Mengatasi negativistik Aik (Berbugil Ria)

malik-bugil.jpg Rasanya tiada hari tanpa ‘huru hara’ yang dibuat oleh Aik. Tentu saja kecuali dia sakit. Aku berusaha untuk sangat mengerti. Menurut banyak pakar, usia 2-4 tahun memang usia sulit. Jadi aku berusaha untuk meluaskan hatiku dalam menghadapinya. Selalu trial dan error dalam mengatasi masa sulit ini. Beruntung sekali, sebelum pergi kesini aku sempat mengikuti pelatihan komunikasi pengasuhan anak dari klub Buah Hati. Aku mencoba mempraktekkannya disini, belum tahu hasilnya akan bagaimana. Sekali lagi, aku hanya berusaha, memberikan hal terbaik yang aku bisa. Hasil apapun yang layak diberikan Allah untuk anak-anakku, mudah-mudahan aku bisa ikhlas menerimanya. Tetap menerima dan menghargai apapun keunikan dalam diri mereka entah kekurangan maupun kelebihannya.Kutahu dari buku, bahwa negativistik anak di usia ini tak boleh dilawan. Anak usia ini sedang ingin menunjukkan pada dunia, “ini lho aku… aku ini ada, dan semua milikku, aku mau begini begitu harus boleh dong…. Semua yang kuinginkan harus terpenuhi sekarang juga, aku nggak mau dengar kata tidak boleh, aku mau semua yang aku lakukan diperbolehkan!” begitu kira-kira.

Itulah yang terjadi pada Aik sekarang, seperti sore tadi. Awalnya dia ingin membuat kolam dari minuman kotak yang hendak dituangkannya ke lakban berbentuk bundar. Dia berkata “Bunda Aik mau bikin kolam”. “Oh kalo gitu bawahnya harus dialasin piring ik, biar nggak basah ke karpet, lagipula kalo ke lakban, nanti lakbannya bisa basah” jawabku memberikan alasan dibalik pernyataan. Dia langsung senang karena aku mengijinkan.

Kemudian, aku melanjutkan acara memasak di dapur. Tiba-tiba, dia muncul dengan senyum nakalnya dan cekikik lucunya “Bunda…liat nih…” katanya bangga. “Masya Allah”, aku sedikit kaget, tapi aku ingat orangtua boleh kaget, tapi tetap, mimik dan intonasi suara harus tetap tenang.
Aik mengguyur seluruh ‘air kolam’ itu ke bajunya. Semua basah kuyup, terpaksa bunda meminta Aik untuk mengganti baju. Tapi… apa yang terjadi? Setelah berbugil ria, Aik lari kesana kemari tak mau dipakaikan baju. Wah bunda kewalahan deh. Akhirnya aku ingat teori parenting itu, harus tarik ulur, hargai keinginannya.

Lalu aku berkata pada Aik “Aik lagi nggak mau pake baju ya? ”
“Iya”
“Kenapa Aik nggak mau pake baju”
“Soalnya…soalnya…” Aik kebingungan tak bisa menjawab sambil berlari kesana kemari menghindari bunda yang mengejar-ngejar Aik.
“Ik, kalo Aik nggak pake baju bunda khawatir Aik kedinginan, nanti Aik sakit”
“Nggak, Aik nggak kedinginan…”

Aik tetap keukeuh menolak dipakaikan baju. Akhirnya aku berkata padanya “Aik mau berapa menit lagi nggak pake baju?” Dia hanya tertawa cekikikan sambil berlari kesana kemari. Kemudian, aku biarkan saja dia berbugil ria selama beberapa menit, padahal suhu udara hampir 0 derajat. Kami tak pernah menyalakan heater di siang hari, karena pemakaian heater terlalu sering kabarnya tak baik untuk kesehatan. Ya, demi menghargai keinginan anak, okelah. Sepertinya Aik ingin mencoba bagaimana rasanya tak pakai baju.

Setelah itu dia bermain komputer sambil tetap tak memakai baju. Aku coba untuk menunggu beberapa menit, sampai dia merasa cukup puas. Kemudian… “Ik, pake baju yuk, dingin sayang, bunda khawatir Aik sakit”. Ternyata Aik langsung menurut dan bahkan memilih bajunya sendiri. Ah…akhirnya…beres juga.

Malik-bugil2.jpg

Bayangkan kalau aku bersitegang dengannya dan memaksanya untuk memakai baju ketika dia menolak. Mungkin dia tidak akan belajar bagaimana rasanya bertelanjang badan sambil bermain. Malik juga pasti merasa bundanya tidak menghargai pilihan dan keinginannya. Tapi ternyata dengan metoda tarik ulur, kesepakatan boleh berbugil ria, tapi dalam hitungan menit, dia dengan rela memilih baju dan memakainya dengan gembira. Hmm memang sulit ya jadi orangtua…

Menangani Kemarahan Lala dan Aik

Siang tadi, sepulang menjemput Lala dari sekolah, cuaca cukup cerah. Aku mengajak anak-anak ke taman. Susah betul mengharapkan cuaca bagus di Groningen, jadi aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lala mengajak ke tempat permainan luncur di belakang rumah, tepatnya di depan komplek pertokoan. Mereka asyik sekali tertawa-tawa bermain papan luncur. Setelah kelelahan, mereka kehausan ingin minum. Aku meminta agar mereka sabar menunggu sampai rumah. Tapi Aik marah seperti biasa, ingin kemauannya segera terpenuhi. Sekarang aku sudah mulai bisa mengendalikan diri agar tidak emosi menghadapi kemarahan mereka, apapun kondisiku.

Tapi Ternyata bukan hanya itu, setelah masuk toko Trek Pleister, Lala marah karena tidak kuijinkan membeli bondu. Aik juga marah karena tak kupenuhi keinginannya untuk membeli lego. Hmm… aku hampir saja tergoda untuk membelikan Lala bondu, karena dia memang belum punya. Lagi pula Lala jadi tampak manis sekali memakainya. Untung aku ingat ilmu parenting yang satu ini ‘tidak semua keinginan anak harus terpenuhi, mereka harus belajar untuk menunda keinginan’. Aku pakai cara ‘PS’ tapi tak mempan, mereka tetap saja marah. Berdialog dalam kondisi seperti itu pun tak memungkinkan. Akhirnya, aku mengulang-ngulang minta maaf sambil memeluk mereka “maafin bunda ya sayang, bunda nggak ada uang buat beli, Lala sama Aik nabung aja dulu ya biar bisa beli” Lama-lama capek juga mereka, dan akhirnya mau disuruh pulang. Padahal di hati rasanya sudah capeek menunggu mereka dan lelah juga untuk konsisten. Tapi ya… resiko jadi orangtua lah ya…

Mengatasi Negativistik Aik (Salah kostum)

Malik-saltum.jpg

Sewaktu hendak ke Roden yang gagal hari Sabtu sore itu, Aik bersikukuh tak ingin memakai celana panjang. Bukan itu saja, dia juga keukeuh ingin pakai sepatu sandal. Padahal di luar angin bertiup kencang luar biasa, dan suhu udara pun sekitar 3 sampai 5 derajat C. Dicoba dengan teknik KPA (Komunikasi Pengasuhan Anak-red) ‘Pesan Anda’, tetap saja gagal, padahal waktu itu kami sudah diburu waktu karena sudah hampir pukul 3 sore. Akhirnya, oke Aik boleh memakai kostum yang Aik inginkan, dengan catatan kalau Aik kedinginan, harus ganti yaa… Pergilah kami dengan Aik yang tetap pede memakai kostumnya itu. Bagian atas memakai jacket tebal, tp bagian bawah hanya memakai mailot dan celana pendek. Tak hanya itu saja, sepatu sandal yang dia pakai pun terbalik! Tapi dasar Aik, tetap aja keukeuh surekeuh sumadireukeuh he he… Bagaimana cerita lengkapnya??Sejak akan berangkat, Malik sudah memilih baju sendiri.
“Aik mau pake baju bola” katanya sambil memilih baju dilemari.
“Tapi didobel pake celana panjang ya ik”
“Nggak mau, Aik nggak mau didobel, Aik mau pake celana ini ajah”
“Di luar dingin sayang, nanti Aik kedinginan”
“Hmh Aik marah sama bunda! Aik mau pake ini aja!” katanya sambil mengacak pinggang, mulut manyun kedepan, mata nyureng. Khas marahnya Aik he he.
“Oke, kalo gitu Aik harus pake mailot ya”
“Iya” jawab Aik

Setelah semua siap, Aik ternyata tak mau memakai sepatu boot nya. Dia lebih memilih sepatu sandal. Hmm aku dan ayah cuma geleng-geleng kepala.

“Aik pake boot ya sayang, diluar dingin nak”
“Nggak mau! Aik mau pake ini aja!”
“Bunda khawatir Aik sakit kalo Aik pake sepatu sendal terus nggak mau pake celana panjang”
“Enggak! Aik mau pake ini aja!” Jawabnya galak sambil mulut mulai manyun.
“Oke kalo gitu, tapi nanti kalo Aik kedinginan Aik harus mau ganti ya”
“Iya” katanya lagi

Dengan pedenya Aik memakai sepatu sandal itu sendiri. Ternyata… terbalik hi hi aku geli melihatnya. Tapi seperti biasa, dia keukeuh bahwa sepatu sandalnya itu tak terbalik.

“Ik, menurut Aik, Aik pake sepatunya kebalik nggak?”
“Enggak”
“Kalo menurut bunda itu kebalik ik”
“Enggak bun!”
“Oh enggak ya. Oke deh, tapi kalo dipakenya nanti nggak enak, sama Aik dibalik ya. Enak nggak dipakenya ik?”
“Enak” jawabnya ringan.

Hi hi, aku dan ayah cuma bisa senyum-senyum melihat tingkahnya.
“Aik udah siap bun” katanya lucu.
Ha ha, ayah dan bunda geli sekali melihat Aik. Bagian atas kostumnya tebal dan besar, tapi bagian bawah tipis-tipis, sepatunya terbalik pula. Tapi ya sudahlah, demi menghargai pilihannya, oke ik…oke. Tentu saja aku tak lupa membawa celana dan sepatu ganti untuknya, karena di luar pasti udara dingin sekali.

Ketika hendak berjalan ke halte bis, angin bertiup kencang luar biasa, dingin pun menggigit tulang. Aku membujuk Aik untuk mengganti sepatu dan celananya. Tapi dia masih tetap bertahan dengan pilihannya, jalannya pun pelan-pelan akibat memakai sepatu yang terbalik. “Ik, sepatunya enak nggak dipakenya, Aik nggak mau dibalik?” tanyaku. “Enggak bun, enak” jawabnya.

Sesampainya di halte, baru Aik menangis kedinginan. “Aik ganti celana dan sepatu ya” pintaku. “Hua iya bun… Aik kedinginan…huaa”…
Setelah tangisnya reda, aku berkata padanya “Kalo lain kali pergi lagi, Aik pake celana panjang dan boot ya, biar Aik nggak kedinginan. Aik tau kan resikonya kalo Aik pake sepatu dan nggak mau pake celana panjang, Aik jadi kedinginan.”
Aik cuma mengangguk sambil menahan kantuk, dan tertidurlah Aik di pangkuanku. Hi hi Aik…Aik, ada ada saja tingkahnya. Tapi dengan menghargai pilihannya seperti ini, semoga dia bisa jadi anak yang percaya diri nantinya. Semoga juga dia bisa belajar dari kesalahan yang telah dia lakukan. Ya…beginilah jadi orangtua, hanya bisa berusaha dan berusaha, kendati dalam hati tetap ketar-ketir dan geli juga melihat ulahnya.

Ulang Tahun Ayah di Rumah

Ulangtahun ayah bertepatan juga dengan ulang tahun Malik, tapi acara ulangtahun Malik sudah digabung dengan Lala beberapa minggu sebelumnya. Bunda, Lala dan Malik sudah berencana sejak sehari sebelum hari ‘H’ untuk memberikan kejutan kepada ayah. Pagi hari, ketika ayah hendak pergi ke kantor, kami semua cuek, seolah tidak terlalu peduli dengan hari ulang tahun ayah. Padahal, kami punya kejutan lho setelah ayah pulang.

Continue reading “Ulang Tahun Ayah di Rumah”