuk Aceh dan Sumatra Utara kali ini memang sangat dahsyat. Puluhan ribu orang meninggal dunia, puluhan mayat berjejer dan membusuk bergelimpangan. Hiks…sedih sekali membaca berita-beritanya. Kemarin aku berkata pada suamiku “Barangkali Aceh mempunyai sejarah yang kita belum tahu. Menurutku aneh, kenapa seolah Aceh yang menjadi tumbal negara kita, selalu menderita, selalu sengsara. Mungkin suatu saat kita bisa tanya sama mas min yah.” Suamiku menjawab ” Yang penting, ini kesempatan bagi kita untuk menjelaskan pada anak-anak tentang gempa itu, menumbuhkan kepedulian dan empati pada mereka.Kita harus jelaskan pada mereka nanti. Oya uang tabungan mereka dari ulang tahun itu kita suruh sumbangkan saja ke korban gempa.”Akhirnya, ketika makan siang tiba, sewaktu aku dan anak-anak sudah duduk di kursi masing-masing, ayah mulai bercerita.

“Lala dan Aik tau nggak, sekarang di Indonesia lagi ada gempa bumi, di ujung pulau Sumatra, Aceh nama propinsinya. Karena gempa itu, banyak sekali orang-orang yang meninggal, kehilangan ayah bundanya, kehilangan rumah dan banyak bangunan pada rusak semua”

“Kenapa bisa ada gempa bumi yah?” Lala bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Wah pertanyaan Lala bagus sekali. Gempa itu terjadi karena di dalam bumi ada lava yang sangat panas, kemudian meledak keluar sehingga tanah disekitarnya bergoyang dan rusak. Seperti taplak meja ini la, dari bawah sama ayah ditarik. Nah kue dan sendok ini pura-puranya rumah dan anak kecil yang lagi main. ”

“Tang ini jadi apa yah” Aik tak tahan ikut nimbrung.

“Ya pura-puranya tang nya jadi jembatan ya. Nah waktu ada gempa, taplak ini seperti digeser dari bawah sehingga semua yang ada diatasnya bergoyang, rusak dan berjatuhan. Anak kecil yang sedang main itu mati tertimpa reruntuhan rumah”

Anak-anak mendengarkan dengan antusias, tapi bagi Malik semuanya tampak tak nyata. Jadi dia bersikukuh menanyakan kabar jembatannya he he. Aku mencoba mencari buku tentang gempa, dan aku menemukan gambaran tentang gempa yang bagus sekali di buku Hamparan Dunia Ilmu serta Ensiklopedi Bocah Muslim. Anak-anak antusias sekali melihat gambar dan mendengarkan penjelasan ayah tentang terjadinya gempa lewat gambar.

“Berapa orang yang mati yah?” Lala tampak tertarik dengan diskusi kali ini.

“Banyak sekali, sepuluh ribu, seperti banyaknya teman-teman sekolah lala kalo lagi berkumpul di lapangan, itu masih 10 kali lipat lagi banyaknya. Kasian ya la, anak-anak yang jadi kehilangan orangtuanya, nggak punya ayah bunda lagi. Coba lala sama aik bayangkan, gimana kalo lala dan aik nggak punya ayah bunda lagi, gimana perasaan lala?”

“Sedih …”

“Kalo Aik gimana?”

“Sedih juga…” Aik menjawab dengan wajah serius

“Kalo gitu, uang yang ada di wadah ini, dari tabungan lala dan aik kemarin, kita sumbangkan buat mereka ya. Kasian sekali mereka sekarang kelaparan, kedinginan, nggak punya baju, nggak punya mainan, semua rusak. Boleh nggak uangnya disumbangkan buat mereka”

“Boleh yah boleh” kata Lala. Aik ikut menjawab sambil manggut-manggut “Boleh yah” jawab Aik.

Lalu setelah itu mereka ribut berebut buku tentang gempa yang gambarnya besar dan menarik.

“Wah acara makan siangnya kapan nih, koq nggak jadi makan, bunda udah laper nih”

“Tapi lala mau baca buku dulu bun…”

“Aik juga, Aik nggak mau makan”

Hmm akhirnya, kesempatan lah bagiku dan ayah untuk makan berdua tanpa diganggu mereka. Ternyata, anak-anak memang begitu polos dan lugu. Mereka dengan cepat menyerap apapun yang orangtuanya sampaikan. Terbukti setelah itu lala tak berhenti bertanya seputar gempa itu.

” Aceh itu Indonesia bun? Di mana bun? Yangkung sama yangti dimana?”

“Bunda ambillkan peta dunia ya la. Nah ini Indonesia, Aceh disini, Bandung disini, Lala di Belanda sini jauuh sekali”

“Kalo di Belanda nggak ada gempa bun?”

“Iya la, disini nggak ada gempa, dulu mungkin ada. Kita berdoa ya sama Allah supaya kita selalu dilindungi Allah. Negara yang kena gempa itu nggak cuma Indonesia la, ada Thailand, Srilangka, India, Bangladesh dan Malaysia”

“Tapi Palembang ini nggak kena ya bun, Bandung juga nggak kena ya bun?”

“Iya sayang, kota-kota ini kan jauh dari pusat gempa, jadi nggak kena”

“Binatang-binatang pada mati nggak bun kena gempa”

“O iya, banyak binatang mati karena gempa”

“Pohon-pohon rusak nggak bun?”

“Iya pohon-pohon juga rusak, sama ya la kaya di buku Nabi, yang ada azab Allah untuk kaumnya itu lo la”

“Oiya bun, disini ada mazenya bun”

Wah siang itu betul-betul menjadi acara diskusi yang seru. Lala sepertinya menyerap semua yang aku dan suamiku ceritakan. Sedangkan Malik, ya mungkin usianya belum bisa menangkap hal-hal yang abstrak, jadi setelah diceritakan lewat buku dan melihat gambar korban gempa di internet barulah dia menyimak dengan baik. Begitulah anak-anak, betul-betul tergantung orangtuanya. Kalau aku dan ayah dalam kondisi lelah, mana mungkin bisa punya energi untuk menjelaskan seperti ini. Kuncinya memang sabar dan sabar. Hmmh… semoga Allah selalu memberikan kesabaran itu pada kami.

Hikmah Dibalik Ulang Tahun Anak-anakku

Acara ulang tahun anak-anakku usai sudah. Hmh…lega dan puas rasanya. Usaha keras yang aku lakukan selama seminggu terbayar sudah. Hari minggu ini menjadi hari kami untuk bermalas-malasan setelah acara pesta kecil-kecilan semalam. Anak-anak terbangun, aku dan suamiku masih ingin berduaan, tak ingin diganggu. Mereka kami perbolehkan menonton TV seperti biasa. Setelah 2 jam, aku memanggil Lala untuk mematikan TV. “Lalaa…sudah 2 jam sayang, matiin TVnya yaa…”. Tapi, tak ada jawaban. Aku panggil sekali lagi, tetap tak ada jawaban. Aku mulai kesal. Kupanggil lebih keras lagi, tak ada jawaban juga, tapi terdengar suara TV dimatikan.

Aku dan suamiku kesal sekali melihat tingkah Lala beberapa hari ini yang tak pernah menjawab ketika dipanggil. Kami khawatir terjadi sesuatu dengan telinganya. Sudah beberapa hari ini ayah selalu ‘mengancam’ Lala bahwa dokter akan melakukan operasi kecil pada telinga Lala bila Lala selalu tidak menjawab pertanyaan kami. Awalnya aku tidak setuju, apa bedanya dengan mengancam. Tapi menurut ayah, kami hanya mengatakan apa yang dianjurkan dokter. Jadi itulah yang selama beberapa hari ini kami lakukan padanya. Ternyata… anak-anak memang tak pernah salah, kamilah orangtuanya yang telah melakukan kesalahan. Alhamdulillah kami segera ditegur Allah, dan diberiNya kami kesadaran baru.Karena masih kelelahan, hari minggu ini, aku dan suamiku jadi lebih sering lagi meninggikan suara karena kesal pada anak-anak. Entah kenapa, suamiku yang biasanya lebih sabar dari aku, menjadi tertular. Aku ingat betul , sejak 3 hari ini lah aku jadi sering marah-marah. Selain karena PMS, membuat kue tanpa ayah, juga karena kecapaian belanja barangkali. Kelakuan Lala yang tak pernah menjawab pertanyaan ketika aku tanya pun semakin membuat aku berang. Semua teori tentang parenting hilang dari kepalaku. Aku selalu meninggikan suara dan mengancamnya. Ketika sedang marah, aku selalu berkata “Lala, kalau Lala nggak mandiri, nggak jadi ulangtahunnya, batalin aja semuanya!” Kami memang mensyaratkan agar dia menjadi lebih mandiri di ulang tahunnya yang ke-5.

Pokoknya, hari Minggu ini mungkin hari buruk untuk Lala. Dia seolah mendapat beban berat setelah usianya 5 tahun. Dia tidak ingin kehilangan semua hadiahnya, tapi kami selalu berkata akan memberikannya pada orang lain jika Lala tidak mandiri.

Setelah makan malam dan anak-anak tidur, aku berkata pada suamiku “Kenapa ya yah, hatiku rasanya panas terus 3 hari ini, memang sih mau mens, tapi sekarang nggak kayak biasanya, anak-anak jadi korban. Aku koq jadi kehilangan kontrol. Malik yang biasanya jarang aku marahi pun jadi kena marahku.” Aku mulai berkeluh kesah pada suamiku. Seperti biasa dia tak pernah menyalahkan aku “Ya wajar ma, mama melakukan semua sendirian. Aku hanya khawatir sama Lala, mungkin betul telinganya harus dioperasi karena hari ini semakin parah, dia sama sekali tidak menjawab ketika kita panggil. Mungkin kita harus membawanya lagi ke dokter ma…”

Tiba-tiba, rasa pedih muncul dihatiku. Terbayang bila Lala harus dioprek-oprek telinganya. Hiks… tiba-tiba aku menangis, tak rela rasanya. Tangisku semakin menjadi karena aku ingat apa yang telah aku lakukan padanya tadi malam. Lala terbangun semalam, merengek-rengek tak bisa tidur, mungkin bermimpi. Tapi aku yang kesal karena terbangun di tengah malam malah memarahi Lala “Lala, lala kan udah janji mau mandiri, tidur sendiri, bunda dan ayah nggak mau nemenin lala. Kalo Lala merengek-rengek terus begini, berarti lala masih kecil dong, nggak jadi 5 tahun, dikembaliin aja semua hadiahnya!”

Lala hanya bisa menangis dan merengek, akhirnya, dia tidur di sebelahku. Tapi karena kesal, aku tidak memeluknya dan tak menggubrisnya. Hiks… aku menyesaal sekali. Aku menangis sejadi-jadinya mengingat semua itu dan juga mengingat betapa 3 hari ini aku telah menjadi ibu yang selalu marah-marah melulu di depan lala. Hiks ya Allah ampuni aku. Tapi aku tak sanggup bila tak Kau mampukan ya Allah. Aku hanya manusia yang tak punya apa-apa, hanya ketitipan ya Allah. Hanya dengan ijinMu aku bisa sabar dan menjadi ibu yang baik, jadikanlah aku ibu yang baik buat anak-anakku, sesuai dengan keinginanMu ya Allah…

Aku menangiiiis terus, hatiku seolah mendapat siraman cahaya baru untuk mengubur semua kemarahan itu dan berubah menjadi sebuah keyakinan untuk mendidik mereka dengan penuh kesabaran. Suamiku pun berkata ” Ya mungkin, di hari ulang tahun mereka, kita diberi peringatan oleh Allah, diberi hikmah lewat Lala yang tiba-tiba jadi semakin parah telinganya. Betapa waktu mereka demikian berharga untuk kita lewatkan. Kita benar-benar harus kembali ke dalam, kembali ke keluarga dulu, kita harus kembali mendoakan mereka selalu disaat mereka tidur. ”

“Hiks-hiks iya ayah, aku nggak mau lagi bicara keras sama anak-anak, kita harus selalu pake kalimat positif, kita harus selalu mendatangi mereka kalau kita perlu sesuatu, nggak dari jauh yah, kita harus sangat sabar menghadapi mereka yah hiks hiks….” aku berdiskusi dengan ayah, sambil terus menitikkan air mata.

” Aku jadi ingat ma, bahwa “No children left behind”. Anak-anak tak pernah salah, orangtuanya lah yang salah bersikap sehingga anak menjadi salah. kita harus pegang prinsip itu ma. Lala mungkin begitu karena kita yang mengancam dia. Teliganya nggak apa-apa, pasti baik-baik aja. Itu karena kita ma, kita coba besok untuk merubah semua yaa ” begitu kata ayah mencoba menenangkan aku.

Ternyata, Allah langsung menguji kesabaran dan janji kami. Malamnya, Lala menangis dan rewel sekali. Lala tak mau tidur di dalam kamar, dia menggeletakkan badannya di luar sambil menangis sesenggukan. Ayah mencoba menenangkannya, tapi tangis lala bertambah keras dan menyuruh ayah tidur karena besok ayah harus pergi kerja katanya. Lalu bunda mencoba memeluk dan menenangkannya.

“Lala sayang, sini dipeluk bunda nak, Lala nggak mau tidur di dalam ya?”

“Hua..hua…iya… Lala mau tidur di luar aja.”

“Lala takut, Lala mimpi buruk?”

“Hiks…hiks…iya bunda…iya, Lala mimpi buruk, udah beberapa hari ini Lala tiap tidur mimpinya nggak indah terus bun…huaa…”

Deg… hatiku langsung tersentak. Ternyata betul. Barangkali dia betul-betul stress karena perlakuan kami. Apalagi dengan apa yang telah kulakukan semalam ketika aku memarahinya sewaktu dia terbangun karena mimpinya. Rasanya aku menyesaal sekali. Dalam hati aku berjanji untuk tak akan lagi mengulangi semua ini.

Esok paginya, kesabaran kami kembali diuji. Lala rewel sekali, masalah bajulah, sepatulah, makanan lah, nangis dan merengeek terus. Padahal, dia harus buru-buru sekolah. Tapi, ayah pun mulai menanganinya dengan penuh kesabaran, tidak lagi memarahi dan menyuruhnya buru-buru. Setelah ayah menjelaskan semuanya dan berjanji untuk tidak bersuara keras lagi, tangis lala berangsur diam dan mulai tenang.

Ajaibnya, sejak itu dia selalu menjawab pertanyaan kami setiap ditanya. Ternyata telinganya baik-baik saja, dia betul-betul melakukan semua itu karena protes dan stress barangkali. Hmh, untung saja Allah segera memberi peringatan. Anak-anak memang selalu membawa sinyal dari Tuhan. Kami orangtuanya lah yang harus pandai-pandai membaca sinyal-sinyal itu. Terimakasih Tuhan karena telah menegur kami dan memberi kesadaran baru pada kami. Sungguh merupakan pelajaran berharga bagi kami untuk menjadi orangtua yang selalu mengisi hati ini dengan sabar. Selama ini, teori tentang sabar sudah sering sekali kami dengar, dan kami sudah cukup berhasil melakukannya. Tapi, menjadi orangtua baru di Groningen dengan segala masalah yang muncul membuat kami lupa. Kesabaran itu perlahan-lahan terkikis. Kini semoga, Allah menumbuh suburkannya lagi dan lagi didalam hati kami.

Huru Hara ketika masak buat Ultah

Aku senang dan semangat sekali mau membuat tumpeng dan tart untuk ulang tahun anak-anakku.Tapi hari kamis tanggal 16 Desember, ayah tak pulang. Ada konferensi di Leiden sampai Jumat malam. Ternyata… aku kapok…pok membuat kue sendirian selagi ayah tak ada. Wuih huru haranya luar biasa, aku sampai kehilangan kesabaran, akibatnya marah-marah melulu, apalagi aku sedang pms alias pre menstrual syndrom. Rasa kesalku benar-benar menggunung jadinya. Parahnya lagi, kerjaanku jadi lamaaa sekali tak kunjung selesai. Awalnya, aku ingin hari kamis malam sudah mulai membuat kue, berikut menghias tart buat kedua anak itu, tapi… rencana tinggal rencana. Akhirnya hari Jumat malam aku baru selesai menghias kue kepunyaan lala, punya malik akhirnya dilembur sampai jam 3 pagi. Huru haranya ya karena ulah mereka selagi aku masak. Aku tahu, bagaimanapun seharusnya aku tidak marah seperti itu sama mereka. Efeknya pasti buruk untuk mereka. Tapi entahlah saat itu semua teori tentang parenting dan spiritual mengenai ibu yang baik lenyap di kepalaku, yang ada, rasannya aku cuma ingin marah dan marah ketika pekerjaanku mereka ganggu. Apalagi bayangan-bayangan tentang masa lalu berseliweran lagi di kepalaku. Hmh…Entahlah hari itu aku betul-betul kehilangan kontrol.Jadi ceritanya, aku mulai membuat kue jam 9 pagi, setelah beres mengantar lala ke sekolah. Setelah itu, aku mulai membuat cake. Aik asik menonton tv. Ya bagaimana lagi, tv itu betul-betul senjata terakhir kalau aku dan ayah sedang sibuk atau lagi ingin berduaan. Kami suruh saja mereka nonton tv, pasti kami tak terganggu.

Ternyata, karena baru pertama kali pakai panggangan kue, api yang aku nyalakan terlalu besar. Kue bagian atas sudah hampir gosong, tapi yang bawah belum matang, mulailah datang si rasa yang bernama bete itu . Akhirnya aku kecilkan apinya. Tapi jadi lamaaa sekali matangnya. Sampai menjemput lala jam 12 siang, baru lah lumayan matang itu cake.

Setelah menjemput lala, sampai rumah aku langsung melanjutkan acara membuat kue. Nah dimulailah huru hara. Ternyata aku lihat kuenya masih agak-agak basah, beteku datang lagi. Akhirnya aku panggang ulang. Selama memanggang dan mempersiapkan yang lain, Aik mulai berulah, pertama dia memanggilku “Bunda… Aik mau apel nggak pake kulit…” Yo wis, terpaksa, aku tinggalkan keasyikan mengadoni bahan kue kedua. Baru saja mau mulai lagi, berbunyi lagi tuh suara si kecil ” hua…hua …Bunda…Aik mau kentang goreng, aik laper…”. Akhirnya, kuhentikan lagi pekerjaanku, dan kugorenglah si kentang. Selanjutnya baru saja asyik mengocok telur, Aik teriak lagi “Bunda…Aik mau eek…” Hmh… capeeeek rasanya pekerjaanku tertunda terus.

Setelah selesai memanggang kue, aku potong pinggiran kue supaya rapih. Anak-anak sangat senang, mereka mulai mencicipi potongan-potongan kue itu. Aku sudah wanti-wanti berpesan kepada mereka, “Anak-anak cuma boleh makan yang dipotong-potong di wadah ini ya, yang udah bagus nggak boleh dimakan.” Tapi ternyata…sekembalinya dari dapur, apa yang kulihat? Ggrh… kemarahanku meledak. Si kue yang aku buat setengah mati dari pagi sudah tak mulus lagi, gerepes setengah bagian. Aku betul-betul kesal. Suaraku langsung meninggi “Siapa yang makan kue ini?!” Anak perempuanku dengan sedikit kaget menjawab “Sorii… Lala yang makan bun…” Ggrh aku marah besar, dengan suara keras aku bilang sama lala “Lala! nggak tau bunda udah capek-capek bikin dari pagi! Bunda udah bilang jangan makan yang ini kenapa dimakan?!” Ggrh gemas rasanya, ingin sekali mencubit anak itu, tapi pantang buatku main tangan sebesar apapun kemarahanku. Lala hanya bisa bilang “Sorii…” Aku tahu dia menyesal. Melihat kemarahanku yang seperti itu dia protes.

” Lala nggak akan makan lagi bun, tapi bunda bukan orang baik, orang baik nggak suka marah kayak gitu” . Hmh… tambah kesal rasanya, lalu aku bilang sama lala “Lala, bunda nggak akan marah kalau lala denger apa yang bunda bilang, lala tadi udah bilang iya iya nggak akan makan, tapi kenapa dimakan?!” Aku semakin kesal karena dia berdalih tentang telinganya ” Lala nggak denger bun, telinga lala yang sebelah kan budek”. Wuah aku semakin kesal saja karena tahu dia menjadikan telinganya sebagai alasan, gawat kalau keterusan.

Aku memarahi lagi lala, aku katakan bahwa telinganya baik-baik saja karena tadi lala sudah sepakat tidak akan makan. Akhirnya lala bilang “Iya sorii, lala laper bun…hua…hua…bunda nggak baik…ayaaah…” Akhirnya meledaklah tangisnya sambil minta pertolongan ayahnya. Untunglah, semarah-marahnya, aku masih tahu batas. Aku peluk dia, aku minta maaf, aku minta dia untuk tidak melakukannya lagi, dan berdamai dengannya. Entah kenapa setelah 2 hari aku sering marahi dia, telinganya semakin parah. Setiap dipanggil atau ditanya, jawabnya lamaaa sekali, berulang kali setelah teriak baru dia jawab. Siapa yang tak bertambah kesal melihat tingkah laku seperti itu.

Setelah beres urusan lala, Malik kembali berulah. Dia melihatku mengocok telur, kemudian diambilnya telur ke dapur, 1 butir. “Bunda, Aik mau telur, katanya”. Ya aku sudah cukup pusing dengan acara masakku yang tak selesai-selesai, kudiamkan saja dia. Ternyata, dia mengambil mangkok kecil dan sendok kecil sendiri. Dipecahkannya telur itu, kulitnya dibuang ke tempat sampah, lalu dikocoknya dengan sendok. Setelah selesai, diletakkannya mangkok berisi telur di atas meja. Tanpa dosa, tanpa berkata apa-apa, langsung dia pergi dan kembali bermain. Hmm aku hanya bisa menahan geli bercampur kesal melihat ulahnya.

Tak lama kemudian, terdengar lagi teriakan Malik, “Bunda…Aik mau susu “. Hmh…ggrh… hatiku sudah campur aduk tak karuan. Tapi aku berusaha sabar. Aku tak berkata apa-apa, langsung kuambil gelas dan pergi ke kulkas untuk mengambil susu. Ternyata… OO… Oh God, ggrh pe-er baru lagi dari Malik. Pintu kulkas sudah terbuka, botol susu tinggal separuh, setengah cairannya tumpah semua diatas karpet , bagaikan genangan pulau. “Aaaaah ! mau teriak rasanya.” Tapi … mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa marah kepada Malik ” Malik! bunda nggak mau Aik numpahin susu diatas karpet lagi, Malik liat bunda, malik denger kan!” Ya seperti biasa, matanya hanya plerak-plerok kesana kemari sambil mengangguk. Pekerjaanku tertunda lagi, aku bereskan semua urusan susu itu terlebih dulu.

Persiapan Ulang Tahun anak-anakku

Hmh…akhirnya, selesai juga pesta ulang tahun kecil-kecilan anak-anakku. Capek dan teler sekali, tapi puas rasanya bisa memberikan sesuatu buat anak-anakku dengan hasil kreasiku sendiri. Tahun-tahun sebelumnya aku tinggal bayar, tinggal minta tolong mbak ning untuk membuatkan kue, minta tolong ibu untuk masak. Sekarang, semua kulakukan sendiri, dan hasilnya menurutku sih lumayan keren hehe, ayah juga bilang begitu. Lalu untuk ulang tahun kali ini ceritanya aku membuat tema untuk anakku, temanya tentang ‘pertumbuhan’. Walaupun effort persiapannya luar biasa, tapi senang sekali rasanya. Cerita kronologisnya begini…Aku ingat kata-kata psikolog di Suryakanti, waktu itu aku bilang bahwa lala suka sekali dengan princess, padahal kan lumayan mahal. Lalu dia bilang, “nggak apa-apa koq anak-anak berimajinasi, asalkan tidak berlebihan, tidak sampai mengganggu aktifitas sehari-harinya, misal sampe susah makan, susah tidur atau nggak mau sekolah gara-gara princess. Nanti juga kalo udah usia sekolah, saat dia sudah banyak tugas di sekolah, akan berkurang dengan sendirinya. Kalo masalah barang-barangnya yang mahal, kenapa nggak dijadikan reward aja, sekalian membudayakan kebiasaan menabung.” begitu katanya. Selain itu aku juga ingat, di bumi limas, anak-anak dibiasakan menabung, setelah akhir tahun, uangnya dibagi 3, yang satu buat beli hadiah kesukaan mereka, yang satu buat ditabung lagi atau terserah mau dipakai apa, yang satu pertiga lagi disumbang buat kaum dhuafa.

Nah sejak itulah, aku membelikan mereka tabungan, dan kalau lala minta barang-barang princess atau Aik minta Bob yang mahal, aku dan suamiku selalu bilang “Ini harganya mahal sayang, kalo Lala sama Aik mau, harus rajin nabung ya biar nanti uangnya bisa buat beli mainan kesukaan Lala sama Aik”. Wah pasti habis itu pulangnya mereka langsung minta uang buat ditabung. Bagusnya juga, mereka jadi belajar buat menunda keinginan. Pernah Aik nangis-nangis di toko Action minta mainan bob, orang lihat dia nangis jerit-jerit juga biar saja, yang penting dia tau, tak setiap semua keinginannya bisa terpenuhi. Akhirnya mereka pintar tuh, tiap ke toko tak pernah minta macam-macam lagi. Tapi ayahnya nih suka ‘gatal’ selalu ingin membelikan mainan untuk anak-anaknya. Aku juga sih, tapi benar-benar kalau sedang ada aanbeiding saja. Jadinya anak-anak sudah tahu ” ini murah ya yah” he he, pokoknya kalau kami sedang jalan-jalan, anak-anak sudah hapal, setiap yang kami belikan pasti berharga murah. Lalu lala jadi sering bertanya, “ini murah ya bun, kalo ini sedang ya, kalo itu mahal?” hehe lucu deh…

Ya, jadi ceritanya sejak disini kalau ada barang lagi aanbeiding, aku selalu membelinya, dicicil untuk hadiah ulang tahun mereka. Contohnya, aku dapat mobil scoop sejak beberapa bulan yang lalu di Kruidvat, harganya hanya 10 euro. Padahal scoop yang besar sekali, harga aslinya kalau tak salah 30 atau 40 euro ya lupa. Lalu boneka princess auroranya lala, berikut tempat tidurnya juga dapat 18 euro, padahal harga asli 30 euro an, lumayan kaan.

Sebelum hari ulang tahun, lala sudah jauh-jauh hari berpesan, mau dapat hadiah 7. Dua dari ayah, dua dari bunda, dua dari aik dan satu dari tabungan, he he banyak sekali kan. Ya namanya juga anak-anak, yang penting banyak, harganya sih yang murah-murah juga tak peduli mereka. Lantas, karena khawatir aik iri melihat mbak lala dapat hadiah banyak, ya akhirnya aku ambil keputusan disatukan saja hari pestanya, supaya aik juga dapat hadiah.

Ulang tahun lala tanggal 16 Desember, tapi karena ayah harus ke Leiden, mana hari kerja pula, akhirnya kami putuskan untuk pesta tanggal 18 hari Sabtunya. Jadi seminggu sebelum hari H, aku mulai sibuk belanja, mulai belanja kado, belanja pernak-pernik membuat kue dan tumpeng. Wah tak punya uang pun cuek aja aku. Sebetulnya kan hanya masalah perasaan saja. Dulu punya uang banyak pun tersimpan di bank, tenang, begitu saja bedanya. Sekarang tak punya uang juga tercatat di bank, yang penting kan masih bisa makan, masih bisa belanja.Ya aku yakin sih kalau masalah rejeki Allah memang sudah atur, kami lagi disuruh susah saja sekarang. Roda berputar deh, ada masanya diatas ada juga dibawah. Tapi aku tak mau, hanya gara-gara uang lalu aku semakin bete dan tak bisa keluarkan semua ide dan mimpiku. Selama masih mungkin, kenapa tidak. Uang bisa dicari, rejeki sudah ada yang atur, tapi kesempatan berharga tidak datang dua kali, begitu prinsipku. Uang memang penting tapi bukan segalanya. Aku mau uang jadi pembantu dalam hidupku bukan raja, seperti kata Gede Prama.

So… belanja lah aku. Wuih mumet cari peralatan kue disini. Menyesal dulu tak menurut kata ibuku sewaktu disuruh membawa peralatan untuk membuat kue. Padahal aku bisa membawanya di kontainer. Keliling-keliling setengah mampus dapatnya yang plastik semua. Meja putar tak ada, mentega putih pun tak ada. Apalagi peralatan pernak-pernik untuk hiasan kue, entah dimana aku bisa beli. Tapi… kesulitan malah memacu kreatifitas bukan. Jadi akhirnya, aku pakai yang ada. Butter cream jadi kuning its oke lah. Terus pernak-perniknya aku beli patung snow man, 3 buah harga hanya 1 euro, karena sedang musim natal. Lalu untuk kurcacinya, aku dapat di kruidvat, stempel sprookjes 12 buah harganya 3 euro. Lantas untuk pohonnya aku bingung pakai apa, akhirnya aku membeli krans. Itu lo yang untuk digantung di pintu kalau natalan. Eh ternyata pohonnya jadi macam-macam, malah lucu he he.

Pokoknya dari hari Sabtu sampai kamis aku sibuk belanja bahan kue, hadiah dan bahan tumpeng. Capeeek sekali rasanya, selalu pergi pagi pulang sore… begitulah cerita persiapan ulang tahunnya….