Disiplin VS Kreatifitas, Aik dan Tissue

Aik-tissue1.jpg

Aik-tissue2.jpg

Aku masih kesulitan dalam masalah disiplin VS Kreatifitas ini. Dari beberapa sumber yang aku dapat, masalah ini selalu dijawab sama, disiplin harus, tapi tidak kaku. Kreatif juga perlu tapi harus ada koridor. Kenyataannya dalam ‘the real world’ aku dan suamiku masih betul-betul trial and error. Apalagi selama bulan-bulan pertama sejak tinggal disini, aku masih babak belur belajar mengurus rumah. Pada akhirnya saat ini kreatifitas masih lebih menjadi prioritas bagi kami. Masih banyak PR tentang disiplin yang harus kami tegakkan. Ya, pelan-pelan lah ‘slowly but sure’. Semoga…

Contoh nyata masalah kali ini terjadi pada Aik yang suka sekali bermain tissue. Tak bosan-bosannya mulut ini berkata pada Aik, “Kalau ada tissue nggak ditarik-tarik lagi ya ik…” Jawabnya sih “Iya”. Tapi mana bisa, tetap saja matanya ‘hijau’ kalau melihat tissue. Akhirnya, tissue di toilet kami sembunyikan. Setiap ada tamu ke rumah dan ingin ke toilet, pasti kebingungan “lho? mana tissuenya?” . Jangankan di toilet, saat membeli tissue di supermarket saja Aik sudah berpesan “Tissuenya 2 mau dibikin teropong ya bun…” He he Aik…Aik… kenapa ya Aik ‘jatuh cinta’ pada tissue? Bagaimana mengatasinya ?Setiap buang air di toilet, dan melihat tissue, Aik pasti langsung beraksi. Ditariknya tissue itu sampai berantakan kemana-mana, hanya untuk mendapatkan karton berbentuk silinder di bagian tengah tissue. Setelah dia mendapatkan karton itu, barulah dia puas. Sisa tissue yang bertebaran itu dia tinggalkan begitu saja dengan entengnya.

“Ik, kenapa tissuenya diberantakin?” tanyaku sesudah kejadian itu.
“Aik mau bikin teropong bun”
“Oo bikin teropong… kan kemaren Aik udah bikin teropong”
“ng…tapi Aik mau bikin lagi…”
“Habis ini nggak boleh lagi ya, kan Aik udah tau rasanya bikin teropong kan”
“Iya” katanya sambil mengangguk

Aik-tissue4.jpg

Tapi beberapa hari kemudian, hal yang sama terjadi lagi.
“Aik, kemarin kan kesepakatannya Aik nggak akan tarik tissue lagi, kenapa Aik main tissue lagi?”
“Ng…Aik cuma…Aik cuma…bikin kue bun” katanya sambil terus menarik-narik tissue sambil dibawa lari.

Lain waktu, dia berulah yang sama, aku bertanya lagi padanya.
“Ik, katanya udah nggak mau main tissue lagi, Aik mau bikin apa sekarang?”
“Aik hanya, hanya… bikin jalan bun” jawabnya.

Wuah bingung. Mau dilarang tapi koq ya Aik selalu bisa jawab dengan alasan yang bagus terus. Kalau dia sedang membuat jalan lalu dilarang kasian kan imajinasi nya terhambat. Akhirnya aku hanya bisa menyuruhnya untuk membereskan tissue setelah bermain. Tapi, ya anak seusia itu, mana tahan disuruh beres-beres. Akhirnya, terpaksa deh, semua tissue dijauhkan dari Aik. Hanya ada 1 tissue di toilet, itupun disembunyikan di pojokan. Nah sejak itu barulah tidak pernah ada lagi tissue berceceran dimana-mana karena ulah Aik. Susah juga ya, Aik belum bisa diajak membuat kesepakatan seperti mbak Lala. Dulu waktu kami mencoba smart disiplin, Aik cuek aja melanggar, malah dia sengaja tak ingin dapat reward he he. Pokoknya kalau masalah tissue, hanya dengan disembunyikan baru bisa aman.

Malik dan TV

Kemarin sore, malik ngantuk, belum tidur siang. Batas nonton TV sudah lewat, karena aku dan anak-anak sudah bikin kesepakatan, hanya boleh nonton TV 2 jam sehari. Jam 5 lewat 5 menit, mereka belum juga matiin TV. Akhhirnya aku bilang, “Kalau aik sama mbak lala kelamaan nonton TV, bunda khawatir kalian jadi anak yang nggak pinter. TV itu bikin otak jadi pasif. Kesepakatannya kan jam 5, TV harus mati, matiin yuk TVnya.” Lala sih pinter dia mau langsung matiin, tapi Aik, langsung lari dan nyalain si TV itu lagi. Sampe beberapa kali dimatiin sama lala, aik terus nyalain lagi. Akhirnya bunda bilang “kalau aik nggak mau matiin TV, TV nya sama ayah disimpen di gudang nanti ya.” Eh dia cuek aja.

Bunda gregetan juga jadinya, soalnya dia udah lebih dari 2 jam nonton kalo ditambah sama pagi. Akhirnya bunda cabut aja kabelnya. Eeh dia nangis ngoar-ngoar. Uring-uringan pingin nancepin kabel sendiri, tapi nggak bisa, nagiiis sampe lama. Akhirnya dia bilang “Aik sayang sama bunda, huaa… aik mau dipeluk…huaaa.” Setelah dipeluk, sambil sesenggukan dia ngomong ” bunda… aik mau…hiks…aik mau…kabelnya ditancepin sama bunda…hiks…habis itu bunda nyalain TV…hiks, trus TVnya dimatiin sama Aik” gitu katanya, wah pinter deh kalo gitu. Akhirnya bunda bikin perjanjian lagi. “Oke ik, kita bikin kesepakatan lagi ya, bunda pasangin kabel, bunda nyalain TV, Aik yang matiin, tapi nggak boleh dinyalain lagi ya”…”Iya katanya sambil masih nahan tangis. Akhirnya… ya itulah yang bunda dan malik lakukan. Habis itu diem deh dia langsung sambil minta dipeluuuk terus.

Berhenti nangis sebentar, nangis lagi karena rebutan tempat mainan pink sama mbak lala. Baru diem setelah si tempat mainan sebesar itu dia pegang di tangan kanan, sambil dipeluk bunda dan harus dikursi sofa, terus tangan kiri sambil pegang plastik isi coklat. Dah ayem, nggak lama, langsung deh dia pules…lesss….

Cerita Favorit Anak-anak, ‘Nenek dan Tulang’

lala-serem.jpg malik-serem.jpg

Kekuatan ‘story telling’ tak diragukan lagi manfaatnya bagi anak. Malik dan Lala pun sangat senang mendengarkan cerita. Beberapa minggu terakhir ini, karena kelelahan dengan berbagai masalah, aku dan suamiku menjadi lebih sering bercerita daripada membacakan buku, alasannya sederhana, supaya bisa melakukannya sambil berbaring. Aku mulai sering menceritakan dongeng rakyat Indonesia kepada mereka. Biasanya aku bercerita tentang Malinkundang, Bawang Merah dan Bawang Putih, Kilip dan Putri Bulan, serta beberapa cerita lainnya. Cerita Bawang Merah dan Bawang Putih sempat menjadi hits beberapa hari bagi mereka. Namun, setelah ayah menceritakan kisah ‘Nenek dan Tulang’ mmm mereka jadi gandrung sekali pada cerita itu.

Sudah seminggu ini tak henti-hentinya mereka meminta diceritakan cerita tersebut. Ceritanya memang cukup seru dan sedikit menyeramkan. Tapi pesan cerita itu sangat jelas,” jangan mengambil barang yang bukan milikmu”. Karena mereka sangat senang, meminta lagi dan lagi, akhirnya ayah membuat cerita part 1, 2,3 dan 4. Semoga saja pengarang cerita ini tidak protes, karena ceritanya menjadi sedikit berubah he he. Cerita ini berasal dari Inggris dengan judul asli ‘Kecil Mungil’. Ayah memulai kisahnya…Alkisah, di sebuah desa ada sebuah rumah yang kecil mungil. Di dalamnya tinggal lah seorang nenek yang juga kecil mungil. Semua perabotan rumah si nenek mulai dari peralatan masak, tempat tidur sampai lemari makan, semuanya juga kecil mungil. Si nenek mempunyai seekor anjing yang tentu saja kecil mungil.

“Nama anjingnya siapa yah? tanya Lala

“Mmm siapa ya, menurut Lala siapa?

“Ik heb idee, hondtje…”

“Oh iya betul, hond kan bahasa belanda artinya anjing, tje itu kecil, jadi artinya anjing kecil. Wah bagus sekali namanya, oke kalo gitu kita kasih dia nama si hondtje yaa…”

Lalu ayah melanjutkan ceritanya. Suatu hari si nenek kecil mungil berjalan-jalan bersama anjingnya, si hondtje, yang kecil mungil. Mereka menyusuri sepanjang jalan yang dipenuhi bunga-bunga indah. Mereka juga melewati sebuah kuburan. Ketika melewati kuburan, si nenek melihat benda putih di atas gundukan tanah. Karena penasaran, berbelok lah si nenek dan anjingnya ke kuburan itu. “Oh, ternyata ini tulang, hondtje, kita bawa pulang saja ya untuk tambahan makananmu di rumah” ujar si nenek kepada anjingnya.

Sesampainya di rumah, disimpannya tulang itu dilemari. Malamnya dia bermimpi, ada hujan badai di luar rumah, petir menggelegar. “Gelegar….” Tiba-tiba…ada sebuah suara dari arah kuburan, “Tok…tok…tok…” suara itu begitu keras dan menyeramkan.
“Aaah…” setiap sampai di bagian ini, Lala dan Malik selalu menjerit ketakutan dan bersembunyi di balik selimut.
“Suara siapa itu yah?” tanya Lala

“Suara siapa ya, nggak tau suara siapa la”

“Suara tengkorak yah”

“Oya suara tengkorak kali ya…”

Nah, lalu, suara itu berbunyi dengan lebih menyeramkan lagi “Kem-ba-li-kan tu-lang-kuuu… Kem-ba-li-kan tu-lang-kuuu….” Ayah menirukan suara itu dengan mata melotot sambil meluruskan tangan ke depan dan meloncat-loncat seperti vampir. Tentu saja anak-anak menjerit-jerit ketakutan melihatnya.

ayah-serem.jpg

Suara itu makin lama semakin dekat mendekati si nenek. Si nenek sangat ketakutan mendengarnya. Tiba-tiba ada sesuatu hendak menerkam si nenek. Hup. Si nenek tersentak kaget sekali, dan terbangun. Oh…ternyata… dia hanya bermimpi, dan sesuatu yang hendak menerkamnya itu ternyata adalah si hondtje yang melompat ke tubuhnya.

Hmmh si nenek legaaa sekali karena dia hanya bermimpi. Lalu dia berkata pada si hondtje “Hondtje, kita harus mengembalikan tulang itu. Tulang itu bukan milik kita, kita tidak boleh mengambil milik orang lain hondtje, semalam nenek bermimpi buruk karenanya.”

Akhirnya, nenek kecil mungil bersama si hondtje mengembalikan tulang itu ke kuburan. Begitu ceritanya.

Tapi esoknya, Lala dan Aik protes, mereka tidak mau tidur sebelum cerita itu dilanjutkan lagi. “Mau lagi yah…mau lagi bagian ke dua yah…”. Hmm…ayah berpikir sejenak. Lalu ayah terpaksa mengarang cerita bagian kedua.

Setelah tulangnya dikembalikan, si nenek langsung pulang ke rumahnya. Ternyata, malamnya suara itu datang lagi dan hendak menerkam si nenek lagi.
“Aik mau jadi tengkoraknya yah…” kata Aik. Lalu Aik menirukan ayah menjadi tengkorak. Dia berjalan dari arah pintu dengan tangan kedepan seperti vampir. Lalu bibir mungilnya mengeluarkan suara yang dibuat sedikit membesar agar tampak seram.

“Kembalikan tulangkuuu…kembalikan tulangku…”

“Aaaah…. takut…takut…!” Ayah, bunda dan mbak Lala semua berteriak pura-pura ketakutan, dan vampir Aik langsung tersenyum dan bergumam sambil malu-malu “Ini cuma Aik…” katanya. Hi hi hi…ayah dan bunda geli sekali melihat tingkahnya. Selanjutnya mbak Lala juga tak mau ketinggalan ingin menjadi vampir seperti Aik. Setelah mereka puas bergantian menjadi vampir, barulah ayah melanjutkan cerita.

Oo rupanya, ada satu tulang lagi yang tertinggal, si nenek lupa. Kemarin dia mengambil 2 buah tulang, tulang lengan dan jari. Tulang jarinya belum dikembalikan. Besok paginya langsung si nenek mengembalikan tulang itu lagi ke kuburan.

Hari ketiga, Lala dan Malik tetap belum puas dengan cerita bagian ke 2. “Mau lagi bagian 3 yah…” begitu kata mereka. Wah ayah terpaksa mengarang cerita lagi supaya mereka mau tidur.

Setelah mengembalikan tulang jari itu, mereka langsung pulang juga. Malamnya karena takut bermimpi lagi, si nenek tak lupa berdoa sebelum tidur “Bismika Allahumma ahya wabismika amut”. Eh… ternyata malamnya dia tetap bermimpi lagi, ada suara yang mendatanginya lagi “Ne-nek….ne-nek…terimakasih nek…” Hup si nenek kaget dan terbangun karena ada sesuatu melompat ke badannya. Wow ketika bangun si nenek mencium bau wangiii sekali. Ternyata di pangkuannya, tergeletak sekuntum bunga yang sangat indah. Siapa ya yang memberikan bunga ini? Mungkin suara dalam mimpiku tadi, kata si nenek. “Ya, kalau kita mengembalikan barang yang kita temukan, pasti si empunya barang akan sangat senang dan berterimakasih pada kita hondtje” begitu kata si nenek kepada anjingnya.

“Sekarang bobo yaa… ceritanya udah selesai, tamat sampe bagian 3” kata ayah.

Eh tak taunya, terdengar suara aik merengek “Aik belum yah… aik juga mau diceritain bob, diceritain nenek dan tulang buat aik, tadi buat mbak lala ceritanya…”

Wah ayah kebingungan jadinya. Bisa-bisa Malik iri kepada Lala. Terpaksa ayah mengarang cerita lagi.

Setelah itu besoknya, Wendy yang sedang berjalan-jalan di dekat kuburan menelpon Bob the Builder “Bob, kau harus segera kesini bersama scoop, muck dan dizzy bob. Ada 2 buah tulang yang harus dikembalikan ke dalam kuburan bob”

“Oya wendy aku akan segera kesana” jawab bob

Akhirnya, bob beserta wendy dibantu mobil-mobilnya segera memasukkan tulang-tulang itu kembali ke dalam kuburan.” Beres, selesai tugas kita, dag…” kata bob dan teman-temannya.

“Semua udah kebagian cerita, sekarang harus bobo ya…”

Hi hi hi… aku hanya tertawa terbahak-bahak mendengarkan cerita ayah yang setiap hari bosan harus menceritakan cerita yang sama berulang-ulang. Tapi itulah dunia anak, penuh imajinasi. Aku dan suamiku tidak ingin mematikan imajinasi mereka.

Bawang Merah dan Pelabelan pada Anak

Aku sering menceritakan kisah ‘bawang merah dan bawang putih’ pada anak-anakku. Mereka senang mendengarnya, selalu ingin lagi dan lagi, walaupun sekarang tidak lagi, karena mereka sedang gandrung dengan cerita ‘Nenek dan tulang’ dari ayah. Aku mendapatkan pelajaran berharga dari Lala beberapa hari lalu. Pesan moral yang sampai lewat cerita ternyata begitu kuat meresap dalam benak mereka, dan satu hal lagi yang penting, pelabelan pada anak memang harus positif. Alhamdulillah selama ini aku selalu tekankan pada mereka bahwa mereka anak baik, tak boleh ada yang menyebut mereka nakal, dan tak boleh mereka mengucapkan kata-kata nakal. Ternyata, itulah citra diri yang melekat bagi lala, bahwa lala adalah anak baik.Siang itu, Lala dan Aik sama-sama ingin makan dengan lauk nugget ikan. Kemudian aku menggorengnya untuk mereka, 4 buah. Setelah matang, aku bawa ke piring mereka masing-masing. Lala langsung mengambil semua nugget itu ke piringnya. Dengan sangat lembut aku berkata kepadanya “Lala, yang sebagian buat Malik ya…”

“Tapi mbak Lala laper bun, mbak Lala suka nugget ikan”

“Iya, tapi kalo lala ambil semua, berarti lala kaya bawang merah,rakus namanya”

Lala langsung terdiam, menangis keras,dan mengembalikan semua nugget ikan dalam piringnya.

“Hiks…hiks…bunda bukan bundanya lala,bunda bukan bunda yang baik. Kalo bunda, bunda yang baik, bunda ngomongnya nggak gitu. Lala nggak mau makan lagi huaa… ”

Aku tersentak kaget dan langsung tersadar,aku telah salah bicara.

“Maafin bunda ya la, bunda salah ngomong, lala nggak rakus, lala nggak kaya bawang merah, lala anak baik, biasanya kan lala mau berbagi kan la.”

“Huaa…lala nggak sayang sama bunda, bunda bukan bunda yang baik. Kalo bunda baik, bunda nggak ngomong gitu. Lala anak baik, lala bukan kaya bawang merah huaaa…Lala kembaliin semua, lala nggak mau makan lagi! Huaa…”

Aku tahu, lala tersinggung dan marah sekali. Aku langsung memeluknya. Aku benar-benar tak sengaja mengucapkan kata-kata itu tadi. Aku memang salah. Aku peluk dia erat-erat, dan aku belai-belai rambutnya sambil meneguhkan perasaannya.

“Lala, lala marah sekali ya sama bunda karena bunda bilang lala kaya bawang merah dan rakus”

“Huaaa…iya, lala marah sekali sama bunda. Lala nggak kaya bawang merah bun lala anak baik, huaaa…”

“Iya la, lala anak yang baik sekali, bunda tau, lala pasti tersinggung dan marah sekali karena omongan bunda tadi. Maafin bunda ya sayang, bunda salah ngomong tadi.”

“Huaaa… lala nggak sayang sama bunda, bunda bukan bunda yang baik”

“Lala pasti marah sekali ya sama bunda, sekarang lala lagi nggak sayang ya sama bunda. Maafin bunda ya sayang…”

“Hiks…tapi bunda nggak boleh ngomong kaya gitu lagi, kalo enggak, lala marah sekali sama bunda hiks…”

“Iya sayang, bunda minta maaf, bunda janji nggak akan ngomong gitu lagi, lala anak yang baik sekali, biasanya juga lala mau berbagi sama aik kan. Sekarang lala masih marah sama bunda? banyak atau sedikit?”

“Sedikit bun…hiks…hiks…” Tangis lala mulai mereda

“Alhamdulillah, bunda seneng deh, mbak lala sekarang kalo marah nggak lama-lama lagi, makasih sayang udah mau maafin bunda. Lala masih marah sama bunda sekarang?”

“Enggak bun…” jawab lala sambil masih sesikit sesenggukan.

Hmmh… betul-betul sensitif dia, persis seperti aku. Ya, tapi ini pelajaran berharga juga buatku. Ternyata tidak sia-sia aku ikut pelatihan komunikasi pengasuhan anak dari klub buah hati waktu itu. Setelah diteguhkan perasaannya, anak-anak mudah sekali tenang. Tapi ya aku memang hanya bisa melakukannya ketika kondisiku pun dalam keadaan normal. Jika tidak, wuah, hilang semua teori itu. Tapi mudah-mudahan, setelah kesadaran baru kemarin, kondisi apapun tetap bisa membuatku memberikan yang terbaik. Amin.